Kamis, 30 Juli 2009

celaku 12 wa'ai indonesia bahutang pulang*

JAKARTA–Indonesia berutang lagi ke Bank Dunia. Untuk membangun saluran air dan sanitasi di sejumlah kota, Indonesia berutang sebesar 23,56 juta dolar AS.

Dalam siaran pers Bank Dunia, Rabu (29/7), disebutkan utang proyek ini jatuh tempo 24,5 tahun yang akan datang. Adapun masa tenggang selama sembilan tahun.

Tujuan utang adalah meningkatkan akses masyarakat untuk memperoleh air bersih. Sejumlah kota yang dibidik adalah Bogor, Kabupaten Kapuas, dan Kabupaten Muara Enim.

Pemerintah memperbolehkan Bank Dunia bekerja sama dengan Perusahaan Daerah Air Minum setempat untuk pengerjaan proyeknya.

Di Bogor, skema utangnya adalah 85 persen pembiayaan proyek dari Bank Dunia. Sementara di Kapuas dan Muara Enim, 100 persen dibiayai Bank Dunia.

Kucuran utang untuk Bogor sebesar 10.95 juta dolar AS, untuk Kapuas 5,65 juta dolar AS, dan untuk Muara Enim 14.58 juta dolar AS. “Kami bertujuan meningkatkan produksi dan penjualan air, sehingga meningkatkan pendapatan dan membuat PDAM menjadi swasembada secara keuangan,” demikian siaran pers.

Bank Dunia mengklaim, pada akhir proyek, akan ada 62 ribu sambungan air untuk rumah tangga baru diperkirakan terpasang yang akan bermanfaat bagi sekitar 310 ribu orang.

* dari hizbut-tahrir.or.id

beringin disimpang jalan

Suatu pertanyaan besar tengah terpusat terhadap partai golongan karya apakah akan pro pemerintah atau oposisi? Pertanyaan ini jelas tidak akan terjawab dengan waktu yang singkat.

Melihat dari perjalan partai yang berlambangkan beringin yang dikelilingi padi dan kapas. Sejarah mencatat lebih dari tiga dekade terakhir partai ini sealu berada sebagai pemangku pemerintahan. Namun sejarah itu mungkin saja akan terhenti pada periode 2009 terakhir dimana partai yang berlambangkan
Beringin ini pada pemilihan kursi Legeslatif kembali terdegradasi dari puncak kekuasaan legislatif sejak pada tahun 1999 disingkirkan oleh PDI-P dan pada tahun 2009 disingkirkan oleh Partai Demokrat, ditambah calon presiden yang diusung berdasarkan hasil perhitungan cepat juga mengalami kekalahan yang cukup telak.

Menjadi delema besar bagi partai ini, di satu sisi jika mereka memaksakan pro terhadap pemerintah, maka cap sebagai parasit kekuasaan pemerintah tetap melekat pada partai ini, namun disatu sisi jika partai ini bertindak sebagi oposisi akan menjadi bom waktu bagi partai ini sendiri, sebab partai ini diisi oleh para pengusaha (kapitalis) yang sangat tergantung terhadap kekuasaan pemerintah bagi kelangsungan usaha para kapitalis.

Ini
lah yang menjadi pertimbangan mendasar dan utama bagi partai golongan karya (golkar), apakah sanggup beringin besar ini hidup kekurangan air. Sebab jka memilih oposisi, harus siap hidup dilahan kering, rela batang, akar, dan dahannya kekurangan air.

Pertimbangan
politik yang matang merupakan jalan yang harus ditempuh oleh petinggi partai ini sebab kedua pilihan ini memiliki konsekuensi yang sama besarnya. Namun bila jeli melihat sistem pada bangsa ini maka jawaban terhadap pertanyaan diatas akan terjawab, bangsa ini memang secara subtansial sudah menganut sistem kapitalisme walaupun secara malu-malu kucing tidak mengakui.

Kapitalisme
sangat melekat pada dua unsur penguasa dan pengusaha. Kedua unsur ini saling bahu membahu dalam menciptakan system kapitalis, meski system ini sebenarnya sangat rapuh, sangat mudah terpecah dan penghianatan dan konstilasi politik akan sering terjadi.

Maka secara m
atematis partai golkar akan condung pro pemerintah, namun kita perlu mengingat bahwa perikatan itu sendiri terdiri dari dua pihak bukan hanya golkar tetapi jga pihak lain yang disini sudah pasti pro pemerintah yakni demokrat. Pertanyaan yang sebenarnya adalah, apakah partai demokrat mau merapat dengan Golkar?. yang mana Partai Demokrat dengan beberapa partai koalisi besarnya sudah merasa kecewa dengan tindakan praksi golkar pada parlemen yang masih berjalan dinodai dengan setujunya golkar agar DPR-RI meminta hak angket berkenaan dengan carut marutnya daftar pemilih tetap (DPT). Inilah yang membuat beberapa pengurus inti partai politik yang tergabung dalam koalisi besar merasa sangat kecewa dengan golkar.

Sudah terlihat ada beberapa petinggi partai yang tergabung dalam koalisi bersar merasa tidak nyaman dengan tindakan dari partai golkar yang mulai merapat dengan dengan demorkat, sementara disisi lain demokrat juga mulai memberikan angin segar.

Selasa, 14 Juli 2009

hambatan otoda dalam pembangunan daerah

Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang efektif berlaku 1 Januari 2004. Kebijakan tersebut merupakan pelaksanaan dari salah satu tuntutan reformasi yang muncul pada tahun 1998. Kebijakan ini merubah sistem penyelenggaraan pemerintahan dari yang sebelumnya bersifat terpusat menjadi terdesentralisasi meliputi antara lain penyerahan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah (kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, agama, fiskal moneter, dan kewenangan bidang lain) dan perubahan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah maka pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penyediaan pelayanan publik diharapkan akan menjadi lebih sederhana dan cepat karena dapat dilakukan oleh pemerintah daerah terdekat sesuai kewenangan yang ada. Kebijakan ini dibutuhkan untuk menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Sejak dilaksanakannya undang-undang tersebut, masih ditemukan berbagai permasalahan, antara lain: belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, berbedanya persepsi para pelaku pembangunan terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, masih rendahnya kerjasama antar pemerintah daerah, belum terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif dan efisien, masih terbatas dan rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah, masih terbatasnya kapasitas keuangan daerah, dan pembentukan daerah otonom baru (pemekaran wilayah) yang masih belum sesuai dengan tujuannya. Berbagai permasalahan tersebut diperbaiki melalui revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah, yang telah dimulai dengan mengganti kedua undang-undang tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kewenangan daerah masih banyak yang belum didesentralisasikan karena peraturan dan perundangan sektoral yang masih belum disesuaikan dengan undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini mengakibatkan muncul berbagai permasalahan, yaitu antara lain dalam hal kewenangan, pengelolaan APBD, pengelolaan suatu kawasan atau pelayanan tertentu, pengaturan pembagian hasil sumberdaya alam dan pajak, dan lainnya. Selain itu juga menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah, dan antara provinsi dan kabupaten/kota. Hal demikian mengakibatkan berbagai permasalahan dan konflik antar berbagai pihak dalam pelaksanaan suatu peraturan, misalnya tentang pendidikan, tenaga kerja, pekerjaan umum, pertanahan, penanaman modal, serta kehutanan dan pertambangan. 

Belum optimalnya proses desentralisasi dan otonomi daerah yang disebabkan oleh perbedaan persepsi para pelaku pembangunan terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Persepsi yang belum sama antar para pelaku pembangunan baik di jajaran pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para pelaku pembangunan lainnya telah menimbulkan berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini ditandai antara lain dengan lemahnya peran Gubernur dalam koordinasi antar kabupaten/kota di wilayahnya, karena dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa masing-masing daerah berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain. Ini kemudian dipersepsikan bahwa antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota tidak ada hubungan hirarkinya. Seringkali kebijakan, perencanaan, dan hasil-hasil pembangunan maupun penyelenggaraan pemerintahan tidak dikoordinasikan dan dilaporkan kepada Gubernur namun langsung kepada Pemerintah Pusat. Pada sisi lain hubungan hirarki secara langsung antara pemerintah kabupaten/kota dengan Pemerintah Pusat akan memperluas rentang kendali manajemen pemerintahan dan pembangunan. Berbagai hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan pemanfaatan sumber daya. Sehubungan dengan pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, beberapa peraturan perundangan masih belum sejalan antara satu dengan lainnya. Bahkan menimbulkan berbagai penafsiran ketentuan peraturan perundang-undangan dalam mengimplementasikan kewenangan otonomi khusus.

Masih rendahnya kerjasama antar pemerintah daerah. Kerjasama antar pemerintah
daerah masih rendah terutama dalam penyediaan pelayananan masyarakat di wilayah terpencil, perbatasan antar daerah, dan wilayah dengan tingkat urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta pada pengelolaan dan pemanfaatan bersama sungai, sumberdaya air, hutan, tambang dan mineral, serta sumber daya laut yang melintas di beberapa daerah yang berdekatan, dan dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan, pertanian, perkebunan, dan perikanan termasuk pengolahan pasca panen dan distribusi, dan lain-lain.

Belum efektif dan efisiennya penyelenggaraan kelembagaan pemerintah daerah. Struktur organisasi pemerintah daerah umumnya masih besar dan saling tumpang tindih. Selain itu prasarana dan sarana pemerintahan masih minim dan penetapan dan pelaksanaan standar pelayanan minimum belum jelas. Juga dalam hubungan kerja antar lembaga, termasuk antara Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, masyarakat, dan organisasi non pemerintah belum berjalan secara optimal.

Masih terbatasnya dan masih rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah. Hal ini ditunjukkan masih terbatasnya ketersediaan aparatur pemerintah daerah, baik dari segi jumlah dan penempatan, maupun segi profesionalisme, dan terbatasnya kesejahteraan aparat pemerintah daerah, serta tidak proporsionalnya distribusi, menyebabkan tingkat pelayanan publik tidak berjalan optimal, yang ditandai dengan lambatnya kinerja pelayanan, tidak adanya kepastian waktu, tidak berjalannya prinsip transparansi, dan kurang responsif terhadap permasalahan yang berkembang di daerahnya. Selain itu belum terbangunnya sistem dan regulasi yang memadai di dalam perekrutan dan pola karir aparatur pemerintah daerah menyebabkan rendahnya berkualitas SDM aparatur pemerintah daerah. Hal lainnya yang menjadi masalah adalah masih kurangnya etika kepemimpinan di jajaran pemerintahan daerah, baik pada pemerintah provinsi maupun kabupataen/kota.

Masih terbatasnya kapasitas keuangan daerah. Hal ini ditandai dengan terbatasnya penerapan prinsip efektivitas, efisiensi, dan optimalisasi pemanfaatan sumber-sumber penerimaan daerah. Belum efisiennya prioritas alokasi belanja daerah secara proporsional, serta terbatasnya kemampuan pengelolaannya termasuk dalam melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta profesionalisme.

Pembentukan daerah otonom baru (pemekaran wilayah) yang masih belum sesuai dengan tujuannya, yaitu kesejahteraan masyarakat. Ketertinggalan pembangunan suatu wilayah karena rentang kendali pemerintahan yang sangat luas dan kurangnya perhatian pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik, sering menjadi alasan untuk pengusulan pembentukan daerah otonom baru sebagai solusinya. Namun demikian, dalam pelaksanaannya proses pembentukan daerah otonom baru lebih banyak mempertimbangkan aspek politis, kemauan sebagian kecil elite daerah, dan belum mempertimbangkan aspek-aspek lain selain yang disyaratkan melalui peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu, terbentuknya daerah otonom baru setiap tahunnya akan membebani anggaran negara karena meningkatnya belanja daerah untuk keperluan penyusunan kelembagaan dan anggaran rutinnya sehingga pembangunan di daerah otonom lama (induk) dan baru tidak mengalami percepatan pembangunan yang berarti. Pelayanan publik yang semestinya meningkat setelah adanya pembentukan daerah otonom baru (pemekaran wilayah), tidak dirasakan oleh masyarakatnya, bahkan di beberapa daerah kondisinya tetap seperti semula.

pengawasan pemilu dan demokrasi

Sejak bergulirnya pemilu pertama di Indonesia memang sudah ada konsep dan implimentasi dari kegiatan pengawasaan terhadap jalannnya pemilihan umum, namum pada pelaksanaannya pengawasan terutama pada masa orde baru bertindak tidak indefenden karena secara Lembaga Pemilihan Umum (LPU) -kalau sekarang kedudukannya sama dengan Komisi Pemilihan Umum- yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri dan Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemungutan Suara (Panwaslakpus) -sekarang kedudukannya sama dengan Badan Pengawasa Pemilihan Umum- dipimpin oleh Jaksa Agung . 
Apa lagi dalam pelaksanaannya kedudukan, tugas, dan kewenangan tidak dirumuskan secara jelas, terutama apabila terjadinya pelanggaraan terhadap pelaksanaan pemilihan umum. Siapa yang yang berhak melakukan tindakan untuk menegakan aturan pemilihan umum dan kepada siapa pihak-pihak yang terlanggar haknya melakukan laporan.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu indonesia mencantuntumkan dengan jelas kedudukan, fungsi, dan wewenang pengawas pemilui diatur dalam undang-undang no 23 tahun 2002 demi meningkatnya kualitas dari pemilu tahun 2004. Meski dalam pelaksanaannya pemilu tahun 2004 berjalan dengan lancar dan tertib namun tetap saja masih meninggalkan beberapa macam catan besar yang mendasar dalam pemilihan umum yakni berupa pelanggaran pemilu baik curi start kampaye, politik uang, maupun pelangaran lainnya.
Yang anggotannya terdiri dari anggota kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan pers.
Diharapkan dengan adanya Undang-undang no 22 tahun 2007 tentang penyelengaraan pemilu, Undang-undang no 2 tahun 2008 tentang partai politik, Undang-undang no 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan daerah, dan Undang-undang no 24 tahun 2004 tentang Makhkamah Konstitusi. Jalannya pemilu tahun 2009 bisa berjalan dengan baik, lancar, serta terminimalisirnya pelanggaran pemilu

Dalam undang-undang no 22 tahun 2007 pasal 70 ayat (1) Pengawasan penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. 
 Tugas dari pengawas pemilu (Bawaslu) diatur dalam pasal 74 ayat (1) yakni:
1. Mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu. 
2. Menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu; 
3. Menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU untuk ditindaklanjuti; 
4. Meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang; 
5. Menetapkan standar pengawasan tahapan penyelenggaraan Pemilu sebagai pedoman kerja bagi pengawas Pemilu di setiap tingkatan; 
6. Mengawasi pelaksanaan penetapan daerah pemilihan dan jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan berdasarkan peraturan perundang-undangan; 
7. Mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi pengenaan sanksi kepada anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU Provinsi, pegawai sekretariat KPU Provinsi, sekretaris KPU Kabupaten/Kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung; 
8. Mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu; dan  
9. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 
  Sebenarnya yang menjadi masalah sebenarnya adalah bagaimana tugas dan wewenang itu dilaksanakan. Inilah yang harus diatur oleh badan pengawas pemilihan umum (Bawaslu), Pertama, pembagian tugas yang jelas oleh badan pengawas pemilihan umum kepada panitia pengawas provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan dalam melakukan pengawasan terhadap tahapan penyelenggaran pada tingkat nasional, provinsi, kabu[aten/kota, dan kecamatan. Aturan ini sangat penting agar pembantu panitia baik dari tingkat pusat sampai tingkat daerah agar tidak terjadi perebutan kompetensi pelaksanaan tugas dan kewenangan .
  Kedua, memang undang-undang penyelengaraan pemilihan umum no 22 tahun 2007 dan undang-undang no 10 tahun 2008, bisa dikatakan lengkap, namun kalau dilihat secara mendetail maka peran pengawas pemilu hanya berperan pasif saja, dengan tidak adanya kewajiban melakukan investigasi dan tindakan langsung tanpa menunggu laporan masyarakat . 
  Walaupun sudah diatur mengenai panitia pengawas sampai pada pengawas lapangan tapi jumlah personil yang ada saat ini sangat terbatas, di mana satu pengawas bertanggungjawab untuk mengawasi 9 TPS. Dengan keterbatasan ini, pengawasan terhadap tahapan pemilu tidak dapat optimal .
 Ketiga, Yang tidak kalah penting ialah bagaimana sengketa diselesaikan oleh panitia pengawas pemilu yakni dari pangawas pemilu yang kedudukannya paling tinggi (bawaslu) sampai kepaling bawah sesuai dengan kompetensinya. dalam pasal 66 ayat (2) dan (3) Peraturan KPU no. 19 tahun 2008, Yang mana Laporan pelanggaran ketentuan yang bersifat administratif diteruskan kepada KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota, sedangkan laporan pelanggaran ketentuan yang mengandung unsur pidana diteruskan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai tingkatannya. Dan Sengketa Pemilu diselesaikan oleh Bawaslu, Panwas Provinsi, PanwasKabupaten/Kota dan Panwas Kecamatan

Hubungan pengawas pemilihan umum dengan Komisi Pemilihan Umum.
 Akan muncul berbagai macam peyataan, Pertama, Komisi Pemilihan Umum Provinsi kedudukannya lebih tinggi dari pada Panitia Pengawas Pemilihan Umum Provinsi kedudukanan, begitu juga KPU kabupaten/kota juga lebih tinggi dari Panwaslu Kabupaten/Kota atau Panwaslu Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada Panwaslu Provinsi atau KPU kabupaten/kota. Kedua, bahwa KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak dapat diawasi oleh Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota.
1. Panwaslu Daerah bukan bawahan dari KPU Daerah
 Benarkah pendapat atau sikap yang menyatakan bahwa Bawaslu bawahan dari KPU atau Panwaslu daerah adalah bawahan dari KPU daerah? Dalam pasal 70 ayat (1) UU no 22 tahun 2007 tentang penyelengaraan pemilihan umum. Menyatakan bahwa Panitia Pengawas Pemilu adalah Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaeten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Lapangan, Dan Panwaslu Luar Negeri, yang tugasnya melakukan pengawasaan terhadap seluruh proses penyelengaraan. Lalu siapa penyelengaraan pemilu, pasal 1 angka 6 meyatakan bahwa KPU sebagai penyelengara pemilu, sementara penyelanggra pelaksanaan pemilu provinsi, kabupaten/kota adalah KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota (angka 7).
 Lalu bagaimana hubungan antara KPU dengan Bawaslu, serta KPU Provinsi, kabupaten/kota, dengan Panwaslu provinsi, kabupaten/ kota. Pasal 87 ayat (1)Undang-undang no 22 tahun 2007 sudah mengatur hubungan dari belum terbentuknya bawaslu yakni KPU membentuk tim seleksi untuk membentuk bawaslu, serta KPU sendiri yang mengusulkan 15 nama calon Bawaslu (pasal 88 ayat (3) huruf h).
 Disamping itu setelah terbentuknya Bawaslu, hubungan antara Bawaslu dengan KPU harus intensif tetapi ”jangan terlalu dekat”, dalam menyampaikan temuan (pelanggaran yang bersifat administratif) dan melaporan kepada KPU untuk ditindaklanjuti (pasal 74 ayat (1) huruf c). Dan memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran sebagaimana yang dilakukan sanksi kepada anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU Provinsi, pegawai sekretariat KPU Provinsi, sekretaris KPU Kabupaten/Kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung
 Sementara hubungan antara Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota dengan KPU provinsi, KPU kabipaten/kota, pola hubungannya hampi sama dengan antara Bawaslu dengan KPU. Yang jelas bahwa bawaslu dengan KPU maupun Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota dengan KPU provinsi, Kpu kabupaten/kota tidak ada hubungan hirarki (atasan dan bawahan) karena masing-masing supra suktur pemilu ini bekerja dengan terpisah dan mandiri. Sehingga dalam pertanggung jawaban juga sendiri tidak ada pertanggung jawabannya.

