Rabu, 24 Desember 2008

pilkada pesta daerah

Pilkada secara langsung merupakan jalan politik yang terbaik di antara yang lain, yang membuat semarak praktik demokrasi lokal. Sebagai langkah awal, pilkada secara langsung harus disiapkan dengan baik sehingga ke depan proses pemilihan yang melibatkan partisipasi rakyat secara langsung itu lebih bermakna dan mempunyai kontribusi positif terhadap desentralisasi, otonomi daerah dan demokrasi lokal. Jangan sampai pilkada langsung, baik proses maupun hasilnya, malah lebih buruk ketimbang pemilihan melalui perwakilan (Refresentatif) yang selama ini terjadi . Oleh itu perlu dibuat aturan main dalam konstitusi (UUD dan UU).
Dengan demikian demokrasi akan bermakna jika dijalankan atas dasar aturan-aturan konstitusi. Salah satu ciri dari demokrasi yang adalah kompetisi politik yang bebas dan adil sehingga memungkinkan terjadinya perubahan pemerintahan secara berkelanjutan yang berdasarkan aturan-aturan konstitusional. Serta untuk menghindari adanya kekurangan-kekecurangan oleh para pihak dengan membuat sanksi-sanksi terhadap para pelanggar asas pemilu yang free dan fair .
Jelas pelaksanaan pilkada harus sesuai dengan aturan main yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pemilihan yang bebas dan bertanggung jawab merupakan tugas bersama yang harus ditaati para pihak, dalam hal ini tidak hanya oleh para kompetitor, tetapi oleh semua unsur didalam pelaksanaan dari pemilihan kepala daerah itu sendiri. Karena demokrasi tidak hanya dinilai dari cara pemilihan tetapi juga hasil dari pemilihan.
Walaupun orientasi dari pilkada sendiri adalah aktivitas politik, namun jabatan dari seorang pemimpin daerah adalah jabatan stuktural dari pemerintahan, sehingga sangat perlu dalam proses pengisinya ada aturan hukum . Dan pada pelaksanaannya hukum dapat dipaksakan oleh aparatur negara dan lembaga lainnya yang diberikan kewenangan oleh konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lainnya (atribusi) demi menciptakan pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang damai, tertib, dan adil.

islam dalam memandang anak

Ketika dilahirkan manusia baru (newborn baby) merupakan makhluk yang tidak berdaya, dan amat sangat tergantung pada pengasuhnya dalam hal ini pada ibunya. Menurut Neuman (1990) hubungan ibu-anak bahkan sudah dimulai sejak dalam kandungan yakni pada masa uroboric dimana terjadi kesatuan antara diri, ego dan kebenaran (ruh Tuhan, the light). Pada masa uroboric ini hingga individu berusia 20-22 bulan merupakan masa penting hubungan ibu-anak dan pembentukan diri individu, yang disebut Neuman sebagai primal relationship. Dalam pandangan ahli social learning maka apa yang dilakukan oleh ibu terhadap anaknya merupakan proses yang diadopsi oleh si anak melalui proses social-modelling. Bagaimana cara ibu mengasuh, apakah dengan penuh kelembutan dan kasih sayang atau apakah dengan kasar dan amarah serta penolakan akan membentuk perilaku manusia muda tersebut.
Membentuk sosok generasi terbaik berkualitas pemimpin yang sholeh/sholeha, sehat/ kuat, cerdas, dan peduli bangsa bukanlah perkara yang tidak mungkin untuk direalisasi meski untuk melaksanakannya memerlukan daya upaya yang cukup besar. Untuk mewujudkan generasi pemimpin, pada dasarnya diperoleh melalui proses pendidikan dan pembinaan. Ini adalah proses panjang sepanjang kehidupan manusia karena pendidikan adalah kegiatan sepanjang hayat yang berkesinambungan(14).
Pendidikan generasi muda menjadi tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan juga pemerintah (negara). Keluarga merupakan institusi pertama yang melakukan pendidikan dan pembinaan terhadap anak. Disanalah dasar-dasar kebaikkan mulai ditanam dan disemai. Pengajaran prilaku dan budi pekerti anak didapatkan dari sikap keseharian orang tua ketika bergaul dengna mereka. Bagaimana ia diajarkan untuk memilih kalimat-kalimat yang sopan santun, kasih sayang terhadap saudara dan orang lain. Mereka diajarkan untuk memilih cara yang benar ketika memnuhi kebutuhan hidup dan memilih barang halal yang mereka gunakan. Kesimpulannya, potensi dasar untuk membentuk anak sebagai generasi yang kuat dan mampu memimpin harus dipersiapkan oleh keluarga
Begitu penting peran keluarga khususnya ibu dalam membentuk karakter anak sejak dini bahkan sejak ia di dalam kandungan. Keluarga memiliki peran yang besar disamping sekolah dalam memberikan pengetahuan tentang nilai baik dan buruk kepada anak-anaknya. Keluarga pulalah wadah dimana anak dapat menerapkan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah, maupun di institusi keagamaan.
Solusi dari masalah anak-anak di Indonesia adalah dengan jalan mengembalikan fungsi keluarga sesuai nilai-nilai ajaran moral dan agama. Kedua nilai ini lebih bersifat mapan dan karena negara ini berlandaskan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga sangat wajar nilai-nilai agama menjadi rujukan utama rakyat Indonesia.
Fungsi keluarga akan berjalan dengan baik dimulai dari pembenahan kualitas calon pasangan suami istri, calon ayah dan ibu, dan suami istri. Mereka hendaklah diberikan pembinaan dan pembekalan memadai supaya paham betul hak dan kewajiban sebagai seorang ayah dan ibu terhadap anak. Disamping memahami tangggung jawab mereka dalam melindungi hak-hak anak-anak mereka. Sesuai dengan amanat dari Umar bin khatab : “Didiklah anak-anakmu dengan pengajaran yang baik, sebab ia diciptakan untuk zaman yang berbeda dari zamanmu” oleh karena itu genarasi haruslah memiliki bekal ayang banyak demi menghadapi zaman yang serba komplek dan serba rumit.
Orang tua adalah madrasah yang pertama serta yang paling utama bagi seorang anak, terutama seorang ibu. Dari ibunyalah seorang anak merasakan kehangatan, kasih sayang, dan berbagai rangsangan. Seorang ibu memiliki peran yang sangat vital dalam proses pendidikan anak sejak dini, karena ibulah sosok pertama kali berinteraksi dengan anak, sosok pertama yang memberikan rasa aman, sosok yang dapat dipercayai, sosok yang pertama yang akan didengar oleh seorang anak. Jadi peran ibu merupakan yang paling menentukan baik tidaknya seorang anak. Sehingga seorang ibu diibaratkan oleh pepatah sebagai tiangnya negara, karena pentingnya sosok seorang ibu bagi kelangsungan suatu negara demi terciptanya generasi.
Masyarakat yang menjadi lingkungan anak menjadi aktivitas sosialnya mempunyai peran yang besar dalam mempengaruhi baik buruknya proses pendidikan anak, karena anak satu bagian yang tidak dapat terpisahkan dari masyrakat. Interaksi dalam lingkungan masyarakat ini sangat diperlukan dan berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara fisik maupun biologis. Oleh karena itu masalah-masalah yang akan dihadapi anak ketika berinteraksi dalam masyarakat harus dipahami agar kiata dapat mengupayakan solusinya. Masyarakat yang terdiri dari sejumlah manusia yang memiliki perasaan yang sama, aturan yang sama, dan pemikiran yang sama.
Tatkala masyarakat memandang betapa pentingnya menjaga suasana kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan generasi maka semua orang akan sepakat memandang mana perkara-perkara yang akan membawa pengaruh positif dan mana perkara yang membawa pengaruh negatif bagi pendidikan generasi, sehingga sedapat mungkin perkara ayang negatif dapat dicegah. Sehingga fungsi dari masyarakat dapat berjalan sebagai kontrol sosial guna terbentuknya generasi yang sehat, kuat cerdas, dan peduli terhadap bangsa.
Selain keluarga, masyarakat (sekolah, partai, oerganisasi, dll), ada satu institusi yang sangat berpengaruh dan mempengaruhi terhadap perkembangan anak yaitu institusi Negara yang dilaksanakan oleh pemerintah. Negara bertanggung jawab mengatur suguhan yang ditayangkan dalam media elektronik dan juga mengatur dan mengawasi penerbitan seluruh media cetak. Nagara berkewajiban menindak perilaku penyimpang yang berdampak buruk pada masyarakat khususnya anak-anak sebagi aset bangsa.
Negara sebagai penyelenggara pendidikan yang utama, wajib mencukupi segala sarana untuk memenuhi kebutuhan pendidikan umat khususnya anak-anak. Atas dasar ini negara wajib menyempurnakan pendidikan bebas biaya bagi seluruh rakyatnya. Kebijakan pendidikan bebas biaya akan membuka peluang yang sebesarbesarnya bagi setiap individu rakyatnya untuk mengencap bangku pendidikan. Sehingga pendidikan tidak hanya menyentuh kalangan tertentu saja (kalangan yang mampu) serta pendidikan tidak hanya sekedar bisnis semata yang akan mempengaruhi kualitas pendidikan pada akhirnya. Padahal mutu pendidikan sangat mempengaruhi corak generasi yang akan dihasilkan.
Negara wajib menyediakan tenaga-tenaga pendidik yang handal. Mereka yang memiliki kepribadian yang luhur, punya semangat pengabdian yang tinggi dan mengerti pilosofi pendidikan generasi serta paham cara-cara yang harus dilakukan, karena mereka adalah tauladan bagi anak didiknya. Kelemahan sifat dari pendidik akan mempengaruhi out put generasi pada nantinya. Seorang guru tidak hanya sebagai penyampai ilmu tetapi juga seorang pendidik dan pembina generasi terbaik

Pendefinisian Anak yang Sarat Nilai

Perbedaan pendefinisian terhadap pengertian anak akan menimbulkan masalah yang besar dalam cakupannya. Jika pendefinian ini dihubungkan dengan Pasal 26 ayat 1c UU PA yang berbunyi orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Artinya, orang tua berhak dan berkewajiban melarang anak yang belum berusia 18 tahun untuk menikah. Jadi, penetapan anak sebagai mereka yang berumur sebelum 18 tahun sangat terkait dengan larangan pernikahan usia dini. Dengan jargon menjaga kesehatan reproduksi remaja, mereka membuat pernyataan bahwa nikah dini membahayakan fisik dan kejiwaan anak-anak. Sebuah asumsi yang masih layak diperdebatkan.
Padahal, pelarangan menikah pada usia anak seperti didefinisikan mereka, sejatinya justru mengebiri hak anak itu sendiri. Sebab, itu berarti tertutup peluang bagi mereka yang berusia kurang dari 18 tahun untuk menikah, walau dia sudah matang dan siap secara ekonomi, biologis dan pola pikir. Di sini telah terjadi pelanggaran atas hak seksual anak tersebut. Di sinilah letak kesalahan pendefinisian anak versi UU PA(9).
Ketentuan dalam pelarangan pernikahan pada usia pernikahan ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang perkawinan ( UU no 1 tahun 1974) yang telah lama negara indonesia miliki dan sudah bersifat univikasi. Terutama pada pasal 2 ayat 1 yang intinya mengkatakan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan.”, dengan adanya ketentuan pada UU perlindungan anak pasal 26 ayat 1c tersebut, tentu aturan pasal 26 ayat 1c ini bersimpangan dengan UU perkawinan dan pengaturan agama. Terutama islam karena jumlah penduduk indonesia yang beragama islam lebih dari 80%.
Aturan dari UU perlindungan anak ini jelas melanggar kebebasaan menganut, mempercayai, dan melaksanankan ketentuan beragama. Yang mana kekebesaan beragama tidak melarang dan menentukan berapa batas usia orang menikah, yang jelas ketentuan agama terutama islam menentukan orang tersebut sudah balig dan bisa dibebani hukum.
Apalagi, seiring semaraknya produk-produk pornografi dan pornoaksi yang tengah booming, kematangan biologis anak saat ini terpacu sangat cepat bahkan dikondisikan untuk dipacu. Usia puber anak-anak saat ini jauh lebih cepat dibanding zaman dahulu. Ketika darah mudanya bergejolak karena rangsangan luar tersebut, ia membutuhkan pemenuhan dan penyaluran. Lantas jika pernikahan dilarang, ke mana mereka akan menyalurkannya?