Minggu, 22 November 2009

Pencabutan Kewarganegaraan Paksa oleh Negara dalam Perfektif HAM

A. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Seperti dikemukakan oleh para ahli, sudah menjadi kenyataan yang berlaku umum bahwa untuk berdirinya negara yang merdeka harus dipenuhi sekurang-kurangnya tiga syarat, yaitu adanya wilayah, adanya rakyat yang tetap, dan pemerintahan yang berdaulat. Ketiga syarat ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu sama lain. Tanpa adanya wilayah yang pasti, tidak mungkin suatu negara dapat berdiri, dan begitu pula adalah mustahil untuk menyatakan adanya negara tanpa rakyat yang tetap, serta adanya pemerintahan yag tetap guna menjalankan pemerintahan dan melindungi hak-hak warga negaranya.
Rakyat yang menetap di suatu wilayah tertentu, dalam hubungannya dengan negara disebut warga negara. Warga negara secara sendiri-sendiri merupakan subjek-subjek hukum yang menyandang hak-hak dan sekaligus kewajiban-kewajiban dari dan terhadap negara. Setiap warga negara mempunyai hakhak yang wajib diakui (recognized) oleh negara dan wajib dihormati (respected), dilindungi (protected), dan difasilitasi (facilitated), serta dipenuhi (fulfilled) oleh negara. Sebaliknya, setiap warga negara juga mempunyai kewajiban-kewajiban kepada negara yang merupakan hak-hak negara yang juga wajib diakui (recognized), dihormati (respected), dan ditaati atau ditunaikan (complied) oleh setiap warga negara.
Di zaman modern sekarang, perkembangan dinamika hubungan antarnegara sangat terbuka, maka hubungan antara satu negara dengan dunia internasional tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, dalam setiap wilayah negara akan selalu ada warga negara sendiri dan orang asing atau warga negara asing, yang kesemuanya sama-sama disebut penduduk. Artinya, tidak semua penduduk suatu negara merupakan warga negara, karena mungkin saja dia adalah orang asing. Dengan demikian, penduduk suatu negara dapat dibagi dua yaitu warga negara dan orang asing. Keduanya mempunyai kedudukan yang berbeda dalam berhubungan dengan negara (state). Warga negara (citizens) mempunyai hubungan yang tidak terputus walaupun yang bersangkutan berdomisili di luar negeri, asalkan yang bersangkutan tidak memutus sendiri kewarganegaraannya.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sendiri memberikan perlindungan baik kepada setiap penduduk maupun setiap warga negara Republik Indonesia. Artinya, UUD 1945 juga menjamin perlindungan bagi setiap penduduk tanpa melihat apakah dia warga negara atau orang asing.
Namun karena asas-asas yang berkenaan dengan kewarganegaraan baik asas Ius Soli maupun Ius Sangius dapat menyebabkan terjadinya apatride atau bipatride. Pada umumnya, baik bipatride maupun apatride adalah keadaan yang tidak disukai baik oleh negara di mana orang tersebut berdomisili ataupun bahkan oleh yang bersangkutan sendiri. Keadaan bipatride membawa ketidakpastian dalam status seseorang, sehingga dapat saja merugikan negara tertentu atau pun bagi yang bersangkutan itu sendiri.
Sebaliknya, keadaan apatride juga membawa akibat bahwa orang tersebut tidak akan mendapat perlindungan dari negara mana pun juga. Kedua keadaan itu, yaitu apatride dan bipatride sama-sama pernah dialami oleh Indonesia.
Disebutkan keadaan dipatride maupun apatride adalah keadaan yang tidak disukai oleh negara, sehingga secara konseptual seorang hanya harus memiliki satu kewargnegaraan saja, seandainya jika terjadi seseorang menjadi warga negara Indonesia otomatis ia harus melepaskan kewarganegaraan yang lama, jika diketahui pada kemudian hari orang tersebut memberikan dan menyatakan sesuatu hal palsu atau dipalsukan. Maka kewarganegaraan Indonesia batal demi hukum, namun sementara ia sudah melepaskan kewarganegaraanya. Otomatis ia akan apatride.
Pasal 28 Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia menyatakan bahwa Setiap orang yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan keterangan yang kemudian hari dinyatakan palsu atau dipalsukan, tidak benar, atau terjadi kekeliruan mengenai orangnya oleh instansi yang berwenang, dinyatakan batal kewarganegaraannya.
Dengan demikian negara menjadikan seseorang tidak memiliki kewarganegaraan dengan Instrumen hukum.

Rumusan Masalah
Demi kemampuan penulis perlu pembatasan masalah, yakni sebagi berikut:
1. Apakah penghetian kewarganegaraan secara paksa oleh negara yang mengakibatkan seseorang Apatride melanggar Hak Asasi Manusia?
2. Bagaimana Perlindungan hukum terhadap orang yang mengalami Apatride?

B. LANDASAN TEORI
1. Warga negara, kewarganegaraan dan pewarganegaraan
Undang-Undang No 12 tahun 2006 menyebutkan pada ketentuan umum pasal 1 bahwa:
a. Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
b. Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara.
c. Pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan.

2. Asas kewarganegaraan dalam penentuan kewarganegaraan
Dalam berbagai literatur hukum dan dalam praktik, dikenal adanya tiga asas kewarganegaraan, yaitu asas ius soli, asas ius sanguinis, dan asas campuran. Dari ketiga asas itu, yang dianggap sebagai asas yang utama ialah asas ius soli dan ius sanguinis. Asas ius soli ialah bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan menurut tempat kelahirannya. Untuk mudahnya asas ius soli dapat juga disebut asas daerah kelahiran.
Sedangkan asas ius sanguinis dapat disebut sebagai asas keturunan atau asas darah. Menurut prinsip yang terkandung dalam asas kedua ini, kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh garis keturunan orang yang bersangkutan.sementara asas campuran adalah campuran dari kedua asas yang disebutkan diatas.
3 Kehilangan kewarganegaraan
Di samping itu, seseorang dapat pula kehilangan kewarganegaraan karena 3 (tiga) kemungkinan cara.
a. Renunciation, yaitu tindakan sukarela seseoranguntuk menanggalkan salah satu dari dua atau lebih status kewarganegaraan yang diperolehnya dari dua
b. negara atau lebih. Misalnya, dalam hal terjadi keadaan bipatride, yang bersangkutan dapat menentukan pilihan kewarganegaraan secara sukarela dengan menanggalkan salah satu status kewarganegaraannya (renunciation).
c. Termination, yaitu penghentian status kewarganegaraan sebagai tindakan hukum, karena yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan dari negara lain. Jika seseorang mendapatkan status kewarganegaraan dari negara lain, negara yang bersangkutan dapat memutuskan sebagai tindakan hukum bahwa status kewarganegaraannya dihentikan.
d. Deprivation, yaitu suatu penghentian secara paksa, pencabutan, atau pemecatan dari status kewarganegaraan berdasarkan perintah pejabat yang berwenang karena terbukti adanya kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan dalam cara perolehan status kewarganegaraan atau apabila orang yang bersangkutan terbukti tidak setia atau berkhianat kepada negara dan undang-undang dasar.

C. PEMBAHASAN
1. Pencabutan paksa kewarganegaraan oleh negara dalam presfektif HAM
Berdasarkan konsep hilang kewarganeraan Deprivation, yaitu suatu penghentian secara paksa, pencabutan, atau pemecatan dari status kewarganegaraan berdasarkan perintah pejabat yang berwenang karena terbukti adanya kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan dalam cara perolehan status kewarganegaraan atau apabila orang yang bersangkutan terbukti tidak setia atau berkhianat kepada negara dan undang-undang dasar.
Hilangnya status kewarganegaraan itu bisa saja terjadi karena kelalaian, karena alasan politik, karena alasan teknis yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa yang bersangkutan memang secara sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya sebagai warganegara Indonesia.
Sebab atau alasan hilangnya kewarganegaraan itu hendaknya dijadikan pertimbangan yang penting, apabila yang bersangkutan ingin kembali mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Proses yang harus dilakukan untuk masing-masing alasan tersebut sudah semestinya berbeda-beda satu sama lain. Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar dari kemungkinan menjadi stateless atau tidak berkewarganegaraan.
Tetapi pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara negaranegara modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh karena itu, di samping pengaturan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut, juga diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana, yaitu melalui registrasi biasa.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia memuat pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin didalamnya mencakup mulai dari pengakuan terhdap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya hingga hak-hak kolektif.
Sementara Hak untuk menjadi seorang warga negara adalah salah satu hak yang harus ada pada seorang manusia didalam ranah hukum publik sebagai konsekuensi adanya konsep negara. Ini juga merupakan implimentasi dari hak-hak sosial dan politik.
Indonesia sendiri yang mengakui diri sebagai negara hukum sebagai mana dicantumkan pada undang-undang dasar 1945 pada pasal 1 ayat (3), konsep negara hukum harus kongroen dengan hak asasi manusia. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi.
Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai negara hukum. Jika dalam suatu negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya.
Pasal 28 Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia menyatakan Setiap orang yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan keterangan yang kemudian hari dinyatakan palsu atau dipalsukan, tidak benar, atau terjadi kekeliruan mengenai orangnya oleh instansi yang berwenang, dinyatakan batal kewarganegaraannya.
Jelas pasal ini pada nantinya akan berimplikasi akan menghilang kewarganegaraan seseorang, apabila orang tersebut melakukan pemalsuan syarat-syarat berkenaan dengan kewarganegaraan. Sementara negara tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus.
Sehingga secara norma dan konsep penghentian/pencabutan kewarganegaraan seseorang secara paksa yang mengakibatkan seseorang tersebut apatride adalah pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara. Dimana dan kapanpun hak asasi itu tidak boleh dikurangi apalagi dicederaai meski orang tersebut melakukan suatu pelanggaran.
Ini berarti negara telah melakukan suatu pengamputasian terhadap hak-hak sosial dan politik seseorang dalam bernegara, atau lebih tepatnya perwarganegaraan negara.
2. Perlindungan hukum terhadap orang yang mengalami Apatride
Sebenarnya kondisi apatride maupun bipatride adalah hal yang diusahakan oleh setiap negara agar tidak terjadi pada seorangpun, undang-undang kewarganegaraan dibuat sedemikian untuk menutup kemungkinan kondisi aptride maupun bipatride, namun karena adanya konsep asas pewarganegaraan dan kondisi politik tetap membuka celah terjadinya bipatride maupun apatride.
Khusus apatride implikasi dari kondisi ini adalah orang tersebut tidak akan mendapat perlindungan dari negara mana pun juga baik perlindungan hukum, sipil dan politik.
Dengan demikian kondisi apatride ini merupakan bentuk pengkebirian terhadap hak-hak sipil dan politik seseorang, oleh karena itu perlindungan terhadap mereka multak harus diberikan oleh negara terakhir yang ia miliki maupun dari subjek negara lainnya sebagai bentuk tanggung jawab bersama berkenaan dengan kewarganegaraan.
Bagi mereka, jika ingin tetap berkewarganegaraan Indonesia, dapat mengajukan pernyataan tertulis kepada Pejabat atau Perwakilan RI kecuali berakibat berkewarganegaraan ganda.
Seseorang yang kehilangan kewarganegaraan RI dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya melalui proses pewarganegaraan. Khusus bagi mereka yang kehilangan kewarganegaraan RI akibat perkawinan atau karena tinggal lebih dari 5 tahun secara terus menerus di luar negeri, dapat memperoleh status WNI melalui proses memperoleh kembali kewarganegaraan tersendiri.

PENUTUP
Kesimpulan
Bahwa tindakan pemerintah yang mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan serta mengakibatkan seseorang tidak memiliki kewarganegaraan adalah perbuatan melanggar hak asasi manusia jika dipandang dalam prefpektif HAM. Sekalipun orang tersebut telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum.
Undang-undang kewarganegaraan dibuat sedemikian untuk menutup kemungkinan kondisi aptride maupun bipatride, namun karena adanya konsep asas pewarganegaraan dan kondisi politik tetap membuka celah terjadinya bipatride maupun apatride.
Secara normatif bagi mereka yang kehilangan kewarganegaraan indonesia dan ingin tetap berkewarganegaraan Indonesia, dapat mengajukan pernyataan tertulis kepada Pejabat atau Perwakilan RI kecuali berakibat berkewarganegaraan ganda. Seseorang yang kehilangan kewarganegaraan RI dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya melalui proses pewarganegaraan.

Pengawasan dan Penanganan Kerugian Keuangan Negara

A. MEKANISME PENGAWASAN KEUANGAN NEGARA
Menurut Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, yang dimaksud dengan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Pada hakekatnya, mekanisme pengawasan keuangan negara dapat dibedakan atas dua hal yaitu pengawasan intern dan pengawasan ekstern. Biasanya pengawasan intern meliputi pengawasan supervisi (built in control), pengawasan birokrasi serta pengawasan melalui lembaga-lembaga pengawasan intern. Pada pengawasan supervisi (pengawasan atasan terhadap bawahan) masing-masing pimpinan setiap unit diwajibkan melakukan pengawasan keuangan negara terhadap para bawahan yang menjadi tanggungjawabnya .
Apabila jenis pengawasan yang dilaksanakan adalah pengawasan kinerja maka pengertian efektif jika pelaksanaan pengawasan dapat menilai kinerja entitas yang dikaitkan dengan aspek efisiensi, ekonomis dan efektifitas pencapaian program/kegiatan.
Efisiensi pengawasan mengandung pengertian bahwa pengawasan yang dilakukan telah mempertimbangkan dan menggunakan sumber daya secara hemat tanpa mengurangi tujuan pengawasan. Namun demikian sebagian besar kota/kabupaten belum sepenuhnya memahami tujuan, manfaat, serta mekanisme pelaksanaan pengawasan yang bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Selain itu hasil pengawasan juga belum ditindaklanjuti secara optimal oleh pimpinan obyek yang diperiksa.
Adanya pengawasan yang dilakukan secara bertingkat ini, diharapkan adanya penyimpangan dari kebijakan (ketentuan) yang telah ditetapkan, dapat diketahui sedini mungkin (early warning system). Adapun pengawasan birokrasi yaitu pengawasan melalui sistem dan prosedur administrasi.
Perlu diketahui bahwa negara kita masih menggunakan sistem anggaran garis (line budgeting system) atau disebut sistem anggaran tradisional. Sistem ini hanya menitik beratkan pada segi pelaksanaan dan pengawasan anggaran. Dari segi pelaksanaan yang dipentingkan adalah kesesuaian (compilance) antara besarnya hak dengan obyek pengeluaran dari tiap-tiap Departemen atau lembaga negara .
Sedangkan dari segi pengawasan yang dipentingkan adalah kesahihan (validitas) bukti-bukti transaksi atas pembelanjaan anggaran tersebut. Sistem pembukuan yang berlaku di negara kita masih menggunakan sistem administrasi kas yaitu menerapkan tata buku tunggal (single entry bookkeeping) berdasarkan metode dasar tunai (cash basis).
Oleh karena itu yang langsung dapat diketahui adalah masalah transaksi kas atau penerimaan dan pengeluaran kas saja, sehingga untuk mengetahui prestasi (kinerja) yang dicapai dibalik hasil transaksi kas tersebut diperlukan analisis lebih lanjut. Hal ini untuk mengetahui apakah transaksi kas tersebut telah efisien dan efektif sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Mengingat sangat pentingnya pengawasan terhadap keuangan negara, maka baik pengawasan intern maupun pengawasan ekstern perlu ditingkatkan secara terus menerus. Meskipun telah banyak peraturan (regulasi) yang mengatur tentang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), namun tanpa political will dari Pemerintah untuk secara sungguh-sungguh memberantas praktek KKN, hal tersebut tidak ada artinya.


B. MEKANISNE PENANGANAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merumuskan keuangan negara sebagai seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul. Hak dan kewajiban itu bisa timbul karena dua hal. Pertama, berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Kedua, berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara
Pasal 32 UU 31 tahun 1999 menyebut frasa “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara”. Frasa ini mengandung arti “kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”. Frasa ini jelas menunjuk pada perlunya badan atau akuntan yang berwenang menentukan kerugian negara. Yang dalam hal ini adalah badan pemeriksan keuangan.
Pemeriksaan BPK dilaksanakan sesuai dengan dasar normatif tugas dan wewenang BPK untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dinyatakan bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
Jika hasil pemeriksaannya BPK menyatakan telah terdapat kerugian keuangan negara dalam penggunaan dana keuangan Negara/daerah. Oleh karena itulah BPK harus melaporkannya kepada KPK.
Laporan BPK kepada KPK tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yang menyatakan bahwa apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa BPK telah melaksanakan pemeriksaan sesuai standar pemeriksaan, menuangkan hasilnya dalam bentuk laporan hasil pemeriksaan sesuai standar, dan menyampaikan hasilnya kepada instansi yang berwenang sesuai dengan amanat UU.
Dengan demikian, BPK melakukan prosedur yang benar sesuai dengan ketentuan undang-undang dengan melaporkan temuan yang berindikasi tindak pidana korupsi kepada KPK. Oleh karena itu dugaan miscarriage of justice terhadap penegakan kasus yang mengakibatkan kerugian negara, tidak memiliki implikasi apapun terhadap laporan hasil pemeriksaan BPK dan laporan BPK kepada KPK.
Namun fakta hukum itu bisa menjadi pedoman bagi Hakim untuk menentukan jumlah kerugian keuangan negara yang harus ditangung oleh Terpidana. Bisa saja jumlah kerugian uang negara hanya muncul dalam surat Dakwaan tanpa hasil audit investigasi.
Fakta hukum tersebut menjadi dasar pertimbangan hukum (legal reasoning) bagi Hakim yang berada dalam domain judex facti untuk menentukan amar putusannya.