Kamis, 17 September 2009

nasib pendidikan di daerah*

Sekarang kita memasuki era otonomi daerah yang sangat luas. Memang masih belum terlaksana dengan baik, tetapi agendanya sudah jelas dan pasti. Untuk mendukung pelaksanaannya teman-teman di kantor Menneg Otoda sedang sibuk menyiapkan perangkat peraturan pelaksanaannya. Salah satunya yang penting adalah berkenaan dengan anggaran pembangunan di daerah yang nantinya akan diatur menurut sistem ‘block grant’ yang secara leluasa dapat dipakai oleh pemerintah daerah membangun daerahnya. Misalnya, berapa anggaran untuk pembangunan sektor A, dan berapa untuk sektor B, tergantung kepada anggota DPRD dan Pemerintah Daerah untuk mengaturnya.

Karena itu, nantinya, mengenai alokasi anggaran mana yang penting dan mana yang tidak penting akan terserah sepenuhnya kepada para pejabat dan para politisi kita di daerah-daerah itu untuk mengaturnya sendiri. Tetapi yang menjadi masalah kita adalah bahwa kita tidak tahu arah kecenderungan sikap dan apresiasi mereka itu mengenai pentingnya pendidikan. Kalaupun secara kognitif tahu bahwa pendidikan itu penting, ada kekhawatiran bahwa tuntutan-tuntutan mendesak mengenai berbagai sektor yang bersifat fisik dan proyek-proyek yang menyangkut kepentingan jangka pendek jauh lebih menarik dan akan menyita perhatian lebih banyak di kalangan para politisi ‘dadakan’ yang berkuasa di daerah-daerah dewasa ini.

Jika nantinya, otonomi daerah dijalankan dengan konsekwen dengan didukung oleh kemampuan anggaran yang tentu akan berkurang karena sebagian pendapatan nasional diserahkan menjadi pendapatan daerah, maka anggaran pembangunan nasional di sektor pendidikan yang akan dibagikan berdasarkan ‘block grant’ itu ditambah dengan anggaran pembangunan daerah sendiri di sektor ini, belum tentu akan lebih besar daripada jumlah anggaran pembangunan pendidikan yang ada sekarang. Karena itu, perlu dipikirkan sungguh-sungguh bahwa sektor pembangunan pendidikan di daerah-daerah di era otonomi daerah ini tidak menjadi terbengkalai.

Soalnya, bangsa kita telah mencanangkan pelaksanaan program ‘wajib belajar’ dalam pengertian ‘universal education’ 9 tahun. Hal ini tentu saja harus didukung oleh anggaran pemerintah secara memadai. Pendidikan dasar yang mencakup pendidikan tingkat SD dan tingkat SLTP mau tidak mau harus dijamin oleh pemerintah. Meskipun kita menganut kebijakan ‘civil society’ yang mengutamakan prinsip pemberdayaan masyarakat, sukses tidaknya pelaksanaan agenda pendidikan dasar 9 tahun itu tidak bisa diserahkan bulat-bulat kepada masyarakat. Pemerintah harus dipahami wajib menyediakan anggaran yang cukup untuk itu sesuai dengan prinsip ‘negara pengurus’ (welfare state) yang menjadi latar belakang pemikiran ketika para pendiri bangsa kita merumuskan UUD 1945.

Kepada Affan Gafar yang dipercaya Ryas Rasyid menjadi salah seorang Deputi andalannya, saya bertanya mengenai kemungkinan dicantumkannya pedoman yang bersifat ‘imperative’ agar anggaran sektor pendidikan itu dijamin berdasarkan prosentase tertentu. Tetapi, menurut Affan, pedoman yang bersifat ‘imperative’ seperti itu dapat dinilai bertentangan dengan semangat otonomi daerah. Tetapi masalahnya, jika tidak ada aturan yang bersifat ‘imperative’ ataupun sekurang-kurangnya aturan yang bersifat panduan semacam itu, ada kemungkinan bahwa pendidikan kita di daerah-daerah, terutama pelaksanaan pendidikan dasar bisa benar-benar terabaikan.

Bagaimana mengharapkan apresiasi mengenai pentingnya pendidikan dari para anggota DPRD yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang memadai? Begitu pula dengan para pejabat di daerah-daerah yang tiba-tiba harus menghadapi ulang dan tingkah para politisi kita yang cenderung mabuk demokrasi di daerah-daerah. Bahkan kekuasaan partai-partai politik di daerah bisa menentukan bermacam-macam agenda yang belum tentu ‘klop’ dan menunjang upaya nasional bangsa kita untuk mengunggulkan agenda pengembangan kualitas sumberdaya manusia.

Sebenarnya, jika kita mau bisa saja ketentuan semacam itu dimuat dalam Peraturan Pemerintah yang akan mengatur mengenai pelaksanaan prinsip perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Bahkan jika kita mau mencontoh negara yang secara ekstrim sangat mengutamakan pendidikan, kita dapat belajar dari Taiwan yang bahkan menentukan porsi anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan itu dalam konstitusinya. Dalam konstitusi kaum Cina Taiwan ini dimuat ketentuan bahwa anggaran pembangunan pendidikan di tingkat pusat sebesar 15 persen dari total anggaran, di tingkat propinsi sebesar 25 persen, dan di tingkat kabupaten sebesar 35 persen dari keseluruhan anggaran pembangunan di masing-masing tingkatan pemerintahan. Dengan begitu, ada jaminan yang pasti dan seragam bahwa di seluruh wilayah Republik Taiwan, program pendidikan dijamin dengan dukungan anggaran yang merata. Karena itu, tingkat pertumbuhan dan pemerataan pembangunan rakyat Taiwan luar biasa berhasil, dan ini dapat dijadikan contoh oleh bangsa kita yang sedang menghadapi tantangan dan bahkan ancaman serius memasuki arena persaingan bebas dan makin terbuka di era globalisasi dan perdagangan bebas tahun-tahun ke depan.

Kita tidak usahlah berpayah-payah berusaha memasukkan ketentuan prosentase itu ke dalam agenda amandemen UUD ataupun dalam bentuk UU yang tersendiri. Akan tetapi dalam Peraturan Pemerintah, saya kira tidak perlu ada keraguan. Di Taiwan, yang dirumuskan dalam konstitusi juga hanya sektor pendidikan, tidak yang lain. Pencantuman yang bersifat khusus ini tidak perlu dianggap sebagai sikap ‘tidak adil’ terhadap sektor yang lain. Hal ini semata-mata didasarkan atas pertimbangan bahwa masalah pendidikan itu memang paling utama jika kita sungguh-sungguh memahami hakikat pembangunan nasional sebagai pembangunan kualitas manusia Indonesia yang seutuhnya. Pada akhirnya, terserah kepada kita untuk menganggap agenda investasi sumberdaya manusia itu bersifat prinsipil dan strategis atau tidak
* jimly asshiddiqie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar