Selasa, 30 Juni 2009

Membaca Trend Politik Terkini*

Hasil pilkada di beberapa wilayah Indonesia menunjukkan trend meningkatnya jumlah yang tidak memilih (golput). Dalam pilkada Jawa Barat di Jawa Barat hanya diikuti 65% rakyat. Ini berarti golput sebesar 35%, mengalahkan pasangan pemenang pilgub Jabar yang 26%. Menurut Lembaga Survei Indonesia, jumlah pemilih golput dalam Pilgub Sumatera Utara sekitar 41% rakyat tidak ikut memilih.Dalam pilgub DKI Jakarta, 39,2% golput. Nilai ini setara dengan 2,25 juta orang pemilih, sementara Fauzi Bowo dipilih 2 juta orang pemilih (35,1%). Untuk pilgub Jawa Tengah angka golput sangat tinggi, mendekati 50%. Sementara tempat lain juga cukup tinggi seperti Kalsel (40%), Sumbar (37 %), Jambi (34 %), Banten 40%, Kepri 46 %..
Tingginya tingkat golput ini sejalan dengan kecendrungan semakin melemahnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada partai politik berdasarkan hasil survey selama ini . Hal ini tercermin dari ketidakpercayaan masyarkat terhadap wakil-wakil partai politik di DPR. Jejak pendapat Kompas (10/3/2008) menggambarkan 68,5 % dari responden menganggap kinerja DPR buruk ; 84% mengatakan DPR tidak serius awasi kerja pemerintah, 52,5 % UU produk DPR tidak memihak kepada rakyat.

Dalam survey terbaru CSIS tentang prilaku pemilih (Juli 2008) tergambar loyalitas pemilih pemilu 2004 untuk memilih kembali partai yang sama pada pemilu 2009 memang cukup beragam. Loyalitas pemilih PKS sangat tinggi. Sebanyak 75,4 persen pemilih yang pada Pemilu 2004 lalu memilih PKS, menyatakan akan kembali memilih PKS pada Pemilu 2009, sedangkan loyalitas pemilih Partai Golkar sebesar 61 persen, diikuti PDIP sebesar 55,1 persen. Sementara loyalitas terhadap PAN, PPP, PD turun secara drastis.

Berkaitan dengan partai Islam, Lembaga Survey Indonesia (oktober 2007) menggambarkan dukungan terhadap dua partai yang dikenal sebagai partai Islam PKS dan PPP cendrung stagnan kalau bukan dikatakan menurun. LSI juga menilai PKS dan PPP justru semakin sekuler.
Namun yang menarik hasil beberapa survey menunjukkan dukungan terhadap syariah Islam meningkat. Survey Roy Morgan Research yang terbaru (Juni 2008) mengatakan : 52 persen rakyat Indonesia menuntut Penerapan Syariah Islam. Hal ini sejalan dengan hasil survey yang dilakukan oleh lembaga lainnya sebelumnya. Hasil survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 dan 2002 (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002). Hasil survei menunjukkan: sebanyak 67% (2002) responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Padahal survei sebelumnya (2001) hanya 57,8% responden yang setuju dengan pendapat demikian. Berarti peningkatannya cukup signifikan, yakni sekitar 10%.

Hal ini juga sejalan dengan dengan hasil Survei www.WorldPublicOpinion.org, yang dilaksanakan di empat negara Islam – Indonesia, Pakistan, Mesir, dan Maroko — Desember 2006 sampai Februari 2007, menunjukkan bahwa mayoritas (2/3 responden) menyetujui penyatuan semua negara Islam ke dalam sebuah pemerintahan Islam (khilafah). Hasil survei itu juga – bekerjasama dengan University of Maryland – memperlihatkan bahwa mayoritas responden (sekitar 3/4) setuju dengan upaya untuk mewajibkan syariat Islam di tengah masyarakat, sekalian mencampakkan nilai-nilai Barat dari seluruh negari Islam Khusus untuk Indonesia, survei menunjukkan mayoritas (53%) responden menyetujui pelaksanaan Syariat Islam.

Kita tentu sah-sah saja tidak setuju 100 persen terhadap hasil survey diatas. Tentu saja ada hasil survey lain yang hasilnya berbeda. Termasuk saja sah saja kita mengatakan mengatakan hasil survey belum tentu menunjukkan sepenuhnya kenyataaan yang ada. Namun yang jelas dari berbagai survey ada kecendrungan yang sulit ditolak bahwa masyarakat semakin apatis terhadap demokrasi dan sebaliknya kecendrungan terhadap untuk mendukung syariah semakin meningkat. Artinya, ini bisa menjadi indicator penting.
Kecendrungan diatas bisa jadi menunjukkan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap system demokrasi semakin menurun. Proses politik seperti pilkada bisa jadi dianggap tidak memberikan kebaikan kepada masyarakat. Disamping biaya demokrasi yang mahal , konflik horizontal akibat kisruh pilkada dianggap mengancam kestabilan di tengah masyarakat seperti yang terjadi di Maluku Utara.

