Minggu, 22 November 2009

Pencabutan Kewarganegaraan Paksa oleh Negara dalam Perfektif HAM

A. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Seperti dikemukakan oleh para ahli, sudah menjadi kenyataan yang berlaku umum bahwa untuk berdirinya negara yang merdeka harus dipenuhi sekurang-kurangnya tiga syarat, yaitu adanya wilayah, adanya rakyat yang tetap, dan pemerintahan yang berdaulat. Ketiga syarat ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu sama lain. Tanpa adanya wilayah yang pasti, tidak mungkin suatu negara dapat berdiri, dan begitu pula adalah mustahil untuk menyatakan adanya negara tanpa rakyat yang tetap, serta adanya pemerintahan yag tetap guna menjalankan pemerintahan dan melindungi hak-hak warga negaranya.
Rakyat yang menetap di suatu wilayah tertentu, dalam hubungannya dengan negara disebut warga negara. Warga negara secara sendiri-sendiri merupakan subjek-subjek hukum yang menyandang hak-hak dan sekaligus kewajiban-kewajiban dari dan terhadap negara. Setiap warga negara mempunyai hakhak yang wajib diakui (recognized) oleh negara dan wajib dihormati (respected), dilindungi (protected), dan difasilitasi (facilitated), serta dipenuhi (fulfilled) oleh negara. Sebaliknya, setiap warga negara juga mempunyai kewajiban-kewajiban kepada negara yang merupakan hak-hak negara yang juga wajib diakui (recognized), dihormati (respected), dan ditaati atau ditunaikan (complied) oleh setiap warga negara.
Di zaman modern sekarang, perkembangan dinamika hubungan antarnegara sangat terbuka, maka hubungan antara satu negara dengan dunia internasional tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, dalam setiap wilayah negara akan selalu ada warga negara sendiri dan orang asing atau warga negara asing, yang kesemuanya sama-sama disebut penduduk. Artinya, tidak semua penduduk suatu negara merupakan warga negara, karena mungkin saja dia adalah orang asing. Dengan demikian, penduduk suatu negara dapat dibagi dua yaitu warga negara dan orang asing. Keduanya mempunyai kedudukan yang berbeda dalam berhubungan dengan negara (state). Warga negara (citizens) mempunyai hubungan yang tidak terputus walaupun yang bersangkutan berdomisili di luar negeri, asalkan yang bersangkutan tidak memutus sendiri kewarganegaraannya.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sendiri memberikan perlindungan baik kepada setiap penduduk maupun setiap warga negara Republik Indonesia. Artinya, UUD 1945 juga menjamin perlindungan bagi setiap penduduk tanpa melihat apakah dia warga negara atau orang asing.
Namun karena asas-asas yang berkenaan dengan kewarganegaraan baik asas Ius Soli maupun Ius Sangius dapat menyebabkan terjadinya apatride atau bipatride. Pada umumnya, baik bipatride maupun apatride adalah keadaan yang tidak disukai baik oleh negara di mana orang tersebut berdomisili ataupun bahkan oleh yang bersangkutan sendiri. Keadaan bipatride membawa ketidakpastian dalam status seseorang, sehingga dapat saja merugikan negara tertentu atau pun bagi yang bersangkutan itu sendiri.
Sebaliknya, keadaan apatride juga membawa akibat bahwa orang tersebut tidak akan mendapat perlindungan dari negara mana pun juga. Kedua keadaan itu, yaitu apatride dan bipatride sama-sama pernah dialami oleh Indonesia.
Disebutkan keadaan dipatride maupun apatride adalah keadaan yang tidak disukai oleh negara, sehingga secara konseptual seorang hanya harus memiliki satu kewargnegaraan saja, seandainya jika terjadi seseorang menjadi warga negara Indonesia otomatis ia harus melepaskan kewarganegaraan yang lama, jika diketahui pada kemudian hari orang tersebut memberikan dan menyatakan sesuatu hal palsu atau dipalsukan. Maka kewarganegaraan Indonesia batal demi hukum, namun sementara ia sudah melepaskan kewarganegaraanya. Otomatis ia akan apatride.
Pasal 28 Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia menyatakan bahwa Setiap orang yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan keterangan yang kemudian hari dinyatakan palsu atau dipalsukan, tidak benar, atau terjadi kekeliruan mengenai orangnya oleh instansi yang berwenang, dinyatakan batal kewarganegaraannya.
Dengan demikian negara menjadikan seseorang tidak memiliki kewarganegaraan dengan Instrumen hukum.

Rumusan Masalah
Demi kemampuan penulis perlu pembatasan masalah, yakni sebagi berikut:
1. Apakah penghetian kewarganegaraan secara paksa oleh negara yang mengakibatkan seseorang Apatride melanggar Hak Asasi Manusia?
2. Bagaimana Perlindungan hukum terhadap orang yang mengalami Apatride?

B. LANDASAN TEORI
1. Warga negara, kewarganegaraan dan pewarganegaraan
Undang-Undang No 12 tahun 2006 menyebutkan pada ketentuan umum pasal 1 bahwa:
a. Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
b. Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara.
c. Pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan.

2. Asas kewarganegaraan dalam penentuan kewarganegaraan
Dalam berbagai literatur hukum dan dalam praktik, dikenal adanya tiga asas kewarganegaraan, yaitu asas ius soli, asas ius sanguinis, dan asas campuran. Dari ketiga asas itu, yang dianggap sebagai asas yang utama ialah asas ius soli dan ius sanguinis. Asas ius soli ialah bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan menurut tempat kelahirannya. Untuk mudahnya asas ius soli dapat juga disebut asas daerah kelahiran.
Sedangkan asas ius sanguinis dapat disebut sebagai asas keturunan atau asas darah. Menurut prinsip yang terkandung dalam asas kedua ini, kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh garis keturunan orang yang bersangkutan.sementara asas campuran adalah campuran dari kedua asas yang disebutkan diatas.
3 Kehilangan kewarganegaraan
Di samping itu, seseorang dapat pula kehilangan kewarganegaraan karena 3 (tiga) kemungkinan cara.
a. Renunciation, yaitu tindakan sukarela seseoranguntuk menanggalkan salah satu dari dua atau lebih status kewarganegaraan yang diperolehnya dari dua
b. negara atau lebih. Misalnya, dalam hal terjadi keadaan bipatride, yang bersangkutan dapat menentukan pilihan kewarganegaraan secara sukarela dengan menanggalkan salah satu status kewarganegaraannya (renunciation).
c. Termination, yaitu penghentian status kewarganegaraan sebagai tindakan hukum, karena yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan dari negara lain. Jika seseorang mendapatkan status kewarganegaraan dari negara lain, negara yang bersangkutan dapat memutuskan sebagai tindakan hukum bahwa status kewarganegaraannya dihentikan.
d. Deprivation, yaitu suatu penghentian secara paksa, pencabutan, atau pemecatan dari status kewarganegaraan berdasarkan perintah pejabat yang berwenang karena terbukti adanya kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan dalam cara perolehan status kewarganegaraan atau apabila orang yang bersangkutan terbukti tidak setia atau berkhianat kepada negara dan undang-undang dasar.

C. PEMBAHASAN
1. Pencabutan paksa kewarganegaraan oleh negara dalam presfektif HAM
Berdasarkan konsep hilang kewarganeraan Deprivation, yaitu suatu penghentian secara paksa, pencabutan, atau pemecatan dari status kewarganegaraan berdasarkan perintah pejabat yang berwenang karena terbukti adanya kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan dalam cara perolehan status kewarganegaraan atau apabila orang yang bersangkutan terbukti tidak setia atau berkhianat kepada negara dan undang-undang dasar.
Hilangnya status kewarganegaraan itu bisa saja terjadi karena kelalaian, karena alasan politik, karena alasan teknis yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa yang bersangkutan memang secara sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya sebagai warganegara Indonesia.
Sebab atau alasan hilangnya kewarganegaraan itu hendaknya dijadikan pertimbangan yang penting, apabila yang bersangkutan ingin kembali mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Proses yang harus dilakukan untuk masing-masing alasan tersebut sudah semestinya berbeda-beda satu sama lain. Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar dari kemungkinan menjadi stateless atau tidak berkewarganegaraan.
Tetapi pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara negaranegara modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh karena itu, di samping pengaturan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut, juga diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana, yaitu melalui registrasi biasa.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia memuat pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin didalamnya mencakup mulai dari pengakuan terhdap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya hingga hak-hak kolektif.
Sementara Hak untuk menjadi seorang warga negara adalah salah satu hak yang harus ada pada seorang manusia didalam ranah hukum publik sebagai konsekuensi adanya konsep negara. Ini juga merupakan implimentasi dari hak-hak sosial dan politik.
Indonesia sendiri yang mengakui diri sebagai negara hukum sebagai mana dicantumkan pada undang-undang dasar 1945 pada pasal 1 ayat (3), konsep negara hukum harus kongroen dengan hak asasi manusia. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi.
Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai negara hukum. Jika dalam suatu negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya.
Pasal 28 Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia menyatakan Setiap orang yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan keterangan yang kemudian hari dinyatakan palsu atau dipalsukan, tidak benar, atau terjadi kekeliruan mengenai orangnya oleh instansi yang berwenang, dinyatakan batal kewarganegaraannya.
Jelas pasal ini pada nantinya akan berimplikasi akan menghilang kewarganegaraan seseorang, apabila orang tersebut melakukan pemalsuan syarat-syarat berkenaan dengan kewarganegaraan. Sementara negara tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus.
Sehingga secara norma dan konsep penghentian/pencabutan kewarganegaraan seseorang secara paksa yang mengakibatkan seseorang tersebut apatride adalah pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara. Dimana dan kapanpun hak asasi itu tidak boleh dikurangi apalagi dicederaai meski orang tersebut melakukan suatu pelanggaran.
Ini berarti negara telah melakukan suatu pengamputasian terhadap hak-hak sosial dan politik seseorang dalam bernegara, atau lebih tepatnya perwarganegaraan negara.
2. Perlindungan hukum terhadap orang yang mengalami Apatride
Sebenarnya kondisi apatride maupun bipatride adalah hal yang diusahakan oleh setiap negara agar tidak terjadi pada seorangpun, undang-undang kewarganegaraan dibuat sedemikian untuk menutup kemungkinan kondisi aptride maupun bipatride, namun karena adanya konsep asas pewarganegaraan dan kondisi politik tetap membuka celah terjadinya bipatride maupun apatride.
Khusus apatride implikasi dari kondisi ini adalah orang tersebut tidak akan mendapat perlindungan dari negara mana pun juga baik perlindungan hukum, sipil dan politik.
Dengan demikian kondisi apatride ini merupakan bentuk pengkebirian terhadap hak-hak sipil dan politik seseorang, oleh karena itu perlindungan terhadap mereka multak harus diberikan oleh negara terakhir yang ia miliki maupun dari subjek negara lainnya sebagai bentuk tanggung jawab bersama berkenaan dengan kewarganegaraan.
Bagi mereka, jika ingin tetap berkewarganegaraan Indonesia, dapat mengajukan pernyataan tertulis kepada Pejabat atau Perwakilan RI kecuali berakibat berkewarganegaraan ganda.
Seseorang yang kehilangan kewarganegaraan RI dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya melalui proses pewarganegaraan. Khusus bagi mereka yang kehilangan kewarganegaraan RI akibat perkawinan atau karena tinggal lebih dari 5 tahun secara terus menerus di luar negeri, dapat memperoleh status WNI melalui proses memperoleh kembali kewarganegaraan tersendiri.

PENUTUP
Kesimpulan
Bahwa tindakan pemerintah yang mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan serta mengakibatkan seseorang tidak memiliki kewarganegaraan adalah perbuatan melanggar hak asasi manusia jika dipandang dalam prefpektif HAM. Sekalipun orang tersebut telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum.
Undang-undang kewarganegaraan dibuat sedemikian untuk menutup kemungkinan kondisi aptride maupun bipatride, namun karena adanya konsep asas pewarganegaraan dan kondisi politik tetap membuka celah terjadinya bipatride maupun apatride.
Secara normatif bagi mereka yang kehilangan kewarganegaraan indonesia dan ingin tetap berkewarganegaraan Indonesia, dapat mengajukan pernyataan tertulis kepada Pejabat atau Perwakilan RI kecuali berakibat berkewarganegaraan ganda. Seseorang yang kehilangan kewarganegaraan RI dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya melalui proses pewarganegaraan.

Pengawasan dan Penanganan Kerugian Keuangan Negara

A. MEKANISME PENGAWASAN KEUANGAN NEGARA
Menurut Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, yang dimaksud dengan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Pada hakekatnya, mekanisme pengawasan keuangan negara dapat dibedakan atas dua hal yaitu pengawasan intern dan pengawasan ekstern. Biasanya pengawasan intern meliputi pengawasan supervisi (built in control), pengawasan birokrasi serta pengawasan melalui lembaga-lembaga pengawasan intern. Pada pengawasan supervisi (pengawasan atasan terhadap bawahan) masing-masing pimpinan setiap unit diwajibkan melakukan pengawasan keuangan negara terhadap para bawahan yang menjadi tanggungjawabnya .
Apabila jenis pengawasan yang dilaksanakan adalah pengawasan kinerja maka pengertian efektif jika pelaksanaan pengawasan dapat menilai kinerja entitas yang dikaitkan dengan aspek efisiensi, ekonomis dan efektifitas pencapaian program/kegiatan.
Efisiensi pengawasan mengandung pengertian bahwa pengawasan yang dilakukan telah mempertimbangkan dan menggunakan sumber daya secara hemat tanpa mengurangi tujuan pengawasan. Namun demikian sebagian besar kota/kabupaten belum sepenuhnya memahami tujuan, manfaat, serta mekanisme pelaksanaan pengawasan yang bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Selain itu hasil pengawasan juga belum ditindaklanjuti secara optimal oleh pimpinan obyek yang diperiksa.
Adanya pengawasan yang dilakukan secara bertingkat ini, diharapkan adanya penyimpangan dari kebijakan (ketentuan) yang telah ditetapkan, dapat diketahui sedini mungkin (early warning system). Adapun pengawasan birokrasi yaitu pengawasan melalui sistem dan prosedur administrasi.
Perlu diketahui bahwa negara kita masih menggunakan sistem anggaran garis (line budgeting system) atau disebut sistem anggaran tradisional. Sistem ini hanya menitik beratkan pada segi pelaksanaan dan pengawasan anggaran. Dari segi pelaksanaan yang dipentingkan adalah kesesuaian (compilance) antara besarnya hak dengan obyek pengeluaran dari tiap-tiap Departemen atau lembaga negara .
Sedangkan dari segi pengawasan yang dipentingkan adalah kesahihan (validitas) bukti-bukti transaksi atas pembelanjaan anggaran tersebut. Sistem pembukuan yang berlaku di negara kita masih menggunakan sistem administrasi kas yaitu menerapkan tata buku tunggal (single entry bookkeeping) berdasarkan metode dasar tunai (cash basis).
Oleh karena itu yang langsung dapat diketahui adalah masalah transaksi kas atau penerimaan dan pengeluaran kas saja, sehingga untuk mengetahui prestasi (kinerja) yang dicapai dibalik hasil transaksi kas tersebut diperlukan analisis lebih lanjut. Hal ini untuk mengetahui apakah transaksi kas tersebut telah efisien dan efektif sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Mengingat sangat pentingnya pengawasan terhadap keuangan negara, maka baik pengawasan intern maupun pengawasan ekstern perlu ditingkatkan secara terus menerus. Meskipun telah banyak peraturan (regulasi) yang mengatur tentang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), namun tanpa political will dari Pemerintah untuk secara sungguh-sungguh memberantas praktek KKN, hal tersebut tidak ada artinya.


B. MEKANISNE PENANGANAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merumuskan keuangan negara sebagai seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul. Hak dan kewajiban itu bisa timbul karena dua hal. Pertama, berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Kedua, berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara
Pasal 32 UU 31 tahun 1999 menyebut frasa “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara”. Frasa ini mengandung arti “kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”. Frasa ini jelas menunjuk pada perlunya badan atau akuntan yang berwenang menentukan kerugian negara. Yang dalam hal ini adalah badan pemeriksan keuangan.
Pemeriksaan BPK dilaksanakan sesuai dengan dasar normatif tugas dan wewenang BPK untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dinyatakan bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
Jika hasil pemeriksaannya BPK menyatakan telah terdapat kerugian keuangan negara dalam penggunaan dana keuangan Negara/daerah. Oleh karena itulah BPK harus melaporkannya kepada KPK.
Laporan BPK kepada KPK tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yang menyatakan bahwa apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa BPK telah melaksanakan pemeriksaan sesuai standar pemeriksaan, menuangkan hasilnya dalam bentuk laporan hasil pemeriksaan sesuai standar, dan menyampaikan hasilnya kepada instansi yang berwenang sesuai dengan amanat UU.
Dengan demikian, BPK melakukan prosedur yang benar sesuai dengan ketentuan undang-undang dengan melaporkan temuan yang berindikasi tindak pidana korupsi kepada KPK. Oleh karena itu dugaan miscarriage of justice terhadap penegakan kasus yang mengakibatkan kerugian negara, tidak memiliki implikasi apapun terhadap laporan hasil pemeriksaan BPK dan laporan BPK kepada KPK.
Namun fakta hukum itu bisa menjadi pedoman bagi Hakim untuk menentukan jumlah kerugian keuangan negara yang harus ditangung oleh Terpidana. Bisa saja jumlah kerugian uang negara hanya muncul dalam surat Dakwaan tanpa hasil audit investigasi.
Fakta hukum tersebut menjadi dasar pertimbangan hukum (legal reasoning) bagi Hakim yang berada dalam domain judex facti untuk menentukan amar putusannya.

Rabu, 14 Oktober 2009

KEKUASAAN KEHAKIMAN MASA ORDE BARU

Kekuasaan kehakiman merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaan negara modern. Dalam bahasa Indonesia, fungsi kekuasaan yang ketiga ini seringkali disebut cabang kekuasaan “yudikatif”, dari istilah Belanda judicatief. Dalam bahasa Inggris, dipakai istilah judicial, judiciary, ataupun judicature.
Dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri. Oleh karena itu, dikatakan oleh John Alder, “The principle of separation of powers is particuarly important for the judiciary”. Bahkan, boleh jadi, karena Montesquieu sendiri adalah seorang hakim (Perancis), maka dalam bukunya, “L’Esprit des Lois”, ia mengimpikan pentingnya pemisahan kekuasaan yang ekstrim antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan terutama kekuasaan yudisial .
Pemisahan kekuasaan juga terkait erat dengan independensi peradilan. Prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu menghendaki bahwa para hakim dapat bekerja secara independen dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Bahkan, dalam memahami dan menafsirkan undang-undang dasar dan undang-undang, hakim harus independen dari pendapat dan bahkan dari kehendak politik para perumus undang-undang dasar dan undang-undang itu sendiri ketika perumusan dilakukan. Meskipun anggota Parlemen dan Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat mencerminkan kedaulatan rakyat dalam menentukan kebijakan kenegaraan, tetapi kata akhir dalam memahami maksudnya tetap berada di tangan para hakim.
Oleh sebab itu, salah satu ciri yang dianggap penting dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independent dan tidak berpihak (independent and impartial). Apapun sistem hukum yang dipakai dan sistem pemerintahan yang dianut, pelaksanaan the principles of independence and impartiality of the judiciary haruslah benar-benar dijamin di setiap negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy) .
Penerapan hukum pada hakekatnya merupakan penyelenggaraan pengaturan hubungan hukum setiap kesatuan hukum dalam masyarakat hukum. Pengaturan ini meliputi aspek pencegahan pelanggaran hukum dan penyelesaian sengketa hukum termasuk pemulihan kondisi atas kerugian akibat pelanggaran (berarti juga kejahatan). Dan mengingat Indonesia sebagai negara hukum maka setiap pelanggaran tersebut harus diproses melalui jalur hukum. Jalur hukum yang ditempuh yaitu melalui lembaga peradilan.
Sebagai masyarakat hukum, lembaga peradilan diharapkan dapat memberikan jaminan terhadap hak-hak masyarakat sehingga rasa keadilan dan kebenaran hukum berpihak pada yang benar. Dan harapan yang muncul dari masyarakat terhadap lembaga peradilan yang berpihak pada kebenaran, maka mendorong beberapa pihak untuk membuat aturan tentang lembaga peradilan
Indonesia yang memiliki perjalan panjang dalam penegakan hukum setidaknya bisa menengok kebelakang perjalan dan dinamika kekuasaan kehakiman. Terutama pada zaman orde baru dibawah tampuk kepemimpinan seorang presiden kedua Bapak H. M. Soeharto, yang pada zamannya juga Kemudian lahirlah UU No 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang memberi warna dinamika kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Proses terbentuknya UU No 14 Tahun 1970 inipun, diawali dengan perdebatan yang berarti dan berkepanjangan. Persoalan pokoknya bagi beberapa kelompok adalah penegakan hukum di negara Indonesia. Titik tolak perdebatan itu meluas dengan tuntutan agar UU No 19 tahun 1964 dicabut. UU No 19 Tahun 1964 merupakan penyempurnaan patrimonialisme formal. Demokrasi terpimpin membungkam para hakim, advokat dan para intelektual dengan ketentuan pasal 19, bahwa :
“ Presiden boleh campur tangan dengan leluasa dalam tiap tahap proses peradilan demi kelangsungan revolusi atau kepentingan nasional ”.
Hal inilah yang membuat persoalan badan peradilan diawal Orde Baru mendapat perhatian lebih besar daripada masa sebelumnya terutama adanya perubahan pandangan terhadap Negara Hukum, pandangan yang sangat menekankan pentingnya pemberian jaminan atas hak-hak perseorangan dan pembatasan atas kekuasaan politik, serta pandangan yang menganggap pengadilan tidak dapat dikaitkan dengan lembaga lain.
Setelah melalui berbagai perdebatan, tahun 1968 Menteri Kehakiman Umar Seno Adji menyerahkan rancangan yang dibuat oleh kementeriannya sendiri ke Parlemen, bersama dengan rancangan UU lainnya (mengenai Mahkamah Agung dan pengadilan sipil yang lebih rendah). Dua tahun kemudian setelah diadakannya perundingan secara luas, UU No 14 Tahun 1970 pada akhirnya diundangkan. Perdebatan tentang kemandirian lembaga peradilan hanya berlangsung baik pada awal Orde Baru mungkin sebelum Pemilu tahun 1971, tatkala kondisi politik masih tampak cair untuk timbulnya persoalan yang menyangkut sistem itu kemudian wacana kemandirian badan peradilan hanya wacana kaum akademisi saja.
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun me¬lalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian seng¬keta lainnya (alternative desputes or conflicts resolu¬tion). Bah¬kan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiat¬an pe¬ne¬gakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang di¬mak¬sudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah norma¬tif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam se¬gala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-be¬nar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mesti¬nya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu me¬nyang¬kut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau pe¬nyimpangan terhadap peraturan perundang-undang¬an, khu¬susnya -yang lebih sempit lagi- melalui proses per¬adil¬an pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, ke¬jak¬saan, advokat atau pengacara, dan badan-badan per¬adilan .
Secara konseptual, maka inti dan arti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyelaraskan hubungan nilai-nilai yang terjabar di dalam kaidah-kaidah yang mantap untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup .
Karena penegakan hukum adalah proses pembuatan keputusan berdasarkan kidah hukum maka dari itu secara tersirat, penegakan hukum dilaksanakan organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan
Secara khusus Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandement menyebutkan jelas berkenaan organ pelaksana kekuasaan kehakiman yakni pada pasal 24 :
(1) Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Dan agar pelaksanaan kekuasaan kehakiman itu merdeka, mandiri, dan bebas dari tekanan maka Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal mutlak adanya.
Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
Disamping itu karena Indonesia memproklamirkan diri sebagai Negara hukum (sebagaimana diletakan pada penjelasan UUD 1945 yang akhirnya penjelasan dihapus kemudian dimaksukan pada pasal 1 ayat (3)). Sehingga harus adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary).
Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat .

1. LAHIRNYA UU NO. 14 TAHUN 1970 TENTANG POKOK-POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pada masa awal Orde Baru, bahwa badan kehakiman diidealkan menjadi hakim yang bebas serta pembagian kekuasaan dalam pemerintahan adalah harapan sebagai badan yang mandiri dan kreatif untuk merintis pembaharuan hukum lewat mengartikulasian hukum dan moral rakyat. Dimana kekuasaan kehakiman pada masa Demokrasi terpimpin dipandang membungkam para hakim, advokat dan para intelektual dengan ketentuan pasal 19, bahwa :
“ Presiden boleh campur tangan dengan leluasa dalam tiap tahap proses peradilan demi kelangsungan revolusi atau kepentingan nasional ”.
Lahirnya Undang-Undang No 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang pada konsiderannya jelas menyebutkan bahwa Undang-Undang No 19 Tahun 1964 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Karena dipandang kekuasaan kehakiman yang seharusnya dijalankan secara mandiri, independent tidak teraplikasikan oleh undang-undang no. 14 tahun 1964 dan bahkan dipandang mencederai negara hukum dengan masuknya kekuasaan presiden di dalam ranah yudisial (peradilan) melalui pasal 19 UU No. 16 tahun 1964 tersebut.
Selain bertentangan dengan UUD 1945, UU 16 Tahun 1964 dianggap mengabaikan Semangat trias politica yang dianut Indonesia. Lemahnya posisi pengadilan semakin nyata apabila dalam pelaksanaan tugasnya berhadapan dengan kepentingan pemerintah. Pengadilan dikondisikan untuk memberikan justifikasi terhadap tindakan dan kebijakan pemerintah .
Dengan dicabutnya Undang-undang No 19 Tahun 1964 tersebut maka kewenangan Presiden untuk melakukan intervensi terhadap proses pemeriksaan perkara, tidak lagi memiliki payung hukum. Kemandirian pengadilan mulai memiliki ruang tersendiri.
UU No. 14 tahun 1970 yang pada pasal 1 menyebutkan bahwa kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Selanjutnya pada Pasal 10 undang-undang No 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman menyebutkan bahwa :
(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan;
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
(2) Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.
(3) Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh Pengadilan- pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung.
(4) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Undang-undang.
Semangat dari UU No 14 Tahun 1970 memang yang patut di apresiasi, dengan Empat lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang masing-masing memiliki kopentensi dibidangnya, yakni lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, telah diakui eksistensinya oleh hukum dasar yakni konstitusi negara Republik Indonesia.
Sementara itu Mahkamah Agung menjadi lembaga tinggi negara (lembaga negara) diranah yudisial, yang mana MA tidak hanya sebagai pemegang puncak kekuasaan kehakiman tetapi juga menjadi lembaga yang diberi wewenang oleh undang-undang pokok kekuasaan kehakiman untuk mengawasi perbuatan peradilan yang lain (pasal 10 ayat (4)).
Mahkamah Agung sebagai salah satu badan yang melakukan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945, didefinisikan sebagai “... Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.”

2. KEDUDUKAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP LEMBAGA EKSEKUTIF ZAMAN ORDE BARU
Undang-undang pokok kehakiman No 14 tahun 1970 tidak hanya membawa spirit perubahan yang mendasar pada kekuasaan kehakiman tetapi juga meninggalkan sejumlah masalah, dan boleh dikatakan masalah yang terjadi pada zaman orde lama terulang kembali dijaman orde baru, tetapi dengan sistem yang lebih sistemik.
Hukum besi kekuasaan kembali terulang dizaman orde baru, apa lagi kekuasaan itu telah menjadi kuat dan mengakar dengan lamanya kepemimpinan eksekutif ditangan oleh satu orang selama 32 tahun. Setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.
Yang menjadi sorotan besar ketika departemen-departemen yang notabene bagian dari kekuasaan eksekutif ikut dan berandil dalam penyelenggaraan peradilan meski hanya dalam ranah administrasi, finansial keuangan, dan perekrutan hakim, Pasal 11 UU 14 tahun 1970 berbunyi :
1. Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 (1) organisatoris, administratif dan finansial ada dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan.
2. Mahkamah Agung mempunyai organisasi, adminstrasi dan keuangan tersendiri.
Sementinya Fungsi organisatoris, administratif dan finansial dalam satu atap tetap diperlukan sebuah lembaga yang independen untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja lembaga peradilan sampai sistem dan mental para Hakim sudah baik.
Departemen Kehakiman tercatat dalam skenario sejarah penegakan hukum di Indonesia telah memerankan fungsinya sebagai penguasa atas separoh sosok pribadi hakim. Separoh bagian yang lainnya dikuasai oleh Mahkamah Agung sebagai salah satu badan penyelenggara kekuasaan kehakiman. Buktinya, golongan, pangkat, serta penghasilan dan sistem penggajiannya selama itu berada di bawah kendali Departemen Kehakiman (eksekutif). Sementara itu, urusan yang menyangkut benar atau tidaknya, baik atau buruknya dalam memberikan pertimbangan putusan, Mahkamah Agung-lah (yudikatif) yang berkompeten untuk menilai hakim bawahan pada pengadilan rendahan .
Perekrutan hakim, karier, serta administrasi, dan keuangan lembaga peradilan di bawah kendali pemerintah, yaitu Departemen Kehakiman. Di sisi lain, terdapat badan peradilan yang berada di bawah institusi pemerintah, yaitu pengadilan agama di bawah Departemen Agama dan pengadilan militer di bawah ABRI. Kedudukan dan ketergantungan tersebut mengakibatkan terganggunya independensi lembaga-lembaga peradilan tersebut dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara .
Pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktek-praktek negatif pada proses peradilan. Penegakan hukum belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah .
Peradilan yang baik adalah peradilan yang diselenggarakan oleh sistem yang kekuasaan kehakiman yang independen dan impartial serta merdeka demi tegaknya negara hukum, oleh karena itu menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial harus berada dibawah satu atap dibawah kekuasaan Mahkamah Agung .
Pentingnya menegaskan kekuasaan kehakiman yang merdeka, perlunya menjamin penegakan hukum dengan mengatur badan-badan yang terkait dengan itu, perlunya pengawasan terhadap hakim, dan perlunya penerapan judicial review. Penegasan kekuasaan kehakiman yang merdeka menjadi perhatian utama karena kondisi masa lalu yang menempatkannya di bawah kendali kekuasaan eksekutif.
Untuk menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman, pengelolaan kekuasaan kehakiman baik dari sisi sumber daya, administrasi, maupun keuangan harus diselenggarakan oleh kekuasaan kehakiman sendiri. Selain itu, semua lingkungan peradilan yang ada berada di bawah lembaga pelaku kekuasaan kehakiman, tidak ada yang berada di bawah instansi pemerintah. Jaminan tersebut diwujudkan dalam rumusan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan demi menegakkan hukum dan keadilan.

DAFTAR BACAAN
Anonim. Mahkamah Agung Dalam Masa Transisi. Konsosium Reformasi Hukum Nasional
A. Husnaini.. Reposisi Peradilan Versi Amandemenr Ketiga UUD 1945.
Asshiddiqie, Jimly. 2005. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2. Jakarta: Konstitusi Pers
----------------------. 2005. Konstitusi dan konstitusionalisme. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Pers.
----------------------. Pembangaunan Hukum Dan Penegakan Hukum Di Indonesia (Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 17 Februari 2006) Hlm 14.
Gaffar, Janedjri M.. Konstitusi Indonesia Kekuasaan Kehakiman. www.unisosdem.org
Huda, Hi’matul. 2006 Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo persada.
Sokanto, Soerjono. 2007.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suparman, Erman. Menuju Kekuasaan Kehakima Yang Merdeka. Bandung Universitas Padjajaran.

Sabtu, 10 Oktober 2009

KEKUASAAN KEHAKIMAN DI MASA DEPAN*

TANTANGAN YANG DIHADAPI
Mahkamah Agung (MA) merupakan puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan Kehakiman itu seperti ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Banyak yang menafsirkan bahwa dalam perkataan merdeka dan terlepas dari ‘pengaruh’ kekuasaan pemerintah itu, terkandung pengertian yang bersifat fungsional dan sekaligus institusional. Tetapi, ada yang hanya membatasi pengertian perkataan itu secara fungsional saja, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah itu tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat atau yang patut dapat diduga akan mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian perkara yang dihadapi oleh hakim. Karena itu penjelasan kedua pasal itu mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung, langsung dikaitkan dengan jaminan mengenai kedudukan para hakim. Maksudnya ialah agar para hakim dapat bekerja profesional dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah, kedudukannya haruslah dijamin dalam undang-undang.
Karena itu, kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu haruslah dipahami dalam konteks kemerdekaan para hakim dalam menjalankan tugasnya. Karena itu, menurut pandangan ini, kedudukan para hakim yang merdeka itu tidak mutlak harus diwujudkan dalam bentuk pelembagaan yang tersendiri. Jalan pikiran demikian inilah yang berlaku selama ini, sehingga tidak pernah terbayangkan bahwa kekuasaan Mahkamah Agung dapat dikembangkan dalam satu atap kekuasaan kehakiman yang mandiri secara institusional. Celakanya, praktek yang terjadi sejak Indonesia merdeka sampai berakhirnya era Orde Baru cenderung menunjukkan bahwa proses peradilan di lingkungan lembaga-lembaga pengadilan di seluruh tanah air juga seringkali justru dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah. Akibatnya, kekuasaan kehakiman kita bukan saja tidak merdeka secara institusional administratif, tetapi juga secara fungsional-prosesual dalam proses penyelesaian perkara keadilan.
Bersamaan dengan itu, selama lebih dari 30 tahun kekuasaan Orde Baru berhasil dengan sangat kuat memusatkan kekuasaan di tangan Pemerintah. Sentralisasi dan konsentrasi kekuasaan bahkan terus meningkat dan memusat ke arah satu tokoh sentral, yaitu Presiden. Ketika perkembangan kompleksitas permasalahan yang timbul dalam masyarakat makin meningkat bersamaan dengan kemajuan pembangunan di segala bidang, organisasi negara justru berkembang makin birokratis dan memusat ke puncak kekuasaan Presiden. Sistem kekuasaan terpusat itu, lama kelamaan mendorong tumbuh suburnya manipulasi dan penyalahgunaan wewenang dimana-mana, sehingga pada akhirnya membentuk suatu karakter kolektif yang kemudian dikenal luas sebagai praktek KKN.
Kultur birokrasi dan organisasi negara yang penuh KKN itu berpengaruh dalam semua sektor kelembagaan negara kita, tak terkecuali di lingkungan organisasi kekuasaan kehakiman kita. Kita semua tidak perlu malu mengakui kenyataan ini dalam rangka membangun kesadaran baru mengenai pentingnya memperbaiki diri dalam rangka memberbaiki keseluruhan keadaan nasional yang sedang kita hadapi sebagai bangsa. Celakanya lagi, kultur masyarakat yang kita warisi dari masa lalu, juga cenderung memberikan pembenaran terhadap kecenderungan terjadinya sentralisasi dan konsentrasi kekuasaan itu. Sebagian terbesar warga masyarakat kita masih hidup dalam bayang-bayang sikap yang sangat paternalistik. Hubungan kebudayaan masih sangat dipengaruhi oleh sistem keteladanan pemimpin.
Semua ini ditambah pula oleh kenyataan bahwa sebagian terbesar warga masyarakat kita masih berada dalam tingkat kesejahteraan yang serba kekurangan. Karena itu, kultur paternalisme, sistem kekuasaan yang terpusat, dan tingkat kesejahteraan yang masih rendah, telah menyebabkan vitalitas dan energi kolektif masyarakat kita dikungkung oleh kejumudan yang makin meratakan kultur perilaku yang tidak sehat, baik untuk agenda demokrasi maupun untuk penegakan hukum dan supremasi hukum. Inilah warisan masalah hukum yang harus dihadapi oleh sistem kekuasaan kehakiman kita yang merdeka di masa depan. Inilah pula persoalan-persoalan pokok yang harus dihadapi oleh cita-cita menegakkan prinsip negara hukum yang demokratis ataupun negara demokrasi modern yang berdasar atas hukum di negeri kita.
Karena itu, penting bagi kita melakukan reformasi yang mendasar terhadap sistem peradilan, tidak saja menyangkut penataan kelembagaannya (institutional reform) ataupun menyangkut mekanisme aturan yang bersifat instrumental (intrumental atau procedural reform), tetapi juga menyangkut personalitas dan budaya kerja aparat peradilan serta perilaku hukum masyarakat kita sebagai keseluruhan (ethical dan bahkan cultural reform). Dalam pengertian kita tentang sistem peradilan itu sendiri juga tercakup peranan dan fungsi kepolisian, kejaksaan, kepenasehatan, kehakiman, kepaniteraan, dan bahkan lembaga pemasyarakatan dalam satu kesatuan jaringan sistemik. Idealnya, kita tidak dapat memperbaiki sistem peradilan hanya dengan tambal sulam dan per sektor, tetapi haruslah menyeluruh menyangkut semua aspek dan unsur sistem peradilan itu.
Namun, agar supaya fokus perhatian dapat dipusatkan satu per satu, maka dalam telaah kali ini kita mengkhususkan perhatian pada pembahasan tentang sistem kekuasaan kehakiman dalam rangka materi rancangan undang-undang tentang Mahkamah Agung yang akan datang. Beberapa masalah strategis yang biasa diperdebatkan dalam hubungan ini antara lain adalah: (a) persyaratan hakim agung, terutama berkenaan dengan ide pengangkatan hakim agung melalui sistem karir dan non-karir; (b) soal ‘judicial review’ dan tata cara pengujian, serta kewenangan-kewenangan lainnya seperti memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden, membuat aturan hukum formil untuk kelancaran pelaksanaan peradilan dalam bentuk Peraturan MA, dan pengawasan terhadap pengacara; dan © soal pembentukan Komisi Yudisial, komposisi, tugas, fungsi dan kewenangannya, serta masalah pertanggung-jawaban Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga tinggi negara dan kontrol masyarakat terhadap kekuasaan kehakiman.
PRINSIP PEMISAHAN DAN KESEIMBANGAN KEKUASAAN
1. Pemisahan Tiga Cabang Kekuasaan:
Pada waktu disusun, para perumusnya bersepakat bahwa UUD 1945 memang tidak didasarkan atas teori ‘trias politica’ yang memisahkan secara tegas antar tiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif. Khusus mengenai cabang kekuasaan judikatif memang ditentukan harus mandiri atau bebas dari pengaruh cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Namun, pemisahan yang tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif tidak dijadikan landasan berpikir dalam merumuskan fungsi MPR, DPR, dan Presiden. Karena kekuasaan membentuk UU menurut rumusan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum diadakan amandemen dengan Perubahan Pertama, ditentukan berada di tangan Presiden. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR. Artinya, dalam kaitannya dengan fungsi legislatif itu, memang terdapat hubungan yang tumpang tindih antara DPR dan Presiden.
Logika yang dibangun dalam hubungan ini adalah bahwa UUD 1945 memang tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal, melainkan teori pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal. Maksudnya ialah bahwa sistem kekuasaan atau kedaulatan rakyat yang dianut bangsa Indonesia pertama-tama diwujudkan secara penuh dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Dari Majelis yang terhormat inilah kekuasaan rakyat itu dibagi-bagikan ke dalam fungsi-fungsi lembaga Presiden (Pemerintah) yang merupakan pihak eksekutif dan lembaga DPR sebagai pengendali atau pengawasnya. Sedangkan fungsi legislatif dibagikan secara seimbang antara Presiden dan DPR.
Namun demikian, dalam Perubahan Pertama UUD 1945 yang telah disahkan dalam Sidang Umum MPR akhir tahun lalu, bunyi Pasal 5 ayat (1) itu diganti menjadi: “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Sedangkan dalam Pasal 20 ayat (1) dinyatakan: “Presiden berhak mengajukan Rancangan UU untuk mendapatkan persetujuan DPR”. Di samping itu, ada pula ketentuan baru dalam Pasal 20 yang menyatakan: “Presiden mengesahkan RUU menjadi UU”. Dengan adanya ketentuan baru ini maka kekuasaan legislatif dapat dikatakan telah bergeser dari Presiden ke DPR, meskipun dalam pelaksanaan dapat saja terjadi bahwa Presiden tidak bersedia mengesahkan RUU yang telah ditetapkan oleh DPR itu. Boleh jadi, kewenangan Presiden untuk mengesahkan atau tidak mengesahkan RUU tersebut dapat dipahami dalam pengertian hak veto Presiden terhadap kekuasaan lembaga legislatif.
Tetapi, jika demikian, sudah seharusnya hak veto itu dibatasi dengan lebih jelas sehingga tidak dimanfaatkan oleh Presiden untuk berbuat semena-mena. Misalnya, jika suatu RUU telah mendapat persetujuan lebih dari 2/3 suara anggota DPR, maka pengesahan oleh Presiden bersifat wajib. Atau dapat pula ditentukan agar DPR dapat membahas ulang RUU tersebut dan kemudian apabila diperoleh putusan dengan dukungan yang lebih banyak anggota dibandingkan dengan keputusan sebelumnya, maka RUU tersebut wajib disahkan oleh Presiden. Namun, terlepas dari ada tidaknya pengaturan pembatasan mengenai hak veto ini, yang jelas ketentuan dalam Perubahan Pertama UUD 1945 secara tegas berusaha memisahkan fungsi legislatif dari fungsi eksekutif. Dengan demikian, UUD kita dewasa ini secara resmi telah menganut sistem pemisahan kekuasaan yang tegas antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judikatif.
Akibat lebih lanjut dari hal itu ialah bahwa sudah semestinya kita konsisten dan konsekwen mengenai pemisahan kekuasaan tersebut. Salah satunya akibatnya ialah bahwa kita tidak dapat lagi mempertahankan teori pembagian kekuasaan secara vertikal dari MPR ke lembaga-lembaga tinggi negara. Tetapi, jika keberadaan MPR masih tetap ada, logika semacam itu jelas belum dapat sepenuhnya dijadikan dasar pemikiran mengenai sistem ketatanegaraan kita yang baru. Mungkin itu, sebabnya banyak ahli hukum tatanegara yang berpendapat bahwa agenda perubahan konstitusi kita masih bersifat tambal sulam.
2. Mekanisme ‘Check and balance’ antar Cabang Kekuasaan Yang Terpisah-Pisah:
Sebagai konsekwensi terjadinya pemisahan kekuasaan antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan judikatif, maka mekanisme hubungan di antara cabang-cabang kekuasaan yang terpisah-pisahkan itu perlu diatur menurut prinsip ‘check and balance’, sehingga hubungan antara satu lembaga dengan lembaga lain dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan.
Kekuasaan Presiden:
a. Di bidang legislatif, Presiden diberi hak untuk mengambil inisiatif mengajukan RUU kepada DPR, menetapkan peraturan-peraturan pelaksanaan sebagai ‘policy rules’ (beleidregels), hak veto untuk tidak mengesahkan suatu RUU yang telah disetujui oleh DPR, hak hukum untuk sementara waktu dalam keadaan kegentingan yang memaksa menetapkan peraturan yang seharusnya berbentuk UU.
b. Di bidang judikatif, Presiden diberi hak, dengan pertimbangan Mahkamah Agung, untuk menetapkan pemberian grasi, abolisi, dan amnesti, mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung untuk menguji suatu UU yang telah disahkan oleh DPR tetapi Presiden sendiri tidak bersedia mengesahkannya ataupun tidak menyetujui isi suatu UU tetapi DPR tidak bersedia mengubahnya.
Kekuasaan Legislatif DPR:
a. Kekuasaan membentuk UU berada di DPR, tetapi Presiden juga diberi hak untuk mengajukan RUU kepada DPR.
b. Presiden diberi hak veto untuk mengesahkan atau tidak mengesahkan suatu RUU yang telah disetujui oleh DPR. RUU yang tidak disahkan oleh Presiden ini tidak dapat lagi dimajukan kepada Presiden pada periode berikutnya. Sebaliknya, setiap RUU yang diajukan oleh Presiden yang tidak mendapat persetujuan DPR, juga tidak boleh lagi dimajukan kepada DPR pada periode berikutnya.
c. Ketentuan hak veto Presiden ataupun hak untuk tidak menyetujui RUU yang diajukan pihak lain itu, masih perlu dibatasi sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan. Karena itu, Mahkamah Agung dapat dipertimbangkan untuk diberikan hak untuk menerima permohonan dari pihak DPR ataupun Presiden untuk menguji materi RUU tersebut terhadap UUD. Dengan demikian, kita dapat memperluas pengertian tentang ‘judicial review’ yang juga diterapkan terhadap suatu RUU.
d. Seperti tersebut di atas, Mahkamah Agung harus diberi hak untuk menguji materi setiap UU terhadap UUD. Ketika UUD 1945 dirumuskan, usul Muhammad Yamin mengenai soal ini ditolak oleh Seopomo dengan alasan UUD tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan. Tetapi, sekarang UUD 1945 telah dengan tegas menganut prinsip pemisahan kekuasaan itu, maka hak Mahkamah Agung di bidang ini tidak dapat lagi dihindari sebagai salah satu mekanisme yang efektif untuk menjaga ‘checks and balances’ di antara sesama lembaga tinggi negara.
Fungsi Kekuasaan Mahkamah Agung:
a. Kekuasaan kehakiman, baik dari segi substansinya maupun administrasinya, telah ditetapkan bersifat mandiri dan terpadu di bawah pembinaan Mahkamah Agung, tetapi pada saat yang bersamaan peran DPR untuk mengontrol kekuasaan Mahkamah Agung ditingkatkan melalui penentuan pengangkatan dan pemberhentian hakim agung, dan dengan pembentukan Komisi Judisial untuk mengawai segi-segi administrasi kekuasaan kehakiman.
b. Dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, Presiden diberi hak untuk memberikan grasi, abolisi dan amnesti.
Dari rincian fungsi masing-masing lembaga tersebut diatas dapat tergambar bahwa hubungan di antara Presiden, DPR dan Mahkamah Agung dapat dikembangkan secara seimbang. Melalui mekanisme ‘checks and balances’ tersebut, ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif yang tercermin di ketiga lembaga tersebut dapat saling mengendalikan dan saling mengimbangi, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan di antara satu sama lain.
3. Persoalan MPR dan MA, antara Demokrasi dan Nomokrasi:
Yang menjadi masalah kita kemudian adalah mengenai keberadaan lembaga MPR yang selama ini diakui sebagai wadah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang berdaulat atau pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara Republik Indonesia, sesuai prinsip demokrasi ataupun ajaran kedaulatan rakyat. Selama ini diakui bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin Montesquieu tentang ‘trias politica’ ataupun prinsip ‘separation of power’. Dari uraian-uraian Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI, kita medapat keyakinan mengenai soal ini. Karena itu, doktrin yang dianggap berlaku dalam sistematika UUD 1945 adalah pembagian kekuasaan secara vertikal dari MPR yang merupakan penjelamaan seluruh rakyat kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah MPR yang meliputi Presiden, DPR, MA, BPK, dan DPA.
Namun, jika sekarang setelah diadakan Perubahan Pertama UUD 1945, kita mencantumkan secara tegas pasal-pasal yang mengatur terjadinya pemisahan kekuasaan secara tegas antara fungsi-fungsi eksekutif, legislatif dan judikatif yang dilengkapi pula oleh mekanisme ‘check and balance’ yang benar-benar seimbang antara satu sama lain, dapat timbul persoalan mengenai eksistensi MPR itu sendiri. Jika misalnya sistem parlemen kita telah direstrukturisasikan menjadi bikameral, teridiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Utusan Daerah, sudah tentu tidak ada masalah dengan penghapusan lembaga MPR. Kalau MPR masih akan dipertahankan, keberadaannya cukup sebagai ‘forum’ saja, bukan lagi institusi yang tersendiri. Tetapi, jika keberadaannya sebagai lembaga masih akan diteruskan, ataupun misalnya, ide restrukturisasi parlemen menjadi bikameral tidak segera mendapat persetujuan, maka kita terpaksa harus merumuskan dasar-dasar teoritis dan konseptual yang kokoh, sehingga keberadaan lembaga MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat itu dapat berjalan seiring dengan upaya kita melakukan reformasi terhadap sistem kekuasaan kehakiman.
Selama keberadaan lembaga MPR masih dipertahankan, kita tidak mungkin mengaitkan konsep pertanggungjawaban Mahkamah Agung, misalnya, kepada DPR. Kita juga tidak dapat memberikan wewenang kepada DPR untuk menentukan pengangkatan para hakim agung, karena bukanlah lebih masuk akal jika wewenang menentukan pengangkatan hakim agung itu diberikan kepada lembaga MPR, bukan DPR. Kalaupun pengangkatan hakim agung ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, maka kedudukan Presiden disini haruslah dilihat sebagai Kepala Negara, bukan sebagai Kepala Pemerintahan.
Sebenarnya, lembaga MPR itu merupakan puncak dari sistem kedaulatan rakyat, sedangkan Mahkamah Agung dapat dilihat sebagai puncak pencerminan sistem kedaulatan hukum. Ajaran kedaulatan rakyat mencerminkan prinsip demokrasi (Demos Cratos atau Cratien), sedangkan ajaran kedaulatan hukum berkaitan dengan prinsip nomokrasi (Nomos Cratos atau Cratien) yang istilah yang lebih populer dihubungkan dengan doktrin ‘the Rule of Law’ dan prinsip ‘Rechtsstaat’ (Negara Hukum). Perdebatan teoritis dan filosofis mengenai mana yang lebih utama dari kedua prinsip ajaran kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat ini dalam sejarah terus berlangsung sejak zaman Yunani kuno. Di zaman modern sekarang ini, orang usaha untuk merumuskan jalan tengahnya juga terus terjadi. Misalnya dikatakan bahwa kedua prinsip itu tak ubahnya merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Keduanya menyatu dalam konsepsi negara hukum yang demokratis ataupun konsepsi negara demokrasi yang berdasar atas hukum.
Namun demikian, dalam praktek, tidaklah mudah untuk mengkompromikan prinsip kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat itu dalam skema kelembagaan yang benar-benar seimbang. Dalam sistem UUD 1945 selama ini, lembaga tertinggi negara justru diwujudkan dalam lembaga MPR yang lebih berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, dapat dipertimbangkan bahwa dalam rangka reformasi kekuasaan kehakiman di masa depan, lembaga Mahkamah Agung itu ditempatkan dalam kedudukan yang sederajat dengan MPR, atau justru lembaga tertinggi MPRnya yang direstrukturisasi menjadi parlemen bikameral seperti yang sudah banyak diusulkan.
KEANGGOTAAN MAHKAMAH AGUNG
1. Hakim Karir, Non-Karir, dan Jumlah serta Komposisinya:
Untuk mengatasi agar dunia hakim agung kita dapat berkembang dinamis dengan memperoleh darah segar dari luar lingkungan peradilan, maka sebaiknya RUU yang baru memungkinkan penerapan sistem terbuka untuk pengangkatan hakim dari mereka yang bukan berasal dari hakim karir. Bersamaan dengan itu, memang harus pula diatur agar sistem karir dalam dunia hakim kita juga dapat terjamin dengan sebaik-baiknya, sehingga tidak mengganggu ‘reward system’ di lingkungan para hakim. Karena itu, dapat ditentukan secara bertahap bahwa apabila keadaan sudah kembali norma nantinya, proporsi hakim agung non-karir, dijatahkan sebanyak 70 persen, sedangkan hakim non-karir tidak boleh lebih dari 30 persen. Akan tetapi, dalam rangka menjamin efektifnya proses reformasi yang sedang berlangsung sekarang ini, maka untuk pengangkatan pertama ini, hakim non-karir itu sebaiknya berjumlah tidak kurang dari 50 persen, sehingga dapat diharapkan tumbuhnya suasana yang benar-benar mencerminkan semangat reformasi dan perbaikan.
Jumlah hakim agung sebaiknya juga tidak terlalu banyak, tetapi cukup untuk menampung kebutuhan pelaksanaan tugas yang kompleks dalam sistem yang dipakai di Indonesia. Kalau sekarang karena adanya kebutuhan untuk menyelesaikan begitu banyak tunggakan perkara, ditetapkan jumlahnya 60 orang, maka hal itu sebaiknya dianggap sebanyak jumlah sementara sampai keadaan menjadi normal, jumlah normatifnya cukup dibatasi sebanyak 45 orang, terdiri atas 14 hakim non-karir, dan sisanya hakim karir. Komposisi hakim agung itu sebaiknya ditentukan menurut bidang-bidang hukum perdata, agama, adat, pidana. Tata usaha negara, ekonomi, hak asasi manusia, pengujian peraturan, ditambah dengan bidang hukum tata negara dalam rangka mengantisipasi sengketa penafsiran konstitusi antar daerah otonomi dan antar lembaga tinggi negara, bidang hukum militer dalam hubungan dengan fungsi pengadilan militer, dan bidang hukum internasional yang makin banyak menuntut keahlian para hakim Indonesia di era globalisasi dewasa ini.
2. Syarat menjadi Hakim Agung dan Batas Usia Maksimum-Minumum:
Sesuai dengan sebutannya sebagai ‘Hakim Agung’, maka persyaratan keanggotaan Mahkamah Agung hendaknya benar-benar memenuhi syarat yang ideal tentang kualifikasi hakim yang benar-benar dapat diagungkan. Masa kerja hakim, biasanya ditentukan menurut batasan usia atau menurut sistem periodesasi. Selama ini, karena status hakim adalah pegawai negeri, maka sistem yang dianut adalah berdasarkan batas usia. Untuk menjamin kemandirian hakim, status pegawai negeri dihapuskan, diganti dengan status hakim sebagai pejabat negara menurut sistem periodesasi. Sebetulnya, sebagai pilihan masa kerja hakim itu dapat saja ditentukan untuk seumur hidup. Untuk menghindarkan jangan sampai faktor usia ini bersifat mutlak dengan kemungkinan adanya hakim yang uzur atau pikun dan sebagainya, maka dapat diatur mekanisme pemberhentian hakim agung karena alasan uzur atau tidak sehat ataupun karena diduga melakukan kejahatan yang diancam dengan pidana yang berat.
Di samping itu, semua syarat yang selama ini untuk menjadi hakim agung dapat terus diberlakukan dan bahkan lebih ditingkatkan lagi kualitasnya.Untuk menjamin kemandirian hakim, saya menyetujui bahwa hakim karir diangkat untuk seumur hidup, bukan sampai berusia 60 seperti PNS eselon 1 ataupun 65 tahun dan dapat diperpanjang menjadi 70 tahun seperti PNS Guru Besar di Perguruan Tinggi. Tetapi untuk hakim non-karir, yang diangkat dengan maksud untuk memungkinkan adanya penyegaran terus menerus, saya usulkan misalnya, dibatasi menurut sistem periodesasi, yaitu untuk waktu 2 kali 5 tahun. Dengan demikian, kita menerapkan sistem campuran antara sistem periodesasi dan sistem batas usia dengan variasai usia seumur hidup bagi hakim karir.
Di samping menyetujui ditiadakannya pembatasan usia maksimum seperti Amerika Serikat, persyaratan kualitatif untuk pengangkatan hakim perlu ditingkatkan dengan diimbangi pengaturan melalui mekanisme ‘impeachment’ hakim. Misalnya, perlu diatur dalam hal seorang hakim agung yang sudah uzur karena dimakan usia, maka yang bersangkutan dapat diberhentikan dari jabatannya sebagai hakim agung Demikian pula apabila terbukti seorang hakim agung melakukan tindak pidana tertentu yang diancam dengan pidana minimum tertentu, harus dimungkinkan pula untuk diberhentikan. Akan tetapi, batas usia itu sebaiknya dihilangkan dari ketentuan mengenai jabatan hakim agung. Dengan demikian, cara kerja hakim tidak akan dibatasi oleh irrasionalitas psikologi pegawai negeri yang menghadapi Masa Persiapan Pensiun (MPP) sebagaimana sering menghinggapi banyak pegawai negeri.
Mengenai batas usia minimum, sekarang ditentukan 50 tahun. Batas minimum 50 tahun ini memang dapat diterima mengingat sistem rekruitmennya bersifat tertutup. Akan tetapi dalam sistem yang terbuka yang banya diusulkan, saya setuju agar pembatasan usia minimum 50 tahun itu sebaiknya dikurangi menjadi 45 tahun. Namun, batas usia minimum 45 tahun ini sebaiknya tidak diterapkan untuk hakim karir, melainkan untuk hakim non-karir. Batas maksimum usia seumur hidup, juga tidak digunakan untuk hakim non-karir. Dengan demikian, untuk hakim karir dapat ditentukan persyaratan usia minimum 50 tahun dan diangkat untuk seumur hidup. Sedangkan untuk hakim non-karir, dapat ditentukan minimum 45 tahun dan diangkat paling lama untuk 10 tahun, sehingga dinamika pergantian dan penyegaran dalam tubuh MA dapat terus dipelihara dari waktu ke waktu.
3. Pemilihan dan Pengangkatan Hakim Agung:
Bagaimanakah Hakim Agung dan begitu pula pimpinan Mahkamah Agung sebaiknya dicalonkan, dipilih, diangkat dan diberhentikan. Menurut pendapat saya, pencalonan hakim agung sebaiknya tidak diatur seperti sekarang, yaitu diajukan pencalonannya hanya oleh Presiden sebagai Kepala Negara. Karena Mahkamah Agung itu mencerminkan prinsip kedaulatan hukum, pencalonan keanggotaannya jangan diserahkan secara eksklusif hanya kepada satu lembaga, karena hal itu dapat mempengaruhi kemandirian kekuasaan kehakiman. Sebaiknya, pencalonan hakim agung itu dapat diajukan, baik oleh Presiden sebagai Kepala Negara ataupun oleh DPR. Nantinya, apabila Dewan Utusan Daerah telah terbentuk dalam rangka sistem parlemen bikameral, maka lembaga DUD ini juga dapat diberikan hak untuk mengajukan calon anggota Mahkamah Agung. Jika calonnya diajukan oleh Presiden, maka yang menyetujui haruslah DPR atau DUD. Jika yang mengusulkan adalah DUD dan kemudian disetujui pula oleh DPR, maka Presiden tidak berhak untuk tidak mengangkat calon yang sudah disetujui. Dengan demikian, prinsip ‘check and balance’ sehubungan dengan pengangkatan hakim agung itu dapat dipelihara, dan tidak didominasi oleh kekuasaan Presiden.
Jumlah calon yang diajukan tersebut sedikitnya harus berjumlah 2 kali lipat dari jumlah yang dibutuhkan untuk pengangkatan hakim agung itu, dan jumlah yang dipilih harus pula memenuhi jumlah yang dibutuhkan. Ketentuan demikian ini harus ditegaskan sehingga tidak terjadi kekisruhan di kemudian hari karena permainan kekuasaan dari pihak-pihak yang berwenang. Masalahnya kemudian kemana pencalonan itu diajukan dan dimana pemilihan dilakukan. Menurut ketentuan sekarang, pencalonan itu diajukan untuk memperoleh persetujuan DPR. Dalam praktek selama ini, karena jumlah calonnya tidak lebih dari yang dibutuhkan dan kedudukan DPR tidak memilih tetapi hanya mengkonfirmasi saja, maka pengangkatan hakim agung itu praktis hanya tunduk kepada kemauan Presiden saja. Karena itu, dengan mekanisme yang baru di masa yang akan datang, kedudukan DPR tentu akan lebih kuat untuk menentukan pilihan untuk pengangkatan hakim agung itu.
Setelah hakim agung tersebut dipilih, maka pengesahannya dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden yang bersifat penetapan administratif (‘beschikking’) saja. Dengan demikian kedudukan hakim agung itu benar-benar tinggi dan terhormat, sehingga tidak sembarangan orang dapat diangkat menjadi hakim agung. Apabila seseorang sudah diangkat maka untuk hakim karir, ia harus mengabdi seumur hidup, dan untuk hakim non-karir, ia harus mengabdi dengan sebaik-baiknya sedikitnya 10 tahun. Batasan 10 tahun ini juga dapat dinilai cukup adil terhadap hakim karir yang ditetapkan menjadi hakim untuk seumur hidup, karena hakim kairir itu telah meniti jenjang profesi hakim dari bawah selama masa pengabdiannya. Sedangkan hakim non-karir, jenjang profesinya semula bukanlah di bidang profesi hakim, karena itu masa 10 tahun itu sudah dapat dianggap cukup baginya untuk mengabdi sebagai Hakim Agung.
4. Pemberhentian Hakim Agung:
Mengenai pemberhentian hakim agung, pengesahannya dapat dilakukan dengan Keputusan Presiden sebagai Kepala Negara. Oleh karena itu, pemberhentiannya juga sebaiknya disahkan dengan Keputusan Presiden selaku Kepala Negara tanpa harus harus didahului oleh persidangan MPR. Jika terdapat jabatan Hakim Agung yang kosong (lowong) dengan sendiri, proses pencalonan oleh Presiden atau DPR kembali seperti mekansime semula, dan dipilih kembali dalam Sidang MPR untuk menentukan calon yang akan diangkat oleh Presiden.
Hakim Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dengan beberapa alasan:
a. Bagi hakim non-karir, telah menduduki jabatan Hakim Agung selama 10 tahun.
b. Meninggal dunia yang saya tidak lihat adanya keperluan mengkhususkan ketentuan ini dalam ayat tersendiri.
c. Atas permintaan sendiri yang ditujukan kepada Presiden sebagai Kepala Negara dengan tembusan kepada Komisi Judisial.
d. Terbukti tidak cakap menjalankan tugasnya sebagai Hakim Agung.
e. Sakit jasmani dan/atau ruhani terus menerus selama lebih dari 3 bulan dan menurut keterangan dokter tidak dapat diharapkan untuk sembuh dalam waktu selama-lamanya 3 bulan berikutnya.
Hakim Agung juga dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya apabila:
a. dipidana dengan keputusan yang memperoleh kekuatan yang tetap, karena melakukan tindak pidana kejahatan selain tindak pidana politik.
b. melanggar ‘code of conduct’ sebagaimana ditentukan oleh UU dan Kode Etika Profesi Hakim.
c. Terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya.
d. Melanggar sumpah atau janji jabatan.
e. Dengan sengaja melanggar rangkap jabatan.
KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG
1. Tugas dan Wewenang Mahkamah Agung:
Sebagaimana sering diusulkan para ahli, Mahkamah Agung sebaiknya dirumuskan memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus:
a. permohonan kasasi;
b. sengketa kewenangan mengadili;
c. permohonan peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap; dan
d. permohonan pengujian peraturan perundang-undangan.
Di samping itu, dapat pula diatur mengenai kewenangan Mahkamah Agung untuk memberikan pendapat hukum atas permintaan Presiden ataupun lembaga tinggi negara lainnya. Hal ini dianggap perlu, agar Mahkamah Agung benar-benar dapat berfungsi sebagai rumah keadilan bagi siapa saja dan lembaga mana saja yang memerlukan pendapat hukum mengenai sesuatu masalah yang dihadapi.
2. Kewenangan ‘Judicial Review’:
Salah satu kewenangan penting yang perlu dimiliki oleh Mahkamah Agung yang akan datang adalah kewenangan menguji semua bentuk dan tingkatan peraturan perundang-undangan di bawah UUD. Mahkamah Agung berwenang untuk menilai apakah suatu produk peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD sebagai hukum dasar yang tertinggi. Karena UUD 1945 sekarang menganut prinsip pemisahan kekuasaan, meskipun masih juga menganut sistem pembagian kekuasaan karena masih dipertahankannya lembaga MPR, maka alasan untuk menolak kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian UU terhadap UUD tidak ada lagi.
Pengujian peraturan perundang-undangan itu pertama-tama dapat dilakukan oleh kekuasaan peradilan dalam proses persidangan di semua tingkatan. Sesuai asas kebebasan hakim, maka dalam rangka memutuskan suatu perkara, hakim dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan mulai dari UU ke bawah. Namun, di samping itu, kekuasaan kehakiman juga dapat melakukan persidangan yang bersidang khusus untuk menguji suatu peraturan perundang-undangan yang diajukan oleh seseorang ataupun suatu lembaga, baik lembaga masyarakat ataupun lembaga negara/pemerintahan yang merasa dirugikan dengan berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut. Misalnya, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, pengusaha ataupun partai politik dapat mengajukan permohonan pengujian suatu peraturan perundang-undangan kepada Mahkamah Agung ataupun kepada Pengadilan tingkat pertama. Bahkan lembaga-lembaga tinggi negara seperti Presiden, DPR, dan BPK dapat pula mengajukan permohonan kepada MA untuk menguji suatu UU yang telah disahkan oleh DPR, atau suatu UU yang direncanakan untuk dicabut tetapi tidak disetujui oleh DPR atau sebaliknya oleh Presiden.
Dalam rangka menjamin ‘check and balance’ antara Presiden dan DPR, perlu diatur bahwa masing-masing pihak mempunyai hak veto untuk mencegah agar salah satu pihak bertindak sewenang-wenang dalam melaksanakan wewenang legislatif yang dimilikinya. Misalnya, meskipun dalam UUD 1945 Pasal 5 ayat (1) baru dinyatakan bahwa kekuasaan membentuk UU berada pada DPR, tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 20 dinyatakan bahwa setiap UU membutuhkan pengesahan oleh Presiden. Dengan adanya wewenang mengesahkan UU di tangan Presiden ini, maka dapat dikatakan bahwa Presiden memiliki hak veto untuk mengesahkan atau tidak mengesahkan suatu UU yang telah disetujui oleh DPR, misalnya melalui pemungutan suara yang mengalahkan kepentingan pemerintah dan partai pemerintah. Meskipun belum diatur dalam UUD 1945, tetapi adanya hak veto ini, nantinya sebaiknya diatur pembatasannya lebih tegas, sehingga tidak semua UU dapat diveto oleh Presiden.
Misalnya, dapat ditentukan bahwa apabila suatu UU yang telah mendapat persetujuan DPR tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 2 minggu, maka UU tersebut dapat dibahas kembali oleh DPR. Jika dalam pemungutan suara ulangan ternyata suara pendukung UU itu lebih banyak dari persidangan sebelumnya, maka dapat ditentukan bahwa Presiden diwajibkan oleh hukum untuk mengensahkan RUU tersebut menjadi UU. Kemungkinan kedua adalah, jika RUU tersebut misalnya telah mendapatkan persetujuan anggota DPR dengan suara lebih dari 2/3 jumlah anggota DPR, maka RUU yang telah disetujui DPR itu, demi hukum wajib disahkan oleh Presiden, tanpa perlu dibahas ulang oleh DPR seperti dalam kasus pertama di atas. Ketentuan demikian ini, dapat dinilai logis sebagai konsekwensi diberlakukannya sistem pemisahan kekuasaan dimana kekuasaan membentuk UU secara tegas dipindahkan dari tangan Presiden seperti dalam rumusan lama ke lembaga DPR melalui Perubahan Pertama UUD 1945.
Dalam hal terjadi, kasus yang demikian itu, maka Presiden dapat diberi hak untuk mengajukan permohonan pengujian materiel UU tersebut terhadap UUD. Mahkamah Agunglah selanjutnya yang akan memutuskan apakah UU tersebut dapat diberlakukan atau tidak dengan menggunakan kriteria Undang-Undang Dasar. Banyak lagi contoh lain yang dapat dikemukakan sehubungan dengan pengujian materi UU ini. Yang jelas semua pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung ataupun kepada Pengadilan Tingkat Pertama dalam wilayah hukum pemohon untuk menguji produk peraturan perundang-undangan mulai dari tingkat UU sampai ke bawah dengan pertimbangan:
a. Peraturan tersebut bertentangan dengan UUD dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari peraturan yang diuji.
b. Peraturan tersebut dikeluarkan atau ditetapkan oleh institusi atau pejabat yang tidak berwenang untuk menetapkan peraturan yang bersangkutan.
c. Peraturan tersebut ditetapkan dengan cara yang menyimpang dari tatacara pembuatan peraturan yang lazim berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Peraturan tersebut terbukti dibuat atau dikeluarkan untuk maksud-maksud yang bertentangan dengan hukum dan kepatutan, misalnya, sengaja dibuat untuk tujuan penyalahgunaan wewenang atau untuk tujuan korupsi dan korupsi untuk keuntungan pribadi pejabat yang bersangkutan.
PENGAWASAN TERHADAP HAKIM AGUNG
1. Pengawasan Internal dan Eksternal:
Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas para hakim agung, perlu diatur adanya dua jenis pengawasan, yaitu pengawasan internal dilakukan oleh Badan Pengawas pada Mahkamah Agung. Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas ini bersifat internal dan berfungsi sebagai pengawas terhadap pelaksanaan tugas-tugas peradilan di semua tingkatan dan di seluruh wilayah hukum peradilan Republik Indonesia. Sedangkan pengawasan yang bersifat eksternal dilakukan oleh sebuah komisi independen yang dinamakan Komisi Yudisial. Keberadaan lembaga pengawas eksternal ini penting agar proses pengawasan dapat benar-benar bertindak objektif untuk kepentingan pengembangan sistem peradilan yang bersih, efektif dan efisien. Agar Komisi Yudisial ini dapat benar-benar bersifat independen, maka administrasi komisi ini sebaiknya tidak dikaitkan dengan organisasi Mahkamah Agung, tetapi sebaik dengan lembaga DPR. Demikian pula mengenai anggaran Komisi Yudisial sebaiknya tidak dimasukkan dalam satu pos anggaran Mahkamah Agung, tetapi dalam pos anggaran DPR.
Di samping itu, Komisi Yudisial sebaiknya berkedudukan hanya di Jakarta, dan keanggotaannya ditentukan hanya berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas 3 orang mantan hakim agung, 2 orang advokat, 2 orang tokoh masyarakat/tokoh agama, dan 2 orang akademisi. Melihat lingkup wewenangnya, ditambah kompleksitas permasalahan yang dihadapi serta luasnya wilayah Indonesia yang memerlukan pengawasan oleh Komisi ini, perlu dipertimbangkan bahwa Komisi Yudisial ini tidak hanya dibentuk di Jakarta untuk mengawasi para Hakim Agung, tetapi juga dibentuk di daerah-daerah tempat kedudukan Pengadilan Tinggi, sehingga Komisi Yudisial ini benar-benar dapat difungsikan sebagai lembaga pengawas eksternal yang efektif terhadap tugas-tugas peradilan di semua tingkatan. Seperti halnya di tingkat pusat, di daerah-daerah keberadaan Komisi Yudisial ini juga dikaitkan dengan DPRD .
2. Pengawasan oleh Masyarakat:
Dalam masyarakat, berkembang ide pengawasan oleh masyarakat, dapat dikatakan baik. Akan tetapi, pengawasan oleh masyarakat tersebut sebaiknya dikaitkan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan oleh DPR yang sebagian telah pula dilimpahkan menjadi tugas dan fungsi Komisi Yudisial. Oleh karena itu, segala jenis keluhan dan laporan dari masyarakat berkenaan dengan tindakan Hakim Agung ataupun pejabat peradilan kasasi pada umumnya yang merugikan kepentingan masyarakat, sebaiknya diserahkan atau disampaikan kepada DPR atau kepada Komisi Yudisial, bukan kepada pimpinan Mahkamah Agung ataupun kepada Hakim Agung.
Di samping itu, Hakim Agung juga tidak seharusnya dibebani dengan kewajiban untuk memberikan informasi kepada masyarakat, dan untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan langsung oleh masyarakat, karena ditetapkannya jaminan hak bagi masyarakat untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi tentang penyelenggaraan peradilan dan putusan hakim dengan segala sarana yang tersedia. Fungsi pemberian informasi semacam ini sebaiknya cukup ditangani oleh Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung, tanpa perlu melibatkan tanggungjawab Hakim Agung. Demikian pula mengenai hak masyarakat untuk melaporkan mengenai pelanggaran ataupun tindakan-tindakan Hakim Agung ataupun para pejabat di lingkungan Mahkamah Agung yang dianggap merugikan kepentingan masyarakat, tidak perlu dikaitkan dengan Hakim Agung dan Mahkamah Agung, tetapi cukup dikaitkan dengan Komisi Yudisial. Justru dibentuknya Komisi Yudisial itu adalah untuk menangani laporan-laporan dari masyarakat semacam itu.
Oleh karena itu, saya sendiri belum dapat memberikan penilaian, apakah usul mengenai Peranserta Masyarakat memang perlu dicantumkan dalam UU. Lagi pula, prinsip kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman itu sendiri memang sebaiknya dilepaskan dari pengaruh-pengaruh politik dan kekuasaan, baik yang datang dari Pemerintah maupun yang datangnya dari masyarakat sendiri. Kita sendiri dapat menyaksikan betapa kerusuhan-kerusuhan dan unjuk rasa yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat, dapat berfungsi sebagai kekuatan penekan yang efektif. Tidaklah mustahil bahwa kekuatan-kekuatan penekan itu juga dapat mempengaruhi proses peradilan yang seharusnya bebas dan tidak memihak. Jangan sampai diaturnya mengenai peranserta masyarakat itu justru mempengaruhi upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri. Apalagi, sejauh menyangkut proses pengawasan untuk menjamin terjadinya ‘check and balance’ antara kekuasaan eksekutif dan legislatif terhadap kekuasaan judikatif, telah diciptakan mekanismenya dengan memberikan peranan kepada lembaga DPR dan bahkan secara khusus melalui Komisi Yudisial yang saya usulkan dikaitkan dengan lembaga DPR-RI, bukan dengan Mahkamah Agung itu sendiri.
3. Tanggungjawab Pelaporan oleh Mahkamah Agung:
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dapat pula dipersoalkan mengenai perlunya mengatur agar Mahkamah Agung dapat menyampaikan laporan tahunan kepada MPR. Laporan Tahunan ini disampaikan kepada MPR dan dipublikasi secara terbuka kepada masyarakat luas. Dengan kewajiban memberikan laporan resmi tiap-tiap tahun ini, masyarakat luas akan terus mengikuti perkembangan gerak dan kinerja kekuasaan kehakiman kita, sehingga dapat diharapkan adanya umpan balik yang positif terhadap upaya membangun citra kekuasaan kehakiman yang bersih dan profesional. Kecuali jika nanti lembaga MPR sudah direstrukturisasi, maka dengan mekanisme pelaporan kepada MPR seperti ini, kita dapat mempertegas kedudukan MPR sebagai lembaga yang benar-benar tertinggi.
KEKUASAN KEHAKIMAN 1 ATAP DAN STATUS PENGADILAN AGAMA
Sejak lama diimpikan bahwa sistem kekuasaan kehakiman itu dikembangkan menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung. Dengan demikian, pembinaan administrasi badan-badan peradilan yang selama di tangani secara terpisah-pisah di bawah beberapa departemen pemerintahan, dapat direorganisasikan seluruhnya di bawah pembinaan Mahkamah Agung. Akan tetapi, hal ini haruslah dilaksanakan secara bertahap dan berhati-hati. Kita tidak boleh mengeneralisasikan tingkat perkembangan masing-masing cabang peradilan yang tumbuh dan berkembang dalam sejarah peradilan di tanah air kita. Pengadilan Agama sebagai satu satu jenis peradilan yang diakui dalam sistem hukum nasional, termasuk di antara lembaga peradilan yang memerlukan pengkajian yang bersifat khusus. Di dalamnya terkait faktor kesejarahan yang panjang sebagai benteng sistem hukum dan peradilan kaum pribumi Muslim yang secara langsung berhadapan dengan penajajah Belanda yang memaksakan berlakunya sistem hukum barat yang bersifat sekular.
Di samping itu, bidang hukum yang menjadi kompetensi sistem peradilan agama itu juga bersifat sangat khusus, yaitu berkenaan dengan perkara kekeluargaan yang sangat sensitif dan memerlukan pendekatan yang berbeda dari kebanyakan permasalahan hukum yang timbul dalam masyarakat. Masalah hukum kekeluargaan tidak semata-mata menyangkut persoalan teknis dan rasional, melainkan menyangkut pula soal-soal psikologis serta soal-soal kerahasiaan pribadi dan keluarga yang perlu penanganan dan pengelolaan yang bersifat. Lagi pula, keberadaan lembaga-lembaga peradilan agama itu juga sangat akrab dengan kehidupan keseharian masyarakat luas, termasuk dalam hubungan dengan tokoh-tokoh ulama yang dekat dengan masyarakat. Sistem administrasi dan manajemen pengadilan agama ini tidak boleh dibuat kaku dan dibiarkan terasing dari masyarakatnya.
Bahkan setelah Indonesia, sejarah lembaga pengadilan agama itu terkait erat dengan sejarah Departemen Agama. Pilar utama keberadaan Departemen Agama itu adalah Pengadilan Agama. Jika suatu hari nanti, Departemen Agama dianggap tidak lagi diperlukan keberadaannya dalam struktur pemerintahan Republik Indonesia, barulah keberadaan Pengadilan Agama dalam lingkungan pembinaan administratif di lingkungan Departemen Agama dapat dipindahkan ke Mahkamah Agung.
Atas dasar pertimbangan demikian itulah maka saya mengusulkan agar dalam upaya mengembangkan sistem kekuasaan kehakiman yang utuh di bawah Mahkamah Agung, kedudukan Pengadilan Agama untuk sementara waktu tetap dibiarkan dibina di bawah organisasi pemerintah, yaitu di bawah Departemen Agama. Namun, pada saatnya nanti, administrasi pembinaan peradilan agama tidak mungkin terus menerus dipisahkan dari lingkungan kekuasaan kehakiman pada umumnya. Jika pembinaannya terus menerus disendirikan, besar kemungkinan perkembangannya akan mengalami hambatan. Karena itu, memang perlu dilakukan langkah-langkah konkrit, terencana dan sistematis sehingga pada saatnya nanti, administrasi pembinaan peradilan agama juga diintegrasikan ke dalam sistem pembinaan oleh Mahkamah Agung.
Dalam proses persiapan itu, sudah seharusnya, pembinaan profesionalisme dan pengembangan kesejahteraan hakim serta penataan kelembagaan pengadilan agama perlu terus ditingkatkan dan dimantapkan sesuai dengan perkembangan keadaan. Semua hak dan kewajiban hakim dan badan-badan pengadilan agama haruslah dikembangkan sama dengan apa yang dikembangkan dengan lembaga pengadilan lainnya. Dengan demikian, tidak akan ada anak tiri dan anak emas, ataupun badan peradilan agama yang dipandang lebih tinggi ataupun lebih rendah daripada lembaga pengadilan lainnya.

oleh: Jimly Asshiddiqie

Sabtu, 26 September 2009

Pihak-pihak berkepentingan di balik kisruh hubungan Indonesia-Malaysia

Dalam setiap sengketa dan pertikaian di dunia ini, baik antar negara maupun internal sebuah negara, selalu melibatkan kepentingan-kepentingan banyak pihak, baik asing maupun lokal. Faktor ekonomi dan politik biasanya menjadi alasan campur tangan pihak-pihak tersebut untuk ikut memancing di air keruh dan mengambil manfaat apabila persengketaan berubah menjadi pertikaian dan peperangan.
Sekarang, marilah kita melakukan analisa dengan melihat faktor ekonomi dan politik, serta beberapa kemungkinan yang akan terjadi apabila pihak-pihak yang berkepentingan ikut melakukan manuver agar maksudnya terealisasi.
Pihak-pihak yang kemungkinan ikut mengambil manfaat apabila Indonesia-Malaysia benar-benar bertikai dan terjadi peperangan, adalah:

1. Malaysia sendiri.
Malaysia mempunyai kepentingan dengan sumber-sumber minyak, gas bumi dan sumber-sumber hayati laut di wilayah laut Indonesia yang sangat kaya. Batas wilayah negara di laut mempunyai kekuatan hukum yang sangat lemah, karena sebagai warisan penjajah batas-batas daerah jajahan di laut tidak ditetapkan dengan pasti antara Belanda sebagai penjajah Indonesia dengan Inggris sebagai penjajah Malaysia. Akhirnya digunakan data sejarah mengenai batas-batas wilayah kerajaan di masa lalu sebagai dasar, dan ini juga masih bisa diperdebatkan.
Selain itu sejarah mencatat mengenai adanya Gagasan pembentukan “Melayu Raya” ketika Indonesia-Filipina-Malaysia berencana mendirikan Maphilindo, singkatan dari Malaysia-Philipina-Indonesia di Manila pada 1963. Para presiden dari ketiga negara tersebut mengumumkan Deklarasi Manila yang menggabungkan negara mereka ke dalam Maphilindo.
Dalam pidato penutupan, Presiden Filipina Macapagal mengajak hadirin untuk mengenang kembali mimpi para nasionalis Filipina mulai Jose Rizal, Presiden Manuel Quezon, Wenceslao Vinzons, sampai Presiden Elpidio Quirino untuk menyatukan bangsa-bangsa Melayu. Macapagal menyebut Presiden Indonesia Soekarno dan Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman sebagai “two of the greatest sons of the Malay race“.
Gagasan ini berdasarkan peta antropologi bangsa-bangsa di mana Indonesia, Malaya, Temasek (Singapura), Filipina, Thailand, Burma (MYanmar), Vietnam, Kambodia, sampai Madagaskar dan Hawaii dikenal sebagai bangsa serumpun Melayu-Polinesia. Tapi sayang ide ini pudar seketika setelah Presiden RI Soekarno menyatakan perang terhadap Malaysia yang telah menjadi boneka imperialis Inggris.
Malaysia yang merasa sebagai satu-satunya negara perhimpunan bangsa Melayu bisa saja berkeinginan untuk mewujudkan Melayu Raya itu di bawah kepemimpinannya. Meskipun menurut sejarah kerajaan Melayu pertama adalah kerajaan Malayapura di Sumatera – di bawah kekuasaan Majapahit – dengan rajanya Adityawarman tahun 1347. Adityawarman adalah utusan Majapahit untuk menaklukan kerajaan Sriwijaya, yang kemudian berhasil memaksa Parameswara, putra Raja Sam Agi untuk melarikan diri ke Semenanjung Malaya dan mendirikan kerajaan Malaka (1380-1403). Malaka kemudian jatuh ke tangan Portugis tahun 1511.

2. Inggris
Sebagai pemimpin negara persemakmuran (commont wealth) dan bekas penjajah negara-negara anggotanya tersebut, tentu saja Inggris mempunyai kepentingan atas kekayaan negera-negara anggotanya. Dengan kepentingan ekonomi dan juga politik atas wilayah-wilayah Indonesia, bisa saja Inggris ikut memberikan bantuan militer kepada Malaysia dalam konflik ini.
Melihat kondisi perekonomian AS yang anjlok sekarang ini, bisa saja muncul keberanian Inggris untuk membuka front perlawanan melalui kaki tangannya, Malaysia, untuk merebut sumber minyak di Indonesia yang sekarang dikuasai perusahaan-perusahaan besar AS. Seperti diketahui Angkatan Laut Inggris adalah pasukan tempur laut terbaik di dunia, sehingga dengan modal ini Inggris cukup berani berhadapan dengan AS di Asia Tenggara.

3. Amerika Serikat (AS)
Kondisi ekonomi AS yang sedang mengalami penurunan berpengaruh terhadap kondisi perusahaan-perusahaan minyaknya yang sekarang sedang beroperasi di Indonesia. AS tentu tidak mau hak eksplorasi minyak di lepas pantai Indonesia akan jatuh ke tangan Inggris yang berada di belakang Malaysia. Kemungkinan besar AS akan memberikan bantuan militer kepada Indonesia apabila Malaysia memulai penyerangan dan perang tidak bisa dihindari.
Selain itu perseteruan AS dengan Korea Utara mengenai senjata berhulu ledak nuklir milik Korut semakin memanas, yang mungkin akan memaksa AS untuk menempatkan persenjataannya di wilayah Asia, dalam hal ini yang terdekat dengan Kores Utara adalah Asia Tenggara. Apabila terjadi peperangan antara Indonesia dengan Malaysia, maka AS mempunyai alasan untuk menempatkan kapal perang dan persenjataannya dengan membuat pangkalan militer di Indonesia.

4. Republik Rakyat Cina (RRC)
Sebagian besar orang-orang keturunan Cina di negara-negara Asia Tenggara bergerak di bidang perdagangan dan ekonomi, sebagian adalah para konglomerat dan pengusaha kelas dunia. Orang-orang keturunan Cina umumnya tidak bisa melepaskan diri dari keterkaitan budaya dengan tanah leluhurnya di Cina, termasuk juga dengan pemerintahan yang sedang berkuasa di sana.
Keterikatan yang nyata adalah para pengusaha konglomerat keturunan tersebut menempatkan sebagian besar dana investasi usahanya di Cina. Mereka juga mempunyai hubungan bisnis dengan banyak pengusaha di tanah leluhur.
Selain keterikatan budaya dan ekonomi, warga keturunan Cina juga ada yang mempunyai hubungan politik dengan pemerintah Cina yang sosialis komunis. Sejarah mencatat ada Partai Komunis Malaysia di era 60-an yang sebagian besar penggeraknya adalah warga keturunan.
Ada kemungkinan pergerakan komunisme di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia mempunyai keterkaitan yang terencana. Bisa saja para aktivis komunis di Malaysia, Indonesia dan Cina saling berhubungan dan bersama-sama memblow-up isu-isu pertentangan agar situasi semakin memanas, khas gaya komunis, dengan cara mencetuskan masalah, ikut mempublikasikannya, dan terakhir ikut berdemonstrasi agar suasana berkesan semakin kisruh.
Kepentingan RRC yang terbesar adalah perluasan skop ekonomi dan politik mereka, sehingga negara-negara yang dikuasai komunis akan berkiblat secara ekonomi dan politik ke negara tirai bambu tersebut, atau dengan kata lain RRC berniat membentuk RRC yang lebih luas atau Cina Raya.
Menurut sejarah gerakan komunis di Indonesia mudah untuk membonceng pada organisasi atau orang berfaham nasionalis, seperti PKI yang didukung oleh Bung Karno disebabkan PKI satu-satunya yang mendukung program “Ganyang Malaysia”-nya Soekarno. Maka mungkin saja kelompok komunis berkeinginan untuk mengulang sejarah di masa lalu dengan mengatasnamakan nasionalisme mereka bergerak merealisasikan cita-citanya, mengkomuniskan Indonesia dan Malaysia.

5. Indonesia
Kepentingan Indonesia terutama adalah mempertahankan wilayahnya, harga diri bangsa dan aset-aset sumber kekayaan alam berupa minyak bumi lepas pantai, hutan kayu di daerah perbatasan dan sumber daya hayati laut. Sedangkan kemungkinan adanya kepentingan politik sangat kecil.

Jumat, 18 September 2009

Khilafah (negara dengan sistem islam) dalam pandangan barat

Jika Anda ingin berbicara tentang Khilafah dalam pandangan Barat, itu artinya Anda akan berbicara tentang tamatnya dominasi negara-negara itu dan tamatnya penjajahannya atas dunia, sekaligus Anda akan berbicara tentang rancangan hadhârah (peradaban) yang amat kuat dasarnya (qawiyy al-autâd), amat kokoh kesadaran akan harga diri dan identitasnya (shalb al-syakîmah) yang akan bangkit menjadi tantangan internasinal (tahaddiy[an] ‘âlamiyy[an] bagi hadharah Barat, bahkan akan menggusurnya. Artinya, Anda akan berbicara tentang sebuah sistem universal yang baru; model ideologi yang akan mengganti ideologi liberal-sekular Barat.

Jika Anda berbicara tentang Khilafah, itu artinya Anda sedang berbicara tentang sebuah mimpi buruk yang menghantui ketenangan Barat dan menjadikan mereka terjangkiti insomnia pada saat tidur maupun terjaga. Artinya, Anda berbicara tentang ‘Kerajaan Islam Universal’ –meminjam ungkapan para pemimpin Barat –yang akan menaungi negeri-negeri Islam saat ini maupun di masa lampau, yang akan membentang dari Eropa ke Afrika utara, ke Timur Tengah, dan ke Asia Tenggara. Dimana hal ini akan kembali menjadikannya mampu untuk memimpin dunia.

Jika Anda berbicara tentang Khilafah, itu artinya Anda berbicara tentang penerapan syari’at dan penyatuan negeri-negeri kaum Mulimin sekaligus mencabut campurtangan penjajahan yang ada di sana. Inilah sebuah perkara yang tidak akan ditoleransi oleh negara-negara Barat. “Memimpinnya syari’at Islam di dunia Arab dan ditegakkannya satu kekhilafahan di seluruh negeri-negeri kaum Muslim serta lenyapnya campur tangan Barat dari negeri-negeri tersebut adalah perkara yang tidak akan ditoleransi oleh Barat dan sama sekali tidak mungkin dibiarkan oleh mereka” .

Menghancurkan Khilafah adalah sebuah cita-cita yang selamanya akan menjadi tujuan Barat. Barat telah pernah mewujudkan cita-cita ini setelah perang dunia kedua. Lord Curzon, menteri luar negeri Inggris pada masa runtuhnya Khilafah mengatakan, “Kita telah menghancurkan Turki dan Turki tidak mungkin akan kembali bangkit. Sebab kita telah menghancurkan dua kekuatannya; yakni Islam dan Khilafah”. Saat ini, cita-cita itu kembali mengantui Barat setelah kaum Muslim kembali menyatukan tekad untuk mengembalikan Khialfah ke atas pentas negara.

Berikut ini beberapa statemen, komentar dan analisa yang berkaitan dengan ketakutan dan depresi Barat terhadap kembalinya Khilafah:

Putin, Presiden Rusia, pada bulan Desember tahun 2002 mengumumkan, “Terorisme internasional telah mengumumkan peperangannya atas Rusia dengan tujuan merampas sebagian wilayah Rusia dan mendirikan Khilafah Islamiah”. Pada kesempatan itu, Putin berbicara dalam sebuah acara dialog di sebuah setasiun televisi yang disiarkan secara langsung (live). Pada keempatan itu ia menjawab lima puluh pertanyaan yang terpilih diantara dua juta pertanyaan via telepon dari penduduk Rusia.

Situs, “Mufakkirah al-Islâm www.islamemo.com pada akhir 2002 M memberitakan sebuah kabar dengan judul “Lembaga Inteljen Jerman Memperingatkan Berdirinya Khilafah”. Dalam situs itu tertulis sebagai berikut: “Kepala Lembaga Inteljen Jerman, August Hanning, melakukan penelusuran di beberapa negara Arab yang dimulai dari wilayah Teluk dimana disana ia bertemu dengan beberapa pemimpin lembaga-lembaga inteljen Arab. Set data Iraq dan kelompok Fundamentalis Islam adalah merupakan topik yang paling menonjol bagi seorang lelaki yang mengepalai salah satu dari kegiatan lembaga-lembaga inteljen negara itu. Dalam kaitannya dengan kelompok fundamentalis Islam, para pengamat inteljen Jerman mengkhawatirkan, mengantisipasi (dan meramalkan) akan munculnya serangan yang meluas dari ribuan pendukung gerakan-gerakan Islam di Uzbekistan, Tajikistan dan Kyrgyz dengan tujuan mendirikan Daulah Khilafah Islamiah di wilayah tersebut. Para eksekutif Jerman memberikan kepercayaan dan kredibilitas yang amat besar terhadap kehawatiran, antisipasi (dan ramalan) lembaga-lembaga inteljen tersebut”.

Henry Kissinger dalam sebuah pidatonya di India pada 6 November 2004 M dalam Konfrensi Hindustan Times yang kedua, kepada para pemimpin ia menyampaikan, “Ancaman-ancaman itu sesungguhnya tidak datang dari teroris, sebagaimana yang kita saksikan pada 11 September. Akan tetapi, ancaman itu sesungguhnya datang dari Islam fundamentalis ekstrim yang berusaha menghancurkan Islam moderat yang bertentangan dengan pandangan pandangan kelompok radikal dalam masalah Khilafah Islamiah”.

Kissinger juga mengatakan, “Musuh utama, sejatinya adalah kelompok ekstrim Fundamentalis yang aktif dalam Islam dimana dalam saat yang sama ingin mengubah masyarakat Islam moderat dan masyarakat lain yang dianggap sebagai penghalang penegakan Khilafah”. (Surat Kabar Newsweek edisi VIII November 2004)

Surat kabar al-Hayât, pada 15/01/2005 M, mempublikasikan sebuah laporan yang dipublikasikan oleh Reuters di Washinton. Laporan itu berisi prediksi-prediksi berdasarkan pada hasil muyawarah yang dihadiri oleh seribu ahli dari lima benua seputar ramalan masa-masa yang akan datang hingga 2020 M. Laporan itu bertujuan untuk mewujudkan kontribusi dari para intelejen dan politisi untuk menghadapi tantangan-tantangan tahun-tahun yang akan datang. Laporan itu menghawatirkan “masih terus berlangsungnya serangan terorisme”. Laporan itu membicrakan tentang empat skenario yang mungkin akan terus berkembang di dunia. Skenario ketiga yang diperingatkan oleh laporan itu adalah al-Khilafah al-Jadîdah (Khilafah Baru Yang Akan Muncul). Demikian laporan itu menyebutnya.

Mantan perdana mentri Inggris, Tony Blair, di hadapan Konferensi Umum Partai Buruh pada 16/07/2005 M mengatakan, “Kita sesungguhnya sedang menghadapi sebuah gerakan yang berusaha melenyapkan negara Israel dan mengusir Barat dari dunia Islam serta menegakkan Daulah Islam tunggal yang akan menjadikan syari’at Islam sebagai hukum di dunia Islam melalui penegakan Khilafah bagi segenap umat Islam”.

Demikian pula pada September 2005 M, Blair dengan terang-terangan mengatakan, “Keluar kita dari Iraq sekarang ini akan menyebabkan lahirnya Khilafah di Timur Tengah”.

Pada 06/10/2005 M, dengan terang-terangan Bush mengisyaratkan adanya strategi kaum Muslim yang bertujuan mengakhiri campurtangan Amerika dan Barat di Timur Tengah. Bush mengatakan, “Sesungghunya, ketika mereka menguasai satu negara saja, hal itu akan menarik (menghimpun) seluruh kaum Muslim. Dimana hal ini akan memungkinkan mereka untuk menghancurkan seluruh sistem di wilayah-wilayah itu, dan mendirikan kerajaan fundamentalis Islam dari Spanyol hingga Indonesia”.

Mentri Dalam negeri Inggris, Charles Clark, dalam sebuah sambutannya di Institute Heritage mengatakan, “Tak mungkin ada kompromi seputar kembalinya Daulah Khilafah, dan tidak ada perdebatan seputar penerapan syari’at Islam”.

Dalam sebuah pidatonya kepada bangsa Amerika, pada 08/10/2005 M, George W.Bush mengatakan dengan tegas, “Para pasukan perlawanan bersenjata itu menyakini bahwa dengan menguasai satu negara, mereka akan dapat menuntun bangsa Islam dan menghancurkan seluruh negara moderat di wilayah-wilayah itu. Dari situ, mereka akan mendirikan sebuah kerajaan Islam ekstrim yang membentang dari Spanyol hingga Indonesia”.

Pada 05/12/2005 M, menteri pertahanan Amerika, Donald Rumsfeld, dalam sebuah komentarnya seputar masadepan Iraq –pada saat itu ia berada di Universitas John Hopkins –mengatakan, “Iraq tak ubahnya adalah tempat lahirnya Khilafah Islamiah baru yang akan membentang mencakup seluruh Timur Tengah dan akan mengancam pemerintahan-pemerintahan resmi di Eropa, Afrika dan Asia. Inilah rencana mereka. Mereka telah menegaskan hal ini. Kita akan mengakui sebuah kesalahan yang amat menakutkan jika kita gagal mendengar dan belajar”.

Surat kabar Milliyet Turki, pada 13/12/2005 M, dengan mengutip dari The New York Times menyebutkan bahwa, “Para pemimpin dalam pemerintahan Bsuh, akhir-akhir ini terus menerus mengulang-ulang kata Khilafah seperti permen karet. Pemerintahan Bush kini menggunakan kata Khilafah untuk menyebut kerajaan Islam yang pada abad ke VII membentang dari Timur Tengah hingga Asia Selatan, dan dari Afrika utara hingga Spanyol”.

Seorang komentator Amerika, Karl Vic di surat kabar Washinton Post, 14/01/2006 M menulis sebuah laporan yang amat panjang dimana di dalamnya ia menyebutkan bahwa “kembalinya Khilafah Islamiah yang selalu diserang oleh presiden Amerika, George Bush, benar-benar sedang menggema di tengah-tengah mayoritas kaum Muslim”. Karl Vic juga menuturkan bahwa, “kaum Musilin (saat ini) memang benar-benar menganggap diri mereka bagian dari satu umat yang akan membentuk esensi Islam, sebagaimana mereka melihat Khalifah adalah sebagai sosok yang layak untuk mendapatkan penghormatan”. Sang komentator ini memberikan isyarat bahwa, “Hizbut Tahrir yang bergerak berbagai negeri lintas dunia itulah yang dengan terang-terangan menegaskan bahwa tujuannya adalah mengembalikan Khilafah sebagaimana masa dahulu”.

Dr. Ahmad al-Qadidy, seorang warga Tunisia yang berdomisili di luar negeri, dalam sebuah tulisannya yang dimuat oleh surat kabar al-Syrq al-Quthriyyah yang terbit pada Ahad 17/05/2006 M, dengan judul “Para Ahli Amerika Memprediksikan Kembalinya Khilafah Pada 2020 M”, mengatakan, “Pada halaman 83 dari sebuah laporan penting yang terbit pada hari-hari ini dari yayasan “Robert Lafon” untuk publikasi Paris, dengan judul “Bagaimana Pandangan Inteljen Amerika Terhadap Dunia Pada Tahun 2020 M?”, kita dapat membaca paragraf berikut ini: “Islam politik mulai hari ini hingga 2020 M akan mengalami penyebaran yang amat luas di pentas dunia internasional. Kita memprediksikan akan adanya penyatuan gerakan-gerakan Islam Rasisme dan Nasionalisme dan bergerak bersama untuk mendirikan sebuah kekuasaan yang akan melintasi batas-batas nasional. Al-Qadidy melanjutkan ungkapannya, “Hal inilah –dengan sangat akurat –adalah apa yang diperediksikan oleh para ahli Amerika, khsusnya seorang sosiolog dan senior para ahli prediksi masadepan, Alvin Toffler, pemilik buku “Shadamat al-Mustaqbal /Future Shock (Benturan Masa Depan)”, Ted Gordon, tohoh senior ahli rancangan, Millennium Project yang telah direalisasikan oleh organisasi PBB, seorang ahli, Jim Dewar, dari yayasan Rand Corporation, Jad Davis, desainer semua program Shell Petroleum Company, dan para ahli yang lainnnya yang tak diragukan lagi kemampuan mereka dalam memprediksi masadepan. Ahmad al-Qadidy menambahkan, “Dan tentu saja, para ahli dan pakar itu telah bekerja dalam beberapa waktu untuk kepentingan agen pusat inteljen di Washinton. Mereka telah menghasilkan sebuah laporan yang amat penting dan dapat dipercaya yang akan menggariskan corak dunia setelah lima belas tahun sejak hari ini, sebagaimana yang mereka lihat melalui berbagai indikasi yang ada di depan mereka.

Pemimpin pasukan koalisi Salib yang bergabung di Iraq, Richard Myers, mengatakan, “Bahaya sejati dan terbesar yang mengancam keamanan Amerika Serikta (AS) sesungguhnya adalah ektrimesme yang bercita-cita mendirikan Khilafah sebagaimana pada abad ketujuh Masehi. Kelompok ekstrimesme ini telah tersebar di berbagai wilayah yang jutrsu lebih banyak dari pada di Iraq. Akan tetapi, mereka juga bergerak di Iraq dan tersebar di dalamnya serta selalu mendorong pasukan perlawanan untuk menggunakan aktifitas-aktifitas fisik untuk melawan Amerika di Iraq.

Pada 31/01/2006 M, situs al-Syâsyah al-I’lâmiyah al-‘Âlamiyah (Media Monitors) menyebarkan sebuah artikel yang ditulis oleh Nu’man Hanif. Dalam artikle ini terdapat sebuah kajian yang amat mendalam, pendapat yang kuat dan pandangan kedepan mengenai akhir pertempuran antara Barat dan Islam. Dimana, dengan pandangannya ini, Nu’man Hanif akan sampai pada satu kesimpulan, bahwa, “Tidak ada pilihan lain bagi Barat kecuali menerima kepastian hadirnya Khilafah”. Dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Khilafah; Tantangan Islam Kepada Sistem Dunia”, tertulis sebuah pernyataan, “Dalam gerakan Islam ekstrim, terkait dengan legitimasi Daulah Khilafah, terdapat semacam keyakinan agama yang mendominasi mereka bahwa Khilafah adalah sebuah benteng yang akan mengembalikan kekuatan Islam dan sebagai wasilah yang akan menantang dominasi Barat. Berdasarkan sumbernya dari al-Quran dan sejarah Islam, Gerakan-gerakan Islam itu memang mengalami perbedaan seputar metode menghidupkan Khilafah; dengan aktifitas jihad, perbaikan atau politik. Akan tetapi, mereka –dengan seluruh khayalannya –semuanya sepakat pada tujuan mengembalikan Khuilafah”.

Nu’man Hanif mengatakan, “Khilafah, sesuai dengan definisinya dalam pandangan Gerakan Islam Sunni, adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim untuk menerapkan hukum-hukum Syari’ah Islam dan mengemban Rislah Islam ke seluruh dunia”. Nu’man kembali mengatakan, “Gerakan Islam itu telah sukses memberikan sebuah ideology alternatif pengganti ideologi Libral-Skular Barat kepada mayoritas kaum Muslim dimana sample ini sesuai dengan al-Quran. Sementara itu, menghidupakan kembali Khilafah adalah puncak sample tersebut sekaligus satu-satunya sarana untuk menantang tatanan internasional yang didominasi pihak Barat”.

Nu’man juga mengatakan, “Pada faktanya, perkataan bahwa Islam politik telah gagal dikarenakan ketidak mampuannya menyesuaikan diri dengan kemajuan Barat dan kontruksi politik Barat, sesungguhnya tidak dapat dianggap sebagai vonis kegagalan Islam politik. Namun, hal itu justru merupakan bukti lain bahwa Islam dan tatanan politik Barat tidak dapat saling menyesuaikan sampai dari akarnya. Dari sisi lain, berdirinya gerakan-gerakan Islam dengan menyuguhkan frame Khilafah sebagai ganti politik dan sistem model Barat Skular saat ini, sesungguhnya menjadi bukti kesuksesan Islam politik”.

Nu’man kembali mengatakan, “Politik yang tegak diatas penyerangan terhadap ide Khilafah dengan mengaitakannya dengan kekerasan politik gerakan jihad sesungguhnya tidak akan dapat menggeser legalitasnya (Khilafah) yang digali dari al-Quran. Barangkali dunia Islam tidak sepenuhnya setuju dengan metode-metode mengangkat senjata gerakan jihad. Akan tetapi, tentu tidak akan ada lagi perdebatan mengenai legalitas (disyari’atkannya) Khilafah di dalam al-Quran. Sementara itu, gerakan Islam yang mengemban pemikiran politik dan menjauh dari cara-cara kekerasan memiliki seruan yang lebih dalam dan luas. Dimana ia menganggap dirinya sebagai penjaga ide menghidupkan kembali Khilafah. Serangan apapun yang ditujukan kepada Khilafah dianggap sebagai serangan kepada Islam”.

Pada 05/09/2006 M, George W.Bush kembali membicarakan Khilafah. Bush mengatakan, “Mereka itu sesungguhnya berusaha menegakkan kembali negara mereka yang amat unggul, Khilafah Islamiah. Dimana, semuanya akan dipimpin dengan ideologi yang sangat dibenci itu. Sistem Khilafah itu akan mencakup seluruh negeri-negeri Islam yang ada saat ini”.

Dalam konfrensi pers di gedung putih yang terselenggara pada 11/10/2006 M, Bush junior itu membicarakan tentang, “sebuah dunia dimana di dalamnya kelompok ekstrim berupaya merekrut para intlektual untuk merevolusi pemerintahan moderat dan mendirikan Khilafah sebagai gantinya”. Bush menambahkan, “Mereka menginginkan kita pergi, mereka ingin merevolusi pemerintahan dan mereka ingin membentangkan Khilafah Idiologis yang tidak memiliki prinsip-prinsip kebebasan alami dalam keyakinannya.

Situs pemberitaan Gedung Putih pada 20/10/2006 M, mempublikasikan sebuah ungkapan George Bush, “Orang-orang fundamentalis itu bercita-cita mendirikan Daulah Khilafah sebagai sebuah negara hukum dan menginginkan menyebarkan akdiah mereka dari Indonesia hingga Spanyol”.

Mentri pertahanan Amerika, Donald Rumsfeld, dalam sebuah acara perpisahannya mengatakan “Mereka ingin menghancurkan dan menggoyahkan sistem pemerintahan Islam moderat dan mendirikan Daulah Khilafah”.

Dalam sebuah buku yang terbit pada 2007 M dengan judul, “Suqûth wa Shu’ûd al-Daulah al-Islâmiyah (Runtuh dan Berdirinya Daulah Islam)”, karya seorang dosen hukum di Universitas Harvard yang amat terkenal, Prof. Noah Feldman, dikatakan, “Dapat ditegaskan bahwa meningkatnya dukungan rakyat (Islam) terhadap sayri’ah Islam pada kali yang lain pada dewasa ini –meskipun pernah mengalami keruntuhan –akan dapat mengantarkan pada wujudnya Khilafah Islamiah yang sukses”. Dalam bukunya ini, Noah Feldman mengatakan bahwa, ketika suatu kerajaan dan sistem pemerintahan itu telah mengalami keruntuhan, maka sesungguhnya kerajaan dan sistem pemerintahan itu telah runtuh dan tidak akan kembali, sebagaimana yang terjadi pada Sosialisme dan Monarki yang berkuasa, kecuali dalam dua keadaan saja yang sedang terjadi pada saat ini. Pertama, adalah sistem Demokrasi yang dulu telah pernah mendominasi di kerajaan Romania, dan dalam keadaan negara tersebut adalah Negara Islam”.

Penulis ini mengamati sebuah fenomena besar, kuat dan terus berkembang dari Marokko hingga Indonesia; yakni bangsa-bangsa Islam yang menuntut kembalinya Syari’at Islam. Khusunya di negara-negara yang berpenduduk besar, seperti, Mesir dan Pakistan. Penulis ini bertanya-tanya, “Mengapa orang-orang sekarang menuntut kembalinya syari’ah Islam dan tertarik kepadanya? Padahal pendahulu mereka, pada masa kontemporer ini telah membuangnya dan mensifatinya sebagai warisan masa lalu yang telah usang”. Penulis ini kembali mengatakan, “Penyebab yang tersembunyi adalah bahwa para penguasa saat ini telah mengalami kegagalan dalam pandangan bangsa-bangsa itu. Termasuk Barat. Dan sementara itu, bangsa-bangsa Islam saat ini sangat membutuhkan keadilan”. Terlebih lagi, sampai saat ini, tidak ada jajaran ulama’ atau para qadhi sejati sebagaimana dalam masa pemerintahan Islam.

Pusat kajian strategi di Universitas Yordan pernah melakukan sebuah survey yang disebar pada April 2007 M di empat negara besar di dunia Islam (Marokko, Mesir, Indonesia dan Pakistan) seputar:

a) Dukungan penerapan syari’ah Islam di dunia Islam

b) Bersatu dengan negara-negara lain di bawah bendera seorang Khalifah atau Khilafah

c) Menolak penjajahan asing dan politik negara-negara Barat secara umum

d) Menolak penggunaan kekerasan melawan rakyat sipil

Hasil survey ini membuktikan bahwa prosentasi keseparakatan atas ide-ide di atas mencapailebih 75% pada beberapa maslah. Di Marokko para pendukung penerapan Islam, syari’ah dan Khilafah mencapai 76%, di Mesir 74%, di Pakistan 79% dan di Indonesia 53%.(http://www.hizb.org.uk./hizb/resources/issu…slim-word.html)

Surat kabar al-Hayât, pada 28/07/2007 M, menyebutkan bahwa Zalmay Khalilzad, delegasi Amerika Serikat di PBB, dalam pembicaraannya kepada surat kabar Die Presse Austrian memperingatkan “bahwa, pergolakan di Timur Tengah dan Hadharah Islam dapat menyebabkan terjadinya perang dunia ketiga”. Zalmay menambahkan, “Bahwa Timur Tengah kini sedang melewati sebuah fase transfomasi yang sulit menuju sebuaha ghâyah (puncak tujuan) yang akan menampakkan kekuatan ekstrimisme dan mempersiapkan lahan yang subur bagi terorisme”. Zalmay juga mengatakan, “Dunia Islam akan menggabungkan diri pada sebuah aliran arus Internasional (al-tiyâr al-duwaly) yang sedang mendominasi. Akan tetapi, hal itu tentu membutuhkan waktu yang cukup”.

Zalmay Khalilzad menambahkan kembali, “Orang-orang kolot itu kini telah memulainya. Akan tetapi mereka tidak memiliki kesepakatan pendapat terkait posisi mereka. Sebagian mereka menginginkan kembali pada abad ke enam dan ketujuh Masehi, pada abad dimana Nabi Muhammad di lahirkan”. Zalmay Khalilzad kembali melanjutkan, “Masalah ini mungkin membutuhkan beberapa dekade, sehingga sebagian mereka itu memahami bahwa mereka sesungguhnya dapat tetap menjadi orang-orang Muslim dan dalam waktu yang sama juga dapat bergabung dengan dunia yang baru”.

Pada 24/08/2007 M, Presdiden Prancis, Sarkozy, mengatakan, “Rasanya tidak perlu menggunakan bahasa kayu (kekerasan). Sebab, konfrontasi semacam ini justru disukai oleh kelompok ekstrim yang bermimpi menegakkan Khilafah dari Indonesia hingga Nigeria . Mereka tidak pernah menerima bentuk keterbukaan apapun, mereka juga tidak pernah menerima modernitas dan keberagaman apapun”. Demikian asumsi Sarkozy. Pada waktu ia juga mengatakan, “Sesungguhnya tidak dapat diremehkan adanya kemungkinan konfrontasi antara Islam dan Barat”.

Ketua Dewan Duma (Parlemen Rusia), Mikael Boreyev, menegaskan bahwa “dunia kini sedang menuju penyatuan menjadi lima negara besar; Rusia, Cina, Khilafah Islamiah dan Konfederasi yang mencakup Amerika”. Mikael Boreyev menambahkan, “dan ditambah satu lagi, yaitu India, apabila ia sukses melepaskan diri dari kekuatan Islam yang amat kuat yang mengepungnya”. Demikian Boreyev menuturkan. Pemuatan sebuah peta dunia pada sampul sebuah buku berjudul, “Rusia Emperium Ketiga (al-Rusiya Imbrathuriyah al-Tsâlitsah)”, karya Boreyev nampak sekali disana hanya terdapat sejumlah negara. Sementara, Eropa akan berada dibawah Rusia yang diprediksikan oleh penulis akan menjadi emperyor ketiga (Setelah masa Kekasisaran dan Sosialisme). Boreyev, sebagaimana dirilis oleh surat kabar al-Khalîj al-Imâratiyah, memprediksi negaranya akan kembali menjadi negara emperyor dan akan mendominasi Benua Eropa yang diprediksikan akan segera terhapus negaranya dan runtuh peradabannya. Boreyev memberikan sinyalemen bahwa ia tidak bisa secara pasti meyakini bahwa Rusia akan menduduki benua Eropa. Akan tetapi, ia yakin bahwa hadharah Eropa sedang menuju kehancuran. Dan hal ini pasti akan di duduki atau diperangi oleh negara ini (Rusia) atau negara itu (Khilafah Islamiah atau negara-negara besar lainnya). Ketua Dewan Duma ini memprediksikan bahwa dengan datangnya tahun 2020 M, mayoritas negara-negara di dunia (yang saat ini ada) akan mengalami kehancuran. Dia memberikan isyarat bahwa nanti hanya akan ada lima negara besar, atau emperyor, saja. Yakni; Rusia yang telah menggabungkan Eropa kedalamnya; Cina, yang akan mendominasi negara-negara Timur Tengah dengan kekuatan ekonomi dan militernya; Khilafah Islamiah yang akan membentang dari Jakarta hingga Tangier dan mayoritas daerah Afrika selatan padang pasir; dan Konfederasi yang menggabungkan benua Amerika Utara dan Amerika Selatan. Boreyev melihat bahwa India juga mungkin akan menjadi negara besar jika ia mampu menghadapi kekuatan Islam yang meliputinya. (sumber : majalah alwaie arab edisi khusus)