2. Bawaslu terpisah dari KPU dan bersifat Mandiri.
  Yang kerap mengemuka adalah peryataan bahwa adalah KPU dari pusat hingga daerah tidak dapat diawasi oleh pengawas pemilu. Peryataan ini agak kontras dengan pernyataan lainnya yang mengatakan bahwa Pengawas Pemilu bertugas mengawasi KPU. Kedua peryataan ini perlu di jernihkan agar tidakmenimbulkan pertanyaan yang berkepanjangaan.
 Untuk menjawab dan menjernihkan peryataan diatas kita perlu kembali kepada UU pemilu berkenaan dengan pada tugas dan kewenangan pada pasal 74. yang mana, Bawaslu (pengawas pemilu secara umum) mengawasi seluruh tahapan penyelenggaraan pemilihan umum.
 Dengan demikian dapat diartikan bahwa setiap pelanggaran peraturan perundang-undangan yang terjadi pada setiap tahapan harus diproses oleh pengawas pemilu, siapa pun yang melakukannya. Baik itu peserta pemilu, warga yang berhak memilih bahkan penyelenggara pemilu sekalipun. Anggota pengawas pemilu pun tidak luput dari ketentuan .
 Memang tidak semua pelanggaran atas peraturan perundang-undangan dapat diselesaikan oleh pengawas pemilu. Misalnya pelanggaran administratif harus diteruskan kepada KPU, sementara kasus pidana harus diteruskan kepada penyidik. Pengawas pemilu berwenang menyelesaikan masalah yang berkenaan dengan penyelenggaraan pemilu.
 Dengan demikian jelaslah bahwa tidak ada satu perundangan dan keputusan KPU manapun yang menyatakan bahawa panwaslu provinsi, panwaslu kabupaten/ kota adalah bawahan dan bertanggung jawab kepada KPU provinsi, KPU kabupaten/ kota. 

Kamis, 02 Juli 2009

Krisis Iran : Diambang Revolusi Baru?

Apa penyebab krisis di Iran yang menyebabkan demonstrasi besar-besaran di kota Teheran?
Krisis ini disebabkan oleh hasil pemilu yang terjadi pada tanggal 12 juni 2009.
Hasil pemilu yang diumumkan pada tanggal 13 Juni 2009 oleh Mendagri Sadiq Mahsouli.
Ia menyatakan bahwa Mahmoud Ahmadinejad telah terpilih kembali dengan 62% suara, sedangkan kandidat reformis Mir Hossein Mousavi hanya mampu meraih 33% suara saja. Mahsouli menambahkan bahwa jumlah pemilih mencapai 85% dengan lebih dari 39 juta dari 46,2 juta pemilih telah melakukan pilihan mereka di TPS. Pemimpin Iran Ayatollah Ali Khameini pun dengan segera mengeluarkan pernyataan bahwa ia mendukung hasil pemliu dan menyerukan kepada publik untuk mendukung pemenangnya.
Uni Eropa dan beberapa negara barat menyuarakan keprihatinan mereka terhadap adanya dugaan kecurangan dalam pemilu tersebut. Beberapa analis dan jurnalis dari media Eropa dan Amerika mengutarakan keraguan terhadap keabsahan hasil pemilu tersebut.
Mousavi mengeluarkan pernyataan,” Saya ingatkan bahwa saya tidak akan menyerah terhadap kepalsuan,” dan dia mendorong para pendukungnya untuk melawan keputusan ini sekaligus mengingatkan untuk tidak melakukan aksi kekerasan. Protes yang mendukung Mousavi dan dugaan kecurangan pun meletus di Tehran.
Pada prinsipnya, dunia Barat dan kandidat dari kalangan reformis partai oposisi menolak hasil pemilu.

Apakah ada tanda-tanda kebenaran dari klaim tersebut?
Beberapa tindakan inkonsistensi telah dilaporkan dan dugaan adanya rekayasa perhitungan suara juga tidak bisa ditepis begitu saja. Di saat yang sama, diamnya tokoh yang jauh lebih berpengaruh seperti Rafsanjani dan Larijani juga merupakan indikasi yang kuat bahwa dugaan kecurangan kurang mendapat dukungan yang luas. Klaim kecurangan juga sulit diverifikasi kalaupun akan diselidiki. Hasil final yang memberikan Ahmadinejad perbedaan marjin sebesar 11 juta kartu suara akan sangat sulit untuk di hitung ulang.
Padahal tanpa penyelidikan akan sulit untuk membuktikan adanya rekayasa penghitungan suara. Namun akan juga sulit bagaimana Ahmadinejad mampu mencuri suara sebesar itu dengan marjin yang sangat besar. Untuk mencapai hasil seperti itu membutuhkan tim yang sangat besar dan ditempatkan pada setiap TPS. Resikonya akan sangat besar karena Ahmadinejad memiliki banyak rival politik yang akan dengan cepat mengambil kesempatan kalau memang ada indikasi kecurangan. Mousavi setelah 5 hari menyampaikan keluhannya kepada dewan Keamanan belum menghasilkan suatu penjelasan bagaimana kecurangan ini bisa terjadi.
Yang membuat tuduhan kaum reformis tentang kecurangan pemilu menjadi lemah adalah fakta bahwa keberadaan Ahmadinejadi dalam konferensi puncak Shanghai Cooperation Organisation (SCO) beberapa hari setelah hasil pemilu diumumkan. Kepergiannya tentu tidak akan terjadi tanpa sepengetahuan pemimpin spiritual tertinggi Ali Khomeini dan tokoh berpengaruh lainnya.
Khutbah Jumat pertama setelah pemilu nampaknya juga akan menghentikan arus demonstrasi dan juga pemilu ulang. Pemimpin spiritual Iran dalam khutbahnya di Universitas Tehran mengkritik Mousavi yang tidak menerima hasil pemilu dan yang juga bertanggungjawab terhadap adanya rentetan demonstrasi. Maka pernyataan Ali Khomeini ini secara tidak langsung merupakan dukungan terhadap hasil pemilu.
Saat ini kandidat dari kaum reformis menyatakan bahwa hasil pemilu ini berlawanan dengan mayoritas warga Iran yang menurut mereka beroposisi terhadap presiden Iran sekarang Mahmoud Ahmadinejad dan kebijakannya. Mereka juga mengatakan bahwa aspirasi ini dicuri oleh diktator yang tidak populer yang terkesan memenangkan pemilu dengan angka yang sangat dramatis.

Seberapa jauh persaingan antara kubu konservatif melawan kubu reformis?
Kaum konservatif mulai berkuasa sejak keberhasilannya mencetuskan revolusi Islam Iran di tahun 1979. Mahmoud Ahmadinejad sendiri dilaporkan sebagai salah satu otak yang mengendalikan terjadinya krisis penyanderaan di kedubes AS sebagai bentuk dukungan terhadap revolusi Iran. Akhirnya, Iran pun mengalami masa isolasi dari masyarakat internasional, yang menyebabkan rendahnya kepercayaan antara Iran dengan dunia Barat. Meninggalnya Ayatollah Rahullah Khomeini menyebabkan beberapa ulama senior Iran menyerukan adanya penghentian isolasi dari dunia internasional dan mendorong adanya perbaikan hubungan dengan Barat. Seruan reformasi ini dipimpin oleh Ali Akbar Hashemi Rafsanjani dan Mohammad Khatami, yang hingga kini merupakan perbedaan mendasar yang menimbulkan perbedaan aliran politik Iran.
Mohammad Khatami mengundurkan diri dari pemilu dan memberikan dukungannya kepada Mousavi untuk memastikan tidak adanya perpecahan suara untuk kubu reformis. Pemilu ini merupakan pertarungan antara kandidat konservatif yang yakin dengan Revolusi Islam dan kaum reformis yang percaya bahwa Iran harus meninggalkan revolusi Islam dan memperbaiki hubungan dengan Barat. Saat ini rezim Iran dan aparatnya dikendalikan oleh kaum konservatif.
Beberapa hari setelah pemilu terjadi berbagai demonstrasi yang menyerukan reformasi. Untuk beberapa waktu ada kesan bahwa Mousavi akan menyerukan gelombang perlawanan di Tehran secara besar-besaran. Namun kemungkinan itu berlalu ketika pasukan keamanan Ahmadinejad yang berkendaraan sepeda motor melakukan intervensi. Pada akhirnya Barat pun menghadapi skenario terburuk: pemimpin anti-liberal yang terpilih secara demokratis.
Media Barat banyak meliput permasalahan pemilu dan melaporkannya sebagai tanda-tanda akan terjadinya revolusi. Meski dua kandidat dalam pemilu ini mewakili dua kubu yang berbeda, garis yang membedakan mereka sebenarnya tidak terlalu jelas karena keduanya mulai bersikap dan mengambil kebijakan pragmatis.
Dalam wawancaranya dengan John Harwood dari CNBC, Barack Obama mengatakan,” Perbedaan antara Ahmadinejad dan Mousavi tentang kebijakan yang akan mereka ambil sebenarnya tidak tidak terlalu berbeda sebagaimana yang selama ini dilaporkan. Apapun hasilnya, kami akan tetap bekerjasama dengan siapapun yang memimpin rezim Iran, yang selama ini memusuhi AS.”
Meski di masa lalu perbedaan antara kaum reformis dan konservatif jelas terlihat, saat ini tidak demikian. Meski pada setiap kubu ada anggota yang saling menyerang, hal ini lebih bersifat personal ketimbang ideologi konservatif ataupun reformis. Kebencian terhadap
Ali Akbar Rafsanjani lebih karena ia melakukan korupsi ketimbang dia sebagai konservatif.
                 
Media Barat melaporkan tanda-tanda akan adanya revolusi baru, apakah demikian?
Peliputan media massa Barat terhadap Iran saat ini terlalu berlebihan dan sangat bias. Ide revolusi ini terucap oleh laporan Barat dengan slogan seperti revolusi seru, generasi ipod, revolusi facebook, revolusi blog, dan revolusi hijau. Pangkal dari laporan Barat semacam ini berakar dari permusuhan mereka terhadap Revolusi Islam dan mendukung para reformis yagn menginginkan kebebasan di Iran yang liberal. Barat selalu mengangkat isu ini dalam interaksinya dengan Iran, dan tidak akan berhenti melakukannya.
Cerita mitos di dunia barat mengatakan bahwa kejatuhan Shah Iran adalah gerakan masyarakat yang menginginkan liberalisasi. Kalau saja kelompok reformis didukung oleh Barat, maka mereka akan menjadi penguasa dan pemerintah. Wartawan asing percaya bahwa mereka yang mendengarkan Beyonce memiliki iPod, memiliki blog, dan tahu bagaimana membuat hal-hal Seru, tentu merupakan penggemar habis liberalisme Barat. Individu semacam ini bisa ditemukan di kalangan profesional di Tehran dan juga pada kelompok mahasiswa.
Banyak diantara mereka yang berbicara bahasa Inggris sehingga bisa dikontak oleh wartawan Barat, diplomat, dan agen intelijen. Merekalah yang bisa dan mau berbicara kepada masyarakat Barat. Dari merekalah Barat memiliki informasi bahwa revolusi sedang terjadi di sana. Namun orang-orang ini tidaklah mayoritas. Kebanyakan warga Iran adalah miskin dan tidak mampu membeli iPod apalagi telpon, dan merekapun senang mendengarkan pidato Ahmadinejad yang anti Barat.
Kandidat yang kalah pemilu ini juga menggunakan data dari survei untuk membuktikan keluhan mereka. Hampir semua survei memprediksi kekalahan Ahmedinijad. Ia memiliki masa pemerintahan yang buruk dan sedikit sekali janji kebijakan politik yang berhasil ia lunasi, seperti tingginya pengangguran dan rusaknya infrastruktur industri energi Iran. Maka tidak heran apabila para pendukung kaum reformis oposisi, baik dari Iran maupun luar Iran, sangat terkejut mendengar kekalahan kaum reformis.
LSM AS Strategic Forecasting, yang bergerak di bidang kegiatan intelijen- melaporkan:” Hasil dari survei menunjukkan bahwa bekas perdana menteri Iran Mir Hossein Mousavi mengalahkan Ahmadinejad. Akan sangat menarik untuk dipelajari bagaimana seseorang bisa melakukan survei di negeri dimana telpon belum umum digunakan. Maka survei kemungkinan dilakukan terhadap orang yang punya telpon dan tinggal di Tehran dan sekitarnya. Untuk daerah seperti itu, Mousavi memang bisa saja menang. Tapi, di luar Tehran, angka survei bisa saja berbeda.”
Abbas Barzegar, yang melaporkan untuk harian The Guardian menceritakan reaksi Barat terhadap hasil pemilu sebagai angan-angan. Katanya, “ Wartawan Barat selama ini melaporkan dari sumber yang berasal dari daerah yang kaya di perkotaan dan tidak memperhitungkan besarnya dukungan terhadap Ahmadinejad di daerah yang miskin dan pedesaan.”
Akan tetapi hubungan Barat dan Iran mulai berubah dan diawali sejak pemerintahan Bush. Iran terus bekerjasama dengan AS dan melindungi kepentingannya. Di Iraq, Tehran terus mendukung pemimpin SCIRI, Ayatollah Hakim dan Brigade Badr yang telah menjadi kunci rencana AS untuk Iraq Selatan. Di Afghanistan, Iran melakukan aktifitas rekonstuksi yang ekstensif dan program pelatihan di Kabul, Herat, dan Kandahar. Sejauh ini Iran masih mencegah rasa malu AS di masing-masing negara. Meski media massa Barat masih menfokuskan kepada ketidakpercayaan antar dua negara ini, Barack Obama merencanakan untuk memulai meladeni hubungan dengan Tehran dalam beberapa minggu ke depan.

Apakah demonstrasi yang terjadi adalah bukti perlawanan terhadap Revolusi Islam atau Islam itu sendiri ?
Banyak sekali warga Iran di tahun 1979 bergerak secara serentak untuk menjatuhkan pemerintahan Shah. Kegagalan ekonomi dan kediktatorannya menjadi faktor pemersatu antara kaum reformis, marxist, sosialis, mahasiswa, profesor, dan kaum anarkis. Namun revolusi Islam tidak membawa perbaikan dalam hal ekonomi. Khomeini memulai proses mengontrol kegiatan masyarakat, mengasingkan, membunuh, dan menahan siapapun yang telah membantunya naik ke panggung kekuasaan. Perang melawan Iraq selama 8 tahun juga menghisap perekonomian Iran dan menciptakan semakin banyak kemiskinan daripada sebelum revolusi.
Ekonomi Iran sejauh ini masih tergantung kepada minyak dan sektor energi lainnya. Iran memiliki cadangan gas terbesar di dunia setelah Rusia dan memiliki cadangan minyak terbesar di dunia setelah Saudi Arabia. Namun infrastruktur energi yang dibangun sejak tahun 1940an mulai rusak, inflasi meninggi, dan pengangguran sulit dikendalikan. Ahmadinejad meraih kekuasaan dengan berjanji memperbaiki semua itu tapi hingga kini belum terjadi. Dia berusaha menyelesaikan masalah dengan program belanja publik yang masif dan mensubsidi minyak dan gas, dimana hal ini tidak bisa dilanjutkan. Di tahun 2007, akibat manajemen yang tidak baik Ahmadinejad melakukan usaha memperbaiki dengan tindakan membagikan bensin, namun hal ini justru menimbulkan kerusuhan.
Demonstrasi yang kini memenuhi laporan media massa Barat mewakili mereka yang ingin berubah akibat kegagalan ekonomi pemerintahan Ahmadinejad. Dia telah gagal dalam melaksanakan janji ekonominya dan menciptakan bom ekonomi yang bisa meledak kapan saja. Kemenangan pemilunya banyak dilihat sebagai kelanjutan kebijakan ekonomi yang gagal. Ahmadinejad tidak melakukan apapun untuk 3 juta penganggur. Meskipun isu pemilu menjadi katalis aksi demonstrasi, isu pemilu sendiri juga meliputi isu ekonomi dan pengangguran. Media Barat akan terus mengekspos para demonstran sebagai kaum yang mewakili sentimen publik Iran, dan mereka gagal melihat bahwa permasalahan ekonomi yang menghantui negeri itu, atau bahkan gagal melihat bahwa para demostransi adalah sekedar para pendukung kandidat yang kalah pemilu secara telak.



Analisis : Implikasi Kemenangan Ahmadinejad

Walaupun gelombang demonstrasi terus meningkat di jalan-jalan Iran untuk memprotes kemenangan Ahmadinejad dalam pemilu; meskipun media meneriakannya secara besar-besaran dalam memprovokasi agar menentang terpilihnya kembali Ahmadinejad dan menuntut pemilihan ulang, tetapi kepentingan Amerika terletak pada berlanjutnya kepemimpinan Iran yang sekarang untuk tetap memegang kendali kekuasaan Iran. 
Kekisruhan dan kekacauan yang teru-menerus dihembuskan oleh media untuk melawan Ahmadinejad dan Khamenei, sumbernya adalah Eropa, bukan Amerika. Sarkozy menuduh kepemimpinan Iran melakukan penipuan dan kekerasan terhadap para demonstran. Sedangkan, Obama berkata: “Kami tidak di lapangan, kami tidak memiliki pengamat yang ada di sana, sehingga saya tidak dapat berkata dengan pasti apa yang terjadi, khususnya dalam hal pemilihan”. 
Media-media Eropa dan Inggris khususnya, dengan sangat jelas melakukan provokasi agar melawan terhadap kepemimpinan Iran, sementara media-media Amerika berusaha mengurangi gelombang permusuhan ini. 
Sesungguhnya perbedaan antara sikap Eropa dan Amerika terhadap hasil pemilu ini menunjukkan bahwa Eropa ingin menggunakan kesempatan apapun untuk menyerang rezim Iran sekarang, sementara Amerika ingin mempertahankan rezim ini dengan semua kekuatan yang dimilikinya. 
Jikalau kita amati sikap-sikap praktis Iran akhir-akhir ini terkait dengan politik luar negeri, niscaya kita akan temukan sikapnya identik dan membantu agenda Amerika Serikat. Sehingga hal tersebut menjelaskan arah kebijakan Amerika yang sesungguhnya, yang mendukung kepemimpinan Iran. 
Khusus terkait masalah Palestina, Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad berkata: “Sesungguhnya Iran mendukung solusi dua-negara jika itu disetujui oleh warga Palestina sendiri melalui sebuah referendum”. (koran al-Quds, 27/4/2009). Dan sikap seperti ini sama persis dengan sikap Amerika. 
Sedangkang, khusus masalah Afghanistan dan Pakistan, maka Ahmadinejad berkata kepada Zardari dan Karzai, keduanya adalah presiden Pakistan dan Afghanistan: “Teman kalian adalah teman kami, sebaliknya musuh kalian adalah musuh kami”. Sementara kita semua tahu bahwa Amerika adalah teman Zardari dan Karzai, bahkan kita semua tahu bahwa kedua orang ini adalah antek setia Amerika. Sehingga dengan ini Ahmadinejad mengakui persahabatan Iran, khususnya persahabatannya dengan Amerika. 
Dan yang mempertegas hal itu adalah apa yang dilakukan Iran di lapangan. Kepala polisi Iran, Jenderal Ismail Ahmadi Muqaddam berkata: “Kami telah menyatakan kesiapan kami untuk melatih polisi Afghanista”. Dan ia menyatakan bahwa “pertama kalinya duta besar Iran mengunjungi NATO sejak pembentukan Republik Islam”. Dan ia menjelaskan bahwa: “orang-orang Iran sangat memperhatikan terhadap kemungkinan kerjasama di Afghanistan”. 
Apakah setelah semua ini, yaitu kerjasama Iran dengan Amerika Serikat dan NATO, serta melatih polisi Afghanistan, yang tidak lain adalah antek yang setia membantu Amerika memerangi para mujahidin. Apakah setelah semua ini, masih ada orang yang meragukan dan mempertanyakan kebenaran kerjasama Iran, Ahmadinejad dan Khamenei dengan Amerika?! 
Adapun, slogan-slogan permusuhan yang disuarakan dengan keras dan lantang oleh rezim Iran terhadap Amerika, maka semua itu hanya dipakai untuk mencari popularitas, tidak lebih dari itu!! 
(Ahmad al-Khuthwani; Sumber: al-Aqsa.org, 18/06/2009)