Partai Politik yang menjadi aktor utama demokrasi pun semakin tidak dipercaya. Kesetiaan mereka terhadap beberapa partai juga melemah. Partai Politik juga dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Kecendrungan parpol yang tidak serius membendung kebijakan yang tidak pro rakyat seperti kenaikan BBM, menjadi point penting. Wakil-wakil parpol pun dianggap memiliki andil besar menggolkan UU yang justru menambah derita rakyat.

Sementara kepercayaan terhadap partai politik yang disebut-sebut berasas Islam juga melemah. Hal ini bisa terjadi karena partai yang berasas Islam juga tidak mencerminkan jati dirinya sebagai benar-benar partai Islam. Kecendrungan partai Islam yang pragmatis dan beberapa anggotanya terlibat skandal juga semakin menurunkan kepercayaan terhadap partai politik Islam yang ikut pemilu. Apalagi ada kecendrungan partai –partai yang berlebel Islam justru semakin mengarah kepada sekuler (Hasil survey LSI 2007).

Namun sebaliknya, dukungan terhadap penerapan syariah Islam justru meningkat. Tentu saja ini menarik. Dukungan terhadap parpol melemah, termasuk ke parpol Islam yang selama ini ikut pemilu, disisi lain kesadaran terhadap syariah Islam meningkat. Hal ini sangat mungkin menunjukkan keberhasilan kelompok Islam yang berjuang bukan lewat pemilu tapi bergerak langsung di tengah masyarakat seperti Hizbut Tahrir yang gencar mengkampanyekan penerapan syariah Islam dan Khilafah. Peran kelompok Islam seperti yang dilaporkan ICG (2008) semakin menguat. Kecendrungan yang dianggap mengkhawatirkan oleh kelompok sekuler.

International Crisis Group (ICG) yang berpusat di Brussels dalam laporan terbarunya mengkhawatirkan meningkatnya pengaruh kelompok yang disebutnya sebagai garis keras (hardline Islamic Groups) di Indonesia. Salah satu yang disoroti ICG adalah FUI (Forum Umat Islam) dan Hizbut Tahrir Indonesia. Menurutnya ICG, Hizbut Tahrir telah memperluas koalisinya beraktifitas bersama kelompok Islam lainnya di FUI (Forum Umat Islam) yang dibentuk tahun 2005. Sejumlah demontrasi massa mendukung RUU anti pornografi, menentang aliran sesat, mendukung larangan terhadap Ahmadiyah dan menentang kenaikan harga BBM dilakukan.

Kecendrungan menguatnya syariah Islam ini semakin membuktikan upaya penyadaran terhadap umat yang dilakukan selama ini telah membuahkan hasil. Hal ini sekaligus membantah anggapan segelintir pihak yang mengatakan bahwa dakwah yang dilakukan di luar parlemen adalah sia-sia dan tidak ada artinya. Ada juga yang dengan sinis mengatakan : hanya bicara dan teriak diluar. Mereka mungkin lupa Rosulullah saw dalam dakwahnya belasan tahun di Makkah juga bermodalkan bicara untuk menyadarkan masyarakat. Rosulullah SAW istiqomah tidak mau terlibat dalam setiap system kufur yang bukan hanya bertentangan dengan perintah Allah SWT tapi juga pasti akan mendatangkan kegagalan.

Tentu saja tidak bisa dikatakan telah berhasil secara sempurna. Namun perjuangan yang terus menerus , istiqomah , dengan tetap berpegang teguh pada thoriqoh (metode) Rosulullah saw, insya Allah akan menghantarkan kepada keberhasilan dakwah yang sejati. Yakni tegaknya syariah dan Khilafah yang mensejahterakan rakyat, menjamin keamanan, baik untuk muslim maupun non muslim.

Hal ini bisa terjadi kalau masyarakat yang sadar akan kewajiban syariah Islam bergerak bersama dengan dukungan ahlul quwwah (yang memiliki kekuatan politik riil seperti militer). Seperti masyarakat madinah yang sadar dan rindu akan Islam, didukung oleh ahlul quwwah madinah dari Aus dan Khazraj, menyambut pemimpin baru, kepala negara yang baru Rosulullah dengan system yang baru yakni Daulah Islam yang menerapkan syariah Islam

* dari Hizbut-tahrir.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar