Sabtu, 26 September 2009

Pihak-pihak berkepentingan di balik kisruh hubungan Indonesia-Malaysia

Dalam setiap sengketa dan pertikaian di dunia ini, baik antar negara maupun internal sebuah negara, selalu melibatkan kepentingan-kepentingan banyak pihak, baik asing maupun lokal. Faktor ekonomi dan politik biasanya menjadi alasan campur tangan pihak-pihak tersebut untuk ikut memancing di air keruh dan mengambil manfaat apabila persengketaan berubah menjadi pertikaian dan peperangan.
Sekarang, marilah kita melakukan analisa dengan melihat faktor ekonomi dan politik, serta beberapa kemungkinan yang akan terjadi apabila pihak-pihak yang berkepentingan ikut melakukan manuver agar maksudnya terealisasi.
Pihak-pihak yang kemungkinan ikut mengambil manfaat apabila Indonesia-Malaysia benar-benar bertikai dan terjadi peperangan, adalah:

1. Malaysia sendiri.
Malaysia mempunyai kepentingan dengan sumber-sumber minyak, gas bumi dan sumber-sumber hayati laut di wilayah laut Indonesia yang sangat kaya. Batas wilayah negara di laut mempunyai kekuatan hukum yang sangat lemah, karena sebagai warisan penjajah batas-batas daerah jajahan di laut tidak ditetapkan dengan pasti antara Belanda sebagai penjajah Indonesia dengan Inggris sebagai penjajah Malaysia. Akhirnya digunakan data sejarah mengenai batas-batas wilayah kerajaan di masa lalu sebagai dasar, dan ini juga masih bisa diperdebatkan.
Selain itu sejarah mencatat mengenai adanya Gagasan pembentukan “Melayu Raya” ketika Indonesia-Filipina-Malaysia berencana mendirikan Maphilindo, singkatan dari Malaysia-Philipina-Indonesia di Manila pada 1963. Para presiden dari ketiga negara tersebut mengumumkan Deklarasi Manila yang menggabungkan negara mereka ke dalam Maphilindo.
Dalam pidato penutupan, Presiden Filipina Macapagal mengajak hadirin untuk mengenang kembali mimpi para nasionalis Filipina mulai Jose Rizal, Presiden Manuel Quezon, Wenceslao Vinzons, sampai Presiden Elpidio Quirino untuk menyatukan bangsa-bangsa Melayu. Macapagal menyebut Presiden Indonesia Soekarno dan Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman sebagai “two of the greatest sons of the Malay race“.
Gagasan ini berdasarkan peta antropologi bangsa-bangsa di mana Indonesia, Malaya, Temasek (Singapura), Filipina, Thailand, Burma (MYanmar), Vietnam, Kambodia, sampai Madagaskar dan Hawaii dikenal sebagai bangsa serumpun Melayu-Polinesia. Tapi sayang ide ini pudar seketika setelah Presiden RI Soekarno menyatakan perang terhadap Malaysia yang telah menjadi boneka imperialis Inggris.
Malaysia yang merasa sebagai satu-satunya negara perhimpunan bangsa Melayu bisa saja berkeinginan untuk mewujudkan Melayu Raya itu di bawah kepemimpinannya. Meskipun menurut sejarah kerajaan Melayu pertama adalah kerajaan Malayapura di Sumatera – di bawah kekuasaan Majapahit – dengan rajanya Adityawarman tahun 1347. Adityawarman adalah utusan Majapahit untuk menaklukan kerajaan Sriwijaya, yang kemudian berhasil memaksa Parameswara, putra Raja Sam Agi untuk melarikan diri ke Semenanjung Malaya dan mendirikan kerajaan Malaka (1380-1403). Malaka kemudian jatuh ke tangan Portugis tahun 1511.

2. Inggris
Sebagai pemimpin negara persemakmuran (commont wealth) dan bekas penjajah negara-negara anggotanya tersebut, tentu saja Inggris mempunyai kepentingan atas kekayaan negera-negara anggotanya. Dengan kepentingan ekonomi dan juga politik atas wilayah-wilayah Indonesia, bisa saja Inggris ikut memberikan bantuan militer kepada Malaysia dalam konflik ini.
Melihat kondisi perekonomian AS yang anjlok sekarang ini, bisa saja muncul keberanian Inggris untuk membuka front perlawanan melalui kaki tangannya, Malaysia, untuk merebut sumber minyak di Indonesia yang sekarang dikuasai perusahaan-perusahaan besar AS. Seperti diketahui Angkatan Laut Inggris adalah pasukan tempur laut terbaik di dunia, sehingga dengan modal ini Inggris cukup berani berhadapan dengan AS di Asia Tenggara.

3. Amerika Serikat (AS)
Kondisi ekonomi AS yang sedang mengalami penurunan berpengaruh terhadap kondisi perusahaan-perusahaan minyaknya yang sekarang sedang beroperasi di Indonesia. AS tentu tidak mau hak eksplorasi minyak di lepas pantai Indonesia akan jatuh ke tangan Inggris yang berada di belakang Malaysia. Kemungkinan besar AS akan memberikan bantuan militer kepada Indonesia apabila Malaysia memulai penyerangan dan perang tidak bisa dihindari.
Selain itu perseteruan AS dengan Korea Utara mengenai senjata berhulu ledak nuklir milik Korut semakin memanas, yang mungkin akan memaksa AS untuk menempatkan persenjataannya di wilayah Asia, dalam hal ini yang terdekat dengan Kores Utara adalah Asia Tenggara. Apabila terjadi peperangan antara Indonesia dengan Malaysia, maka AS mempunyai alasan untuk menempatkan kapal perang dan persenjataannya dengan membuat pangkalan militer di Indonesia.

4. Republik Rakyat Cina (RRC)
Sebagian besar orang-orang keturunan Cina di negara-negara Asia Tenggara bergerak di bidang perdagangan dan ekonomi, sebagian adalah para konglomerat dan pengusaha kelas dunia. Orang-orang keturunan Cina umumnya tidak bisa melepaskan diri dari keterkaitan budaya dengan tanah leluhurnya di Cina, termasuk juga dengan pemerintahan yang sedang berkuasa di sana.
Keterikatan yang nyata adalah para pengusaha konglomerat keturunan tersebut menempatkan sebagian besar dana investasi usahanya di Cina. Mereka juga mempunyai hubungan bisnis dengan banyak pengusaha di tanah leluhur.
Selain keterikatan budaya dan ekonomi, warga keturunan Cina juga ada yang mempunyai hubungan politik dengan pemerintah Cina yang sosialis komunis. Sejarah mencatat ada Partai Komunis Malaysia di era 60-an yang sebagian besar penggeraknya adalah warga keturunan.
Ada kemungkinan pergerakan komunisme di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia mempunyai keterkaitan yang terencana. Bisa saja para aktivis komunis di Malaysia, Indonesia dan Cina saling berhubungan dan bersama-sama memblow-up isu-isu pertentangan agar situasi semakin memanas, khas gaya komunis, dengan cara mencetuskan masalah, ikut mempublikasikannya, dan terakhir ikut berdemonstrasi agar suasana berkesan semakin kisruh.
Kepentingan RRC yang terbesar adalah perluasan skop ekonomi dan politik mereka, sehingga negara-negara yang dikuasai komunis akan berkiblat secara ekonomi dan politik ke negara tirai bambu tersebut, atau dengan kata lain RRC berniat membentuk RRC yang lebih luas atau Cina Raya.
Menurut sejarah gerakan komunis di Indonesia mudah untuk membonceng pada organisasi atau orang berfaham nasionalis, seperti PKI yang didukung oleh Bung Karno disebabkan PKI satu-satunya yang mendukung program “Ganyang Malaysia”-nya Soekarno. Maka mungkin saja kelompok komunis berkeinginan untuk mengulang sejarah di masa lalu dengan mengatasnamakan nasionalisme mereka bergerak merealisasikan cita-citanya, mengkomuniskan Indonesia dan Malaysia.

5. Indonesia
Kepentingan Indonesia terutama adalah mempertahankan wilayahnya, harga diri bangsa dan aset-aset sumber kekayaan alam berupa minyak bumi lepas pantai, hutan kayu di daerah perbatasan dan sumber daya hayati laut. Sedangkan kemungkinan adanya kepentingan politik sangat kecil.

Jumat, 18 September 2009

Khilafah (negara dengan sistem islam) dalam pandangan barat

Jika Anda ingin berbicara tentang Khilafah dalam pandangan Barat, itu artinya Anda akan berbicara tentang tamatnya dominasi negara-negara itu dan tamatnya penjajahannya atas dunia, sekaligus Anda akan berbicara tentang rancangan hadhârah (peradaban) yang amat kuat dasarnya (qawiyy al-autâd), amat kokoh kesadaran akan harga diri dan identitasnya (shalb al-syakîmah) yang akan bangkit menjadi tantangan internasinal (tahaddiy[an] ‘âlamiyy[an] bagi hadharah Barat, bahkan akan menggusurnya. Artinya, Anda akan berbicara tentang sebuah sistem universal yang baru; model ideologi yang akan mengganti ideologi liberal-sekular Barat.

Jika Anda berbicara tentang Khilafah, itu artinya Anda sedang berbicara tentang sebuah mimpi buruk yang menghantui ketenangan Barat dan menjadikan mereka terjangkiti insomnia pada saat tidur maupun terjaga. Artinya, Anda berbicara tentang ‘Kerajaan Islam Universal’ –meminjam ungkapan para pemimpin Barat –yang akan menaungi negeri-negeri Islam saat ini maupun di masa lampau, yang akan membentang dari Eropa ke Afrika utara, ke Timur Tengah, dan ke Asia Tenggara. Dimana hal ini akan kembali menjadikannya mampu untuk memimpin dunia.

Jika Anda berbicara tentang Khilafah, itu artinya Anda berbicara tentang penerapan syari’at dan penyatuan negeri-negeri kaum Mulimin sekaligus mencabut campurtangan penjajahan yang ada di sana. Inilah sebuah perkara yang tidak akan ditoleransi oleh negara-negara Barat. “Memimpinnya syari’at Islam di dunia Arab dan ditegakkannya satu kekhilafahan di seluruh negeri-negeri kaum Muslim serta lenyapnya campur tangan Barat dari negeri-negeri tersebut adalah perkara yang tidak akan ditoleransi oleh Barat dan sama sekali tidak mungkin dibiarkan oleh mereka” .

Menghancurkan Khilafah adalah sebuah cita-cita yang selamanya akan menjadi tujuan Barat. Barat telah pernah mewujudkan cita-cita ini setelah perang dunia kedua. Lord Curzon, menteri luar negeri Inggris pada masa runtuhnya Khilafah mengatakan, “Kita telah menghancurkan Turki dan Turki tidak mungkin akan kembali bangkit. Sebab kita telah menghancurkan dua kekuatannya; yakni Islam dan Khilafah”. Saat ini, cita-cita itu kembali mengantui Barat setelah kaum Muslim kembali menyatukan tekad untuk mengembalikan Khialfah ke atas pentas negara.

Berikut ini beberapa statemen, komentar dan analisa yang berkaitan dengan ketakutan dan depresi Barat terhadap kembalinya Khilafah:

Putin, Presiden Rusia, pada bulan Desember tahun 2002 mengumumkan, “Terorisme internasional telah mengumumkan peperangannya atas Rusia dengan tujuan merampas sebagian wilayah Rusia dan mendirikan Khilafah Islamiah”. Pada kesempatan itu, Putin berbicara dalam sebuah acara dialog di sebuah setasiun televisi yang disiarkan secara langsung (live). Pada keempatan itu ia menjawab lima puluh pertanyaan yang terpilih diantara dua juta pertanyaan via telepon dari penduduk Rusia.

Situs, “Mufakkirah al-Islâm www.islamemo.com pada akhir 2002 M memberitakan sebuah kabar dengan judul “Lembaga Inteljen Jerman Memperingatkan Berdirinya Khilafah”. Dalam situs itu tertulis sebagai berikut: “Kepala Lembaga Inteljen Jerman, August Hanning, melakukan penelusuran di beberapa negara Arab yang dimulai dari wilayah Teluk dimana disana ia bertemu dengan beberapa pemimpin lembaga-lembaga inteljen Arab. Set data Iraq dan kelompok Fundamentalis Islam adalah merupakan topik yang paling menonjol bagi seorang lelaki yang mengepalai salah satu dari kegiatan lembaga-lembaga inteljen negara itu. Dalam kaitannya dengan kelompok fundamentalis Islam, para pengamat inteljen Jerman mengkhawatirkan, mengantisipasi (dan meramalkan) akan munculnya serangan yang meluas dari ribuan pendukung gerakan-gerakan Islam di Uzbekistan, Tajikistan dan Kyrgyz dengan tujuan mendirikan Daulah Khilafah Islamiah di wilayah tersebut. Para eksekutif Jerman memberikan kepercayaan dan kredibilitas yang amat besar terhadap kehawatiran, antisipasi (dan ramalan) lembaga-lembaga inteljen tersebut”.

Henry Kissinger dalam sebuah pidatonya di India pada 6 November 2004 M dalam Konfrensi Hindustan Times yang kedua, kepada para pemimpin ia menyampaikan, “Ancaman-ancaman itu sesungguhnya tidak datang dari teroris, sebagaimana yang kita saksikan pada 11 September. Akan tetapi, ancaman itu sesungguhnya datang dari Islam fundamentalis ekstrim yang berusaha menghancurkan Islam moderat yang bertentangan dengan pandangan pandangan kelompok radikal dalam masalah Khilafah Islamiah”.

Kissinger juga mengatakan, “Musuh utama, sejatinya adalah kelompok ekstrim Fundamentalis yang aktif dalam Islam dimana dalam saat yang sama ingin mengubah masyarakat Islam moderat dan masyarakat lain yang dianggap sebagai penghalang penegakan Khilafah”. (Surat Kabar Newsweek edisi VIII November 2004)

Surat kabar al-Hayât, pada 15/01/2005 M, mempublikasikan sebuah laporan yang dipublikasikan oleh Reuters di Washinton. Laporan itu berisi prediksi-prediksi berdasarkan pada hasil muyawarah yang dihadiri oleh seribu ahli dari lima benua seputar ramalan masa-masa yang akan datang hingga 2020 M. Laporan itu bertujuan untuk mewujudkan kontribusi dari para intelejen dan politisi untuk menghadapi tantangan-tantangan tahun-tahun yang akan datang. Laporan itu menghawatirkan “masih terus berlangsungnya serangan terorisme”. Laporan itu membicrakan tentang empat skenario yang mungkin akan terus berkembang di dunia. Skenario ketiga yang diperingatkan oleh laporan itu adalah al-Khilafah al-Jadîdah (Khilafah Baru Yang Akan Muncul). Demikian laporan itu menyebutnya.

Mantan perdana mentri Inggris, Tony Blair, di hadapan Konferensi Umum Partai Buruh pada 16/07/2005 M mengatakan, “Kita sesungguhnya sedang menghadapi sebuah gerakan yang berusaha melenyapkan negara Israel dan mengusir Barat dari dunia Islam serta menegakkan Daulah Islam tunggal yang akan menjadikan syari’at Islam sebagai hukum di dunia Islam melalui penegakan Khilafah bagi segenap umat Islam”.

Demikian pula pada September 2005 M, Blair dengan terang-terangan mengatakan, “Keluar kita dari Iraq sekarang ini akan menyebabkan lahirnya Khilafah di Timur Tengah”.

Pada 06/10/2005 M, dengan terang-terangan Bush mengisyaratkan adanya strategi kaum Muslim yang bertujuan mengakhiri campurtangan Amerika dan Barat di Timur Tengah. Bush mengatakan, “Sesungghunya, ketika mereka menguasai satu negara saja, hal itu akan menarik (menghimpun) seluruh kaum Muslim. Dimana hal ini akan memungkinkan mereka untuk menghancurkan seluruh sistem di wilayah-wilayah itu, dan mendirikan kerajaan fundamentalis Islam dari Spanyol hingga Indonesia”.

Mentri Dalam negeri Inggris, Charles Clark, dalam sebuah sambutannya di Institute Heritage mengatakan, “Tak mungkin ada kompromi seputar kembalinya Daulah Khilafah, dan tidak ada perdebatan seputar penerapan syari’at Islam”.

Dalam sebuah pidatonya kepada bangsa Amerika, pada 08/10/2005 M, George W.Bush mengatakan dengan tegas, “Para pasukan perlawanan bersenjata itu menyakini bahwa dengan menguasai satu negara, mereka akan dapat menuntun bangsa Islam dan menghancurkan seluruh negara moderat di wilayah-wilayah itu. Dari situ, mereka akan mendirikan sebuah kerajaan Islam ekstrim yang membentang dari Spanyol hingga Indonesia”.

Pada 05/12/2005 M, menteri pertahanan Amerika, Donald Rumsfeld, dalam sebuah komentarnya seputar masadepan Iraq –pada saat itu ia berada di Universitas John Hopkins –mengatakan, “Iraq tak ubahnya adalah tempat lahirnya Khilafah Islamiah baru yang akan membentang mencakup seluruh Timur Tengah dan akan mengancam pemerintahan-pemerintahan resmi di Eropa, Afrika dan Asia. Inilah rencana mereka. Mereka telah menegaskan hal ini. Kita akan mengakui sebuah kesalahan yang amat menakutkan jika kita gagal mendengar dan belajar”.

Surat kabar Milliyet Turki, pada 13/12/2005 M, dengan mengutip dari The New York Times menyebutkan bahwa, “Para pemimpin dalam pemerintahan Bsuh, akhir-akhir ini terus menerus mengulang-ulang kata Khilafah seperti permen karet. Pemerintahan Bush kini menggunakan kata Khilafah untuk menyebut kerajaan Islam yang pada abad ke VII membentang dari Timur Tengah hingga Asia Selatan, dan dari Afrika utara hingga Spanyol”.

Seorang komentator Amerika, Karl Vic di surat kabar Washinton Post, 14/01/2006 M menulis sebuah laporan yang amat panjang dimana di dalamnya ia menyebutkan bahwa “kembalinya Khilafah Islamiah yang selalu diserang oleh presiden Amerika, George Bush, benar-benar sedang menggema di tengah-tengah mayoritas kaum Muslim”. Karl Vic juga menuturkan bahwa, “kaum Musilin (saat ini) memang benar-benar menganggap diri mereka bagian dari satu umat yang akan membentuk esensi Islam, sebagaimana mereka melihat Khalifah adalah sebagai sosok yang layak untuk mendapatkan penghormatan”. Sang komentator ini memberikan isyarat bahwa, “Hizbut Tahrir yang bergerak berbagai negeri lintas dunia itulah yang dengan terang-terangan menegaskan bahwa tujuannya adalah mengembalikan Khilafah sebagaimana masa dahulu”.

Dr. Ahmad al-Qadidy, seorang warga Tunisia yang berdomisili di luar negeri, dalam sebuah tulisannya yang dimuat oleh surat kabar al-Syrq al-Quthriyyah yang terbit pada Ahad 17/05/2006 M, dengan judul “Para Ahli Amerika Memprediksikan Kembalinya Khilafah Pada 2020 M”, mengatakan, “Pada halaman 83 dari sebuah laporan penting yang terbit pada hari-hari ini dari yayasan “Robert Lafon” untuk publikasi Paris, dengan judul “Bagaimana Pandangan Inteljen Amerika Terhadap Dunia Pada Tahun 2020 M?”, kita dapat membaca paragraf berikut ini: “Islam politik mulai hari ini hingga 2020 M akan mengalami penyebaran yang amat luas di pentas dunia internasional. Kita memprediksikan akan adanya penyatuan gerakan-gerakan Islam Rasisme dan Nasionalisme dan bergerak bersama untuk mendirikan sebuah kekuasaan yang akan melintasi batas-batas nasional. Al-Qadidy melanjutkan ungkapannya, “Hal inilah –dengan sangat akurat –adalah apa yang diperediksikan oleh para ahli Amerika, khsusnya seorang sosiolog dan senior para ahli prediksi masadepan, Alvin Toffler, pemilik buku “Shadamat al-Mustaqbal /Future Shock (Benturan Masa Depan)”, Ted Gordon, tohoh senior ahli rancangan, Millennium Project yang telah direalisasikan oleh organisasi PBB, seorang ahli, Jim Dewar, dari yayasan Rand Corporation, Jad Davis, desainer semua program Shell Petroleum Company, dan para ahli yang lainnnya yang tak diragukan lagi kemampuan mereka dalam memprediksi masadepan. Ahmad al-Qadidy menambahkan, “Dan tentu saja, para ahli dan pakar itu telah bekerja dalam beberapa waktu untuk kepentingan agen pusat inteljen di Washinton. Mereka telah menghasilkan sebuah laporan yang amat penting dan dapat dipercaya yang akan menggariskan corak dunia setelah lima belas tahun sejak hari ini, sebagaimana yang mereka lihat melalui berbagai indikasi yang ada di depan mereka.

Pemimpin pasukan koalisi Salib yang bergabung di Iraq, Richard Myers, mengatakan, “Bahaya sejati dan terbesar yang mengancam keamanan Amerika Serikta (AS) sesungguhnya adalah ektrimesme yang bercita-cita mendirikan Khilafah sebagaimana pada abad ketujuh Masehi. Kelompok ekstrimesme ini telah tersebar di berbagai wilayah yang jutrsu lebih banyak dari pada di Iraq. Akan tetapi, mereka juga bergerak di Iraq dan tersebar di dalamnya serta selalu mendorong pasukan perlawanan untuk menggunakan aktifitas-aktifitas fisik untuk melawan Amerika di Iraq.

Pada 31/01/2006 M, situs al-Syâsyah al-I’lâmiyah al-‘Âlamiyah (Media Monitors) menyebarkan sebuah artikel yang ditulis oleh Nu’man Hanif. Dalam artikle ini terdapat sebuah kajian yang amat mendalam, pendapat yang kuat dan pandangan kedepan mengenai akhir pertempuran antara Barat dan Islam. Dimana, dengan pandangannya ini, Nu’man Hanif akan sampai pada satu kesimpulan, bahwa, “Tidak ada pilihan lain bagi Barat kecuali menerima kepastian hadirnya Khilafah”. Dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Khilafah; Tantangan Islam Kepada Sistem Dunia”, tertulis sebuah pernyataan, “Dalam gerakan Islam ekstrim, terkait dengan legitimasi Daulah Khilafah, terdapat semacam keyakinan agama yang mendominasi mereka bahwa Khilafah adalah sebuah benteng yang akan mengembalikan kekuatan Islam dan sebagai wasilah yang akan menantang dominasi Barat. Berdasarkan sumbernya dari al-Quran dan sejarah Islam, Gerakan-gerakan Islam itu memang mengalami perbedaan seputar metode menghidupkan Khilafah; dengan aktifitas jihad, perbaikan atau politik. Akan tetapi, mereka –dengan seluruh khayalannya –semuanya sepakat pada tujuan mengembalikan Khuilafah”.

Nu’man Hanif mengatakan, “Khilafah, sesuai dengan definisinya dalam pandangan Gerakan Islam Sunni, adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim untuk menerapkan hukum-hukum Syari’ah Islam dan mengemban Rislah Islam ke seluruh dunia”. Nu’man kembali mengatakan, “Gerakan Islam itu telah sukses memberikan sebuah ideology alternatif pengganti ideologi Libral-Skular Barat kepada mayoritas kaum Muslim dimana sample ini sesuai dengan al-Quran. Sementara itu, menghidupakan kembali Khilafah adalah puncak sample tersebut sekaligus satu-satunya sarana untuk menantang tatanan internasional yang didominasi pihak Barat”.

Nu’man juga mengatakan, “Pada faktanya, perkataan bahwa Islam politik telah gagal dikarenakan ketidak mampuannya menyesuaikan diri dengan kemajuan Barat dan kontruksi politik Barat, sesungguhnya tidak dapat dianggap sebagai vonis kegagalan Islam politik. Namun, hal itu justru merupakan bukti lain bahwa Islam dan tatanan politik Barat tidak dapat saling menyesuaikan sampai dari akarnya. Dari sisi lain, berdirinya gerakan-gerakan Islam dengan menyuguhkan frame Khilafah sebagai ganti politik dan sistem model Barat Skular saat ini, sesungguhnya menjadi bukti kesuksesan Islam politik”.

Nu’man kembali mengatakan, “Politik yang tegak diatas penyerangan terhadap ide Khilafah dengan mengaitakannya dengan kekerasan politik gerakan jihad sesungguhnya tidak akan dapat menggeser legalitasnya (Khilafah) yang digali dari al-Quran. Barangkali dunia Islam tidak sepenuhnya setuju dengan metode-metode mengangkat senjata gerakan jihad. Akan tetapi, tentu tidak akan ada lagi perdebatan mengenai legalitas (disyari’atkannya) Khilafah di dalam al-Quran. Sementara itu, gerakan Islam yang mengemban pemikiran politik dan menjauh dari cara-cara kekerasan memiliki seruan yang lebih dalam dan luas. Dimana ia menganggap dirinya sebagai penjaga ide menghidupkan kembali Khilafah. Serangan apapun yang ditujukan kepada Khilafah dianggap sebagai serangan kepada Islam”.

Pada 05/09/2006 M, George W.Bush kembali membicarakan Khilafah. Bush mengatakan, “Mereka itu sesungguhnya berusaha menegakkan kembali negara mereka yang amat unggul, Khilafah Islamiah. Dimana, semuanya akan dipimpin dengan ideologi yang sangat dibenci itu. Sistem Khilafah itu akan mencakup seluruh negeri-negeri Islam yang ada saat ini”.

Dalam konfrensi pers di gedung putih yang terselenggara pada 11/10/2006 M, Bush junior itu membicarakan tentang, “sebuah dunia dimana di dalamnya kelompok ekstrim berupaya merekrut para intlektual untuk merevolusi pemerintahan moderat dan mendirikan Khilafah sebagai gantinya”. Bush menambahkan, “Mereka menginginkan kita pergi, mereka ingin merevolusi pemerintahan dan mereka ingin membentangkan Khilafah Idiologis yang tidak memiliki prinsip-prinsip kebebasan alami dalam keyakinannya.

Situs pemberitaan Gedung Putih pada 20/10/2006 M, mempublikasikan sebuah ungkapan George Bush, “Orang-orang fundamentalis itu bercita-cita mendirikan Daulah Khilafah sebagai sebuah negara hukum dan menginginkan menyebarkan akdiah mereka dari Indonesia hingga Spanyol”.

Mentri pertahanan Amerika, Donald Rumsfeld, dalam sebuah acara perpisahannya mengatakan “Mereka ingin menghancurkan dan menggoyahkan sistem pemerintahan Islam moderat dan mendirikan Daulah Khilafah”.

Dalam sebuah buku yang terbit pada 2007 M dengan judul, “Suqûth wa Shu’ûd al-Daulah al-Islâmiyah (Runtuh dan Berdirinya Daulah Islam)”, karya seorang dosen hukum di Universitas Harvard yang amat terkenal, Prof. Noah Feldman, dikatakan, “Dapat ditegaskan bahwa meningkatnya dukungan rakyat (Islam) terhadap sayri’ah Islam pada kali yang lain pada dewasa ini –meskipun pernah mengalami keruntuhan –akan dapat mengantarkan pada wujudnya Khilafah Islamiah yang sukses”. Dalam bukunya ini, Noah Feldman mengatakan bahwa, ketika suatu kerajaan dan sistem pemerintahan itu telah mengalami keruntuhan, maka sesungguhnya kerajaan dan sistem pemerintahan itu telah runtuh dan tidak akan kembali, sebagaimana yang terjadi pada Sosialisme dan Monarki yang berkuasa, kecuali dalam dua keadaan saja yang sedang terjadi pada saat ini. Pertama, adalah sistem Demokrasi yang dulu telah pernah mendominasi di kerajaan Romania, dan dalam keadaan negara tersebut adalah Negara Islam”.

Penulis ini mengamati sebuah fenomena besar, kuat dan terus berkembang dari Marokko hingga Indonesia; yakni bangsa-bangsa Islam yang menuntut kembalinya Syari’at Islam. Khusunya di negara-negara yang berpenduduk besar, seperti, Mesir dan Pakistan. Penulis ini bertanya-tanya, “Mengapa orang-orang sekarang menuntut kembalinya syari’ah Islam dan tertarik kepadanya? Padahal pendahulu mereka, pada masa kontemporer ini telah membuangnya dan mensifatinya sebagai warisan masa lalu yang telah usang”. Penulis ini kembali mengatakan, “Penyebab yang tersembunyi adalah bahwa para penguasa saat ini telah mengalami kegagalan dalam pandangan bangsa-bangsa itu. Termasuk Barat. Dan sementara itu, bangsa-bangsa Islam saat ini sangat membutuhkan keadilan”. Terlebih lagi, sampai saat ini, tidak ada jajaran ulama’ atau para qadhi sejati sebagaimana dalam masa pemerintahan Islam.

Pusat kajian strategi di Universitas Yordan pernah melakukan sebuah survey yang disebar pada April 2007 M di empat negara besar di dunia Islam (Marokko, Mesir, Indonesia dan Pakistan) seputar:

a) Dukungan penerapan syari’ah Islam di dunia Islam

b) Bersatu dengan negara-negara lain di bawah bendera seorang Khalifah atau Khilafah

c) Menolak penjajahan asing dan politik negara-negara Barat secara umum

d) Menolak penggunaan kekerasan melawan rakyat sipil

Hasil survey ini membuktikan bahwa prosentasi keseparakatan atas ide-ide di atas mencapailebih 75% pada beberapa maslah. Di Marokko para pendukung penerapan Islam, syari’ah dan Khilafah mencapai 76%, di Mesir 74%, di Pakistan 79% dan di Indonesia 53%.(http://www.hizb.org.uk./hizb/resources/issu…slim-word.html)

Surat kabar al-Hayât, pada 28/07/2007 M, menyebutkan bahwa Zalmay Khalilzad, delegasi Amerika Serikat di PBB, dalam pembicaraannya kepada surat kabar Die Presse Austrian memperingatkan “bahwa, pergolakan di Timur Tengah dan Hadharah Islam dapat menyebabkan terjadinya perang dunia ketiga”. Zalmay menambahkan, “Bahwa Timur Tengah kini sedang melewati sebuah fase transfomasi yang sulit menuju sebuaha ghâyah (puncak tujuan) yang akan menampakkan kekuatan ekstrimisme dan mempersiapkan lahan yang subur bagi terorisme”. Zalmay juga mengatakan, “Dunia Islam akan menggabungkan diri pada sebuah aliran arus Internasional (al-tiyâr al-duwaly) yang sedang mendominasi. Akan tetapi, hal itu tentu membutuhkan waktu yang cukup”.

Zalmay Khalilzad menambahkan kembali, “Orang-orang kolot itu kini telah memulainya. Akan tetapi mereka tidak memiliki kesepakatan pendapat terkait posisi mereka. Sebagian mereka menginginkan kembali pada abad ke enam dan ketujuh Masehi, pada abad dimana Nabi Muhammad di lahirkan”. Zalmay Khalilzad kembali melanjutkan, “Masalah ini mungkin membutuhkan beberapa dekade, sehingga sebagian mereka itu memahami bahwa mereka sesungguhnya dapat tetap menjadi orang-orang Muslim dan dalam waktu yang sama juga dapat bergabung dengan dunia yang baru”.

Pada 24/08/2007 M, Presdiden Prancis, Sarkozy, mengatakan, “Rasanya tidak perlu menggunakan bahasa kayu (kekerasan). Sebab, konfrontasi semacam ini justru disukai oleh kelompok ekstrim yang bermimpi menegakkan Khilafah dari Indonesia hingga Nigeria . Mereka tidak pernah menerima bentuk keterbukaan apapun, mereka juga tidak pernah menerima modernitas dan keberagaman apapun”. Demikian asumsi Sarkozy. Pada waktu ia juga mengatakan, “Sesungguhnya tidak dapat diremehkan adanya kemungkinan konfrontasi antara Islam dan Barat”.

Ketua Dewan Duma (Parlemen Rusia), Mikael Boreyev, menegaskan bahwa “dunia kini sedang menuju penyatuan menjadi lima negara besar; Rusia, Cina, Khilafah Islamiah dan Konfederasi yang mencakup Amerika”. Mikael Boreyev menambahkan, “dan ditambah satu lagi, yaitu India, apabila ia sukses melepaskan diri dari kekuatan Islam yang amat kuat yang mengepungnya”. Demikian Boreyev menuturkan. Pemuatan sebuah peta dunia pada sampul sebuah buku berjudul, “Rusia Emperium Ketiga (al-Rusiya Imbrathuriyah al-Tsâlitsah)”, karya Boreyev nampak sekali disana hanya terdapat sejumlah negara. Sementara, Eropa akan berada dibawah Rusia yang diprediksikan oleh penulis akan menjadi emperyor ketiga (Setelah masa Kekasisaran dan Sosialisme). Boreyev, sebagaimana dirilis oleh surat kabar al-Khalîj al-Imâratiyah, memprediksi negaranya akan kembali menjadi negara emperyor dan akan mendominasi Benua Eropa yang diprediksikan akan segera terhapus negaranya dan runtuh peradabannya. Boreyev memberikan sinyalemen bahwa ia tidak bisa secara pasti meyakini bahwa Rusia akan menduduki benua Eropa. Akan tetapi, ia yakin bahwa hadharah Eropa sedang menuju kehancuran. Dan hal ini pasti akan di duduki atau diperangi oleh negara ini (Rusia) atau negara itu (Khilafah Islamiah atau negara-negara besar lainnya). Ketua Dewan Duma ini memprediksikan bahwa dengan datangnya tahun 2020 M, mayoritas negara-negara di dunia (yang saat ini ada) akan mengalami kehancuran. Dia memberikan isyarat bahwa nanti hanya akan ada lima negara besar, atau emperyor, saja. Yakni; Rusia yang telah menggabungkan Eropa kedalamnya; Cina, yang akan mendominasi negara-negara Timur Tengah dengan kekuatan ekonomi dan militernya; Khilafah Islamiah yang akan membentang dari Jakarta hingga Tangier dan mayoritas daerah Afrika selatan padang pasir; dan Konfederasi yang menggabungkan benua Amerika Utara dan Amerika Selatan. Boreyev melihat bahwa India juga mungkin akan menjadi negara besar jika ia mampu menghadapi kekuatan Islam yang meliputinya. (sumber : majalah alwaie arab edisi khusus)

Kamis, 17 September 2009

Dampak otonomi daerah pada pendidikan

Salah satu tuntutan masyarakat untuk mereformasi tatanan kenegaraan adalah otonomi daerah. Tuntutan ini menjadi urgen dan mendesak ketika sebagian anak bangsa sudah mulai tercerahkan dan sadar setelah ‘dikibuli’ rezim orde baru yang menerapkan pemerintahan sentralistik-diskriminatif. Selama lebih tiga dasa warsa masyarakat dipangkas hak-haknya, bahkan nilai-nilai kemanusiaan-pun harus diseragamkan sedemikian rupa dengan dalih 'persatuan dan kesatuan'. Pasca pemerintahan orde baru, pemerintah mulai berusaha mengakomodasi tuntutan tersebut yang kemudian dikristalisasikan dalam UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, dan UU No.25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Sesuai dengan pasal 11 ayat (2) terdapat sebelas bidang yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota, yaitu; pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, pertambangan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi dan tenaga kerja. Dalam tataran konsep, otonomisasi terhadap sebelas bidang tersebut dirasa cukup bagus dan dapat memenuhi tuntutan masyarakat, tetapi langkah operasionalisasinya akan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru perlu dipertimbangkan lebih mendalam. Dalam kaitan ini, ada satu bidang yang cukup menarik untuk dikaji adalah otonomi di bidang pendidikan.
Dengan menyimak isi UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang pereimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah, dapat disimpulkan bahwa fokus pelaksanaan otonomi daerah adalah di daerah kabupaten dan daerah kota. Untuk itu sebagaian besar sumber pembiayaan nasional akan dilimpahkan lebih banyak ke daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan perekonomian daerah yang berbeda-beda, sementara kewenangan pemerintah terbatas dengan dukungan sumber pembiayaan yang terbatas pula. Sebagai konsekwensinya, maka berdasarkan pasal 7 ayat (2), Pemerintah, dalam hal ini Departemen pendidikan Nasional, hanya menetapkan kebijakan perencanaan dan pembangunan nasional secara makro, standarisasi, kontrol kualitas di bidang pendidikan termasuk kebudayaan yang bersifat nasional. Dengan demikian, dari segi kewenangan maupun sumber pembiayaan di bidang pendidikan dan kebudayaan, Daerah kabupaten dan daerah kota akan memegang peranan penting terutama dalam pelaksanaannya.
Sebagai dampak otonomisasi di atas, terdapat beberapa permasalahan yang perlu dipertimbangkan lebih mendalam, yaitu yang terkait dengan; kepentingan nasional, mutu pendidikan, efesiensi pengelolaan, pemerataan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas.
Pertama, Dalam skala nasional pemerintah mempunyai beberapa kepentingan antara lain sejalan dengan isu wajib belajar (Wajar) dan sebagai upaya mewujudkan salah satu tujuan nasional "mencerdaskan kehidupan bangsa" (Pembukaan UUD 1945), demikian juga seperti yang tertuanmg dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945 tentang hak mendapatkan pengajaran. Persoalannya, bagaimana melalui otonomi daerah, yang besarnya potensi dan sumber pembiayaan berbeda, dapat menjamin agar tiap-tiap negara memperoleh hak pengajaran. atau bagaimana dengan otonomi daerah tersebut dapat menjamin bahwa Wajib Belajar pendidikan dasar sembilan tahun dapat dituntaskan di semua daerah kabupaten/kota dalam waktu yang relatif sama. Isu lainnya adalah pembentukan "national character building", bahwa otonomi daerah dilaksanakan dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, yang diharapkan warga negara tetap mengetahui hak dan kewajibannya serta memiliki juwa patriotisme, religius, cinta tanah air, dan seterusnya. Persoalannya, bagaimana pendidikan dapat mengamankan program pendidikan dengan memberikan peluang kreatifitas dalam keragaman daerah, tetapi semuanya mengarah secara sentripetal ke kepentingan nasional melalui muatan yang sama dalam upaya ke arah pembentukan "national character building" tersebut.
Kedua, peningkatan mutu. Bahwa salah satu dasar pemikiran yang melandasi lahirnya undang-undang pemerintah daerah 1999 adalah untuk menghadapi tantangan persaingan global. dengan demikian mutu pendidikan diharapkan tidak hanya memenuhi standar nasional tetapi juga perlu memenuhi standar internasional. Persoalannya, bahwa otonomi pendidikan sepenuhnya dilakukan oleh Daerah Kabupaten/Kota yang kualitas sumberdaya, prasarana, dan kemampuan pembiayaannya bisa sangat berbeda, dalam konteks ini pendidikan di satu sisi berhasil meningkatkan aspirasi pendidikan masyarakat, namun di sisi lain mutu pendidikan merosot karena sumber dana untuk mendukungnya terbatas.
Ketiga, efesiensi pengelolaan. bahwa otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efesiensi pengelolaan dan efesiensi dalam pengalokasian anggaran. Hal ini bisa terjadi sebaliknya. pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa dengan otonomi daerah biaya operasional pendidikan justru meningkat, hal ini disebabkan antara lain karena bertambahnya struktur organisasi daerah sehingga memerlukan personil yang lebih besar, terlebih lagi jika ditambah dengan kualitas personil yang tidak profesional. Indonesia yang selama 32 tahun menganut sistem pengelolaan yang sangat sentralistik akan mempunyai problem efesiensi pengelolaan seperti tersebut di atas.
Keempat, pemerataan. Pelaksanaan otonomi pendidikan diharapkan dapat meningkatkan aspirasi masyarakat yang diperkirakan juga akan meningkatnya pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan. tetapi ini akan dibayar mahal dengan semakin tingginya jarak antar daerah dalam pemerataan akan fasilitas pendidikan yang akhirnya akan mendorong meningkatnya kepincangan dalam mutu hasil pendidikan. tanpa intervensi pengelolaan, anggota masyarakat dari daerah kabupaten/kota yang kaya dengan jumlah penduduk sedikit akan dapat menikmati fasilitas pendidikan yang jauh lebih baik dari anggota masyarakat dari daerah yang miskin. Dan apabila kesempatan pendidikan ini juga mempengaruhi kesempatan untuk memperoleh penghasilan, maka dalam jangka panjang akan berpotensi meningkatnya jurang kesenjangan ekonomi antar daerah.
Kelima, peranserta masyarakat. Bahwa salah satru tujuan UU Pemerintah Daerah adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peranserta masyarakat, dan seterusnya. Peranserta masyarakat dalam pendidikan dapat berupa perorangan, kelompok atau lembaga industri. Dalam kerangka otonomi daerah, kecenderungan peranserta tersebut menjadi terbatas pada lingkup daerah kabupaten/kota yang bersangkutan, dengan demikian pada masyarakat yang kaya, penyelenggaraan pendidikan di daerah didukung selain dari peranserta orang tua juga oleh masyarakat sehingga memperoleh sumber dana yang relatif baik, dan sebaliknya untuk daerah yang miskin. sebab itu tanpa intervensi kebijakan nasional yang dapat menerapkan subsidi silang, peranserta masyarakat dalam sistem desentralisasi akan dapat menjurus memperlebar jurang ketimpangan pemerataan fasilitas pendidikan, yang akhirnya juga akan memperlebar jurang kesenjangan ekonomi antar daerah.
Keenam, akuntabilitas. Bahwa melalui otonomi pengambilan keputusan yang menyangkut pelaksanaan layanan jasa pendidikan akan semakin mendekati masyarakat yang dilayaninya (klien) sehingga akuntabilitas layanan tersebut bergeser dari yang lebih berorientasi kepada kepentingan pemerintah pusat kepada akuntabilitas yang lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Ini menuntut lebih besar partisipasi masyarakat dan orang tua dalam pengambilan keputusan tentang pelaksanaan pendidikan di daerah.
Keenam permasalahan tersebut perlu dipertimbangkan lebih mendalam. Paling tidak, sebelum benar-benar otonomisasi itu dijalankan dan sebelas bidang di atas diserahkan sepenuhnya pada daerah, maka perlu dilakukan pengkondisian lebih dulu dengan memperhatikan sumber dana dan sumber daya yang dimiliki masing-masing daerah. Setelah dianggap mampu menjalankan otonomi, maka kebijakan tersebut dapat diberlakukan sepenuhnya.
Bagi lembaga-lembaga pendidikan agama, otonomisasi di atas, tidak memberi imbas yang terlalu jauh, karena kebanyakan dari lembaga-lembaga pendidikan agama tersebut adalah berstatus swasta yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri, sehingga eksistensi lembaga itu tetap akan dapat dipertahankan, bahkan lembaga ini akan cepat berkembang pesat karena potensi yang dimiliki masyarakat akan lebih banyak diarahkan ke lembaga ini. berbeda dengan sekolah-sekolah negeri yang tingkat ketergantungannya sangat tinggi kepada pemerintah sehingga lembaga inilah yang sebenarnya perlu diwaspadai eksistensinya ketika diberlakukan otomisasi tersebut.
Demikianlah, jika otonomisasi ini benar-benar dapat diwujudkan dan tiap-tiap daerah dapat menjalankan kebijakan tersebut, maka akan memberikan arti positif bagi pengembangan lembaga pendidikan, karena dengan diberikannya kewenangan dan tanggung jawab untuk mengurusnya, dimungkinkan akan tumbuh kreatifitas, sikap kompetitif, sikap kemandirian yang tinggi, dan seterusnya. Disampng itu lembaga bersangkutan akan lebih berhati-hati dan profesional dalam penyelenggaraanya karena mereka langsung diawasi oleh masyarakat

perimbangan dana pusat dan daerah

Memasuki era desentralisasi atau dikenal dengan “big-bang decentralisation” yang dimulai pada 2001, Pemerintah Pusat tetap memainkan peranan penting dalam mendukung pelaksanaan urusan pemerintahan yang didesentralisasikan ke pemerintah daerah (pemda). Khususnya dalam hal keuangan, Pemerintah Pusat bertanggung jawab menjaga keseimbangan alokasi dana antardaerah. Untuk itu Pemerintah Pusat melakukan transfer dana ke daerah melalui beberapa mekanisme, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Ketiga dana perimbangan tersebut mempunyai tujuan dan nature (sifat dasar) yang berlainan satu sama lain.2 Semua dana perimbangan tersebut disalurkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh karena itu, dalam pengelolaannya pemda harus mempertanggungjawabkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Di samping itu, Pemerintah Pusat juga menyediakan pinjaman dan bantuan kepada pemda .
DAU bersifat hibah umum (block grant); oleh karenanya, pemda memiliki kebebasan dalam memanfaatkannya tanpa campur tangan Pemerintah Pusat. DBH adalah dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kembali kepada daerah (penghasil) dengan pembagian sebagaimana diatur dalam Undang-undang (UU) No. 33/2004 .
DAK dialokasikan dalam APBN untuk daerah-daerah tertentu dalam rangka mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan termasuk dalam program prioritas nasional. Daerah dapat menerima DAK apabila memenuhi tiga kriteria, yaitu (1) kriteria umum berdasarkan indeks fiskal neto; (2) kriteria khusus berdasarkan peraturan perundangan dan karakteristik daerah; dan (3) kriteria teknis berdasarkan indeks teknis bidang terkait (UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004).
Selain dana perimbangan dalam bentuk DAU, DBH, dan DAK, selama ini Pemerintah Pusat juga mengalokasikan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan kepada daerah. Baik dana dekonsentrasi maupun dana tugas pembantuan merupakan dana APBN, tetapi bukan merupakan bagian dari dana perimbangan. Dana dekonsentrasi merupakan bagian dari anggaran kementerian/lembaga yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai representasi Pemerintah Pusat di daerah. Secara teknis, pelimpahan dana dekonsentrasi ke daerah dilaksanakan melalui dinas-dinas di provinsi. Dana tugas pembantuan adalah dana yang dilimpahkan kepada pemda atau pemerintah desa dan pertanggungjawabannya langsung kepada Pemerintah Pusat .

desentralisasi dan otonomi daerah

Tujuan utama dari kebijakakan otonomi daerah adalah, pertama membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangai urusan domestik, sehingga ia berkesempatan untuk memperlajari, memahami, merespon berbagai kecenderongan global dan mengambil mamfaat dari padanya., pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis.
Kedua dengan adanya otonomi daerah, maka pemerimtah daerah mendapat kewenangan lebih dari pemerintah pusat, maka daerah akan mengalami proses pembelajaran dan pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domistik akan semakin kuat.
Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan sehingga daerah otonomi itu diberi kebebasan atau kemandirian sebagai wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. Oleh sebab itu, usaha membangun keseimbangan harus diperhatikan dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Artinya, daerah harus dipandang dalam 2 (dua) kedudukan, yaitu: (a) sebagai organ daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi; dan (b) sebagai agen pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan pusat di daerah.
Secara teoritis, hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan pemerintah daerah berdasarkan atas 3 (tiga) asas, yaitu: (a) asas desentralisasi; (b) asas dekonsentrasi; dan (c) asas tugas pembantuan.
Dalam asas desentralisasi ada penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya baik menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan. Pada asas dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah dalam arti bahwa kebijakan, perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan. Sementra Asas pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah daerah memperoleh tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat .
Desentralisasi saat ini telah menjadi azas penyelenggaraan pemerintahan yang diterima secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktu sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu pertama peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan pendekatan model efisiensi struktural/structural efficiency model) dan kedua peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan (yang merupakan pendekatan model partisipasi/participatory model). Setiap negara lazimnya memiliki titik berat yang berbeda dalam tujuan-tujuan desentralisasinya tergantung pada kesepakatan dalam konstitusi terhadap arah pertumbuhan (direction of growth) yang akan dicapai melalui desentralisasi .
Oleh karena itu desentralisasi merupakan simbol “trust” dari pemerintrah pusat kepada sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi daerah mereka tertantang untuk secara kolektif menentukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi .
Undang-undang no. 32 tahun 2004 pada pasal 1 butir (7) menyebutkan, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Definisi desentralisasi menuryt para pakar berbeda redaksionalnya, tapi pada dasarnya mempunyai arti yang sama. Joeinarto menyebut bahwa desentralisasi adalah meberian wewenang dari negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Sedangkan Muslimin, mengartikan desentralisasi adalah pelimpahan wewenang pada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya. Sementra Irawam Soejito mengartikan desentralisasi sebagai pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan .
Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia .
Desentralisasi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan dengan sentralisasi. Desentralisasi menghasilkan pemerintah lokal (local government), adanya pembagian kewenangan serta terjadinya ruang gerak yang ditandai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada pemerintah yang lebih rendah, hal inilah yang merupakan hal terpenting perbendaan antara desentralisasi dengan sentralisasi .
Desentralisasi dalam arti penyerahan urusan pemerintah hanya dilakukan oleh pemerintah kepada daerah otonom. Oleh karena itu tidak terjadi penyerahan wewenang legislasi dari lembaga legeslatif dan wewenang yudikatif dari lembaga yudikatif kepada daerah otonom. Daerah otonom hanya mempunyai wewenang untuk membentuk peraturan daerah (local ordinace), bukan undang-undang .
Dilihat dari pelaksanaan fungsi dari pemerintah, desentralisasi atau otonomi daerah itu menunjukan :
1. Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi sebagai perubahn yang terjadi dengan cepat;
2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaskanakan/ melakukan tugas dengan efektif dan efesien;
3. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif;
4. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.
Keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari cukup tidaknya kemampuan daerah dalam bidang keuangan, karena kemampuan keuang ini merupakan salah satu indikator penting guna mengukur tingkat otonomi suatu daerah .
A. Pembagian Kewenangan oleh UU no 32 tahun 2004
Di dalam UU No. 32 Tahun 2004, pembagian kewenangan dan atau urusan pemerintahan dilakukan lebih jelas antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota, dan desa dengan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan keserasian hubungan pemerintahan. Di dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa urusan yang menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait dengan potensi keuanggulan dan kekhasan daerah.
Sementara itu, pemerintah pusat memegang urusan utama yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan,moneter, yustisi, dan agama; serta urusan yang ditetapkan oleh suatu undang-undang menjadi urusan pusat. Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurent, artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat concurent selalu ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan propinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten/kota. Pelaksanaan keseluruhan urusan pemerintahan tersebut masih memerlukan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk PP.

nasib pendidikan di daerah*

Sekarang kita memasuki era otonomi daerah yang sangat luas. Memang masih belum terlaksana dengan baik, tetapi agendanya sudah jelas dan pasti. Untuk mendukung pelaksanaannya teman-teman di kantor Menneg Otoda sedang sibuk menyiapkan perangkat peraturan pelaksanaannya. Salah satunya yang penting adalah berkenaan dengan anggaran pembangunan di daerah yang nantinya akan diatur menurut sistem ‘block grant’ yang secara leluasa dapat dipakai oleh pemerintah daerah membangun daerahnya. Misalnya, berapa anggaran untuk pembangunan sektor A, dan berapa untuk sektor B, tergantung kepada anggota DPRD dan Pemerintah Daerah untuk mengaturnya.

Karena itu, nantinya, mengenai alokasi anggaran mana yang penting dan mana yang tidak penting akan terserah sepenuhnya kepada para pejabat dan para politisi kita di daerah-daerah itu untuk mengaturnya sendiri. Tetapi yang menjadi masalah kita adalah bahwa kita tidak tahu arah kecenderungan sikap dan apresiasi mereka itu mengenai pentingnya pendidikan. Kalaupun secara kognitif tahu bahwa pendidikan itu penting, ada kekhawatiran bahwa tuntutan-tuntutan mendesak mengenai berbagai sektor yang bersifat fisik dan proyek-proyek yang menyangkut kepentingan jangka pendek jauh lebih menarik dan akan menyita perhatian lebih banyak di kalangan para politisi ‘dadakan’ yang berkuasa di daerah-daerah dewasa ini.

Jika nantinya, otonomi daerah dijalankan dengan konsekwen dengan didukung oleh kemampuan anggaran yang tentu akan berkurang karena sebagian pendapatan nasional diserahkan menjadi pendapatan daerah, maka anggaran pembangunan nasional di sektor pendidikan yang akan dibagikan berdasarkan ‘block grant’ itu ditambah dengan anggaran pembangunan daerah sendiri di sektor ini, belum tentu akan lebih besar daripada jumlah anggaran pembangunan pendidikan yang ada sekarang. Karena itu, perlu dipikirkan sungguh-sungguh bahwa sektor pembangunan pendidikan di daerah-daerah di era otonomi daerah ini tidak menjadi terbengkalai.

Soalnya, bangsa kita telah mencanangkan pelaksanaan program ‘wajib belajar’ dalam pengertian ‘universal education’ 9 tahun. Hal ini tentu saja harus didukung oleh anggaran pemerintah secara memadai. Pendidikan dasar yang mencakup pendidikan tingkat SD dan tingkat SLTP mau tidak mau harus dijamin oleh pemerintah. Meskipun kita menganut kebijakan ‘civil society’ yang mengutamakan prinsip pemberdayaan masyarakat, sukses tidaknya pelaksanaan agenda pendidikan dasar 9 tahun itu tidak bisa diserahkan bulat-bulat kepada masyarakat. Pemerintah harus dipahami wajib menyediakan anggaran yang cukup untuk itu sesuai dengan prinsip ‘negara pengurus’ (welfare state) yang menjadi latar belakang pemikiran ketika para pendiri bangsa kita merumuskan UUD 1945.

Kepada Affan Gafar yang dipercaya Ryas Rasyid menjadi salah seorang Deputi andalannya, saya bertanya mengenai kemungkinan dicantumkannya pedoman yang bersifat ‘imperative’ agar anggaran sektor pendidikan itu dijamin berdasarkan prosentase tertentu. Tetapi, menurut Affan, pedoman yang bersifat ‘imperative’ seperti itu dapat dinilai bertentangan dengan semangat otonomi daerah. Tetapi masalahnya, jika tidak ada aturan yang bersifat ‘imperative’ ataupun sekurang-kurangnya aturan yang bersifat panduan semacam itu, ada kemungkinan bahwa pendidikan kita di daerah-daerah, terutama pelaksanaan pendidikan dasar bisa benar-benar terabaikan.

Bagaimana mengharapkan apresiasi mengenai pentingnya pendidikan dari para anggota DPRD yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang memadai? Begitu pula dengan para pejabat di daerah-daerah yang tiba-tiba harus menghadapi ulang dan tingkah para politisi kita yang cenderung mabuk demokrasi di daerah-daerah. Bahkan kekuasaan partai-partai politik di daerah bisa menentukan bermacam-macam agenda yang belum tentu ‘klop’ dan menunjang upaya nasional bangsa kita untuk mengunggulkan agenda pengembangan kualitas sumberdaya manusia.

Sebenarnya, jika kita mau bisa saja ketentuan semacam itu dimuat dalam Peraturan Pemerintah yang akan mengatur mengenai pelaksanaan prinsip perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Bahkan jika kita mau mencontoh negara yang secara ekstrim sangat mengutamakan pendidikan, kita dapat belajar dari Taiwan yang bahkan menentukan porsi anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan itu dalam konstitusinya. Dalam konstitusi kaum Cina Taiwan ini dimuat ketentuan bahwa anggaran pembangunan pendidikan di tingkat pusat sebesar 15 persen dari total anggaran, di tingkat propinsi sebesar 25 persen, dan di tingkat kabupaten sebesar 35 persen dari keseluruhan anggaran pembangunan di masing-masing tingkatan pemerintahan. Dengan begitu, ada jaminan yang pasti dan seragam bahwa di seluruh wilayah Republik Taiwan, program pendidikan dijamin dengan dukungan anggaran yang merata. Karena itu, tingkat pertumbuhan dan pemerataan pembangunan rakyat Taiwan luar biasa berhasil, dan ini dapat dijadikan contoh oleh bangsa kita yang sedang menghadapi tantangan dan bahkan ancaman serius memasuki arena persaingan bebas dan makin terbuka di era globalisasi dan perdagangan bebas tahun-tahun ke depan.

Kita tidak usahlah berpayah-payah berusaha memasukkan ketentuan prosentase itu ke dalam agenda amandemen UUD ataupun dalam bentuk UU yang tersendiri. Akan tetapi dalam Peraturan Pemerintah, saya kira tidak perlu ada keraguan. Di Taiwan, yang dirumuskan dalam konstitusi juga hanya sektor pendidikan, tidak yang lain. Pencantuman yang bersifat khusus ini tidak perlu dianggap sebagai sikap ‘tidak adil’ terhadap sektor yang lain. Hal ini semata-mata didasarkan atas pertimbangan bahwa masalah pendidikan itu memang paling utama jika kita sungguh-sungguh memahami hakikat pembangunan nasional sebagai pembangunan kualitas manusia Indonesia yang seutuhnya. Pada akhirnya, terserah kepada kita untuk menganggap agenda investasi sumberdaya manusia itu bersifat prinsipil dan strategis atau tidak
* jimly asshiddiqie