Kamis, 17 September 2009

Dampak otonomi daerah pada pendidikan

Salah satu tuntutan masyarakat untuk mereformasi tatanan kenegaraan adalah otonomi daerah. Tuntutan ini menjadi urgen dan mendesak ketika sebagian anak bangsa sudah mulai tercerahkan dan sadar setelah ‘dikibuli’ rezim orde baru yang menerapkan pemerintahan sentralistik-diskriminatif. Selama lebih tiga dasa warsa masyarakat dipangkas hak-haknya, bahkan nilai-nilai kemanusiaan-pun harus diseragamkan sedemikian rupa dengan dalih 'persatuan dan kesatuan'. Pasca pemerintahan orde baru, pemerintah mulai berusaha mengakomodasi tuntutan tersebut yang kemudian dikristalisasikan dalam UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, dan UU No.25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Sesuai dengan pasal 11 ayat (2) terdapat sebelas bidang yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota, yaitu; pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, pertambangan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi dan tenaga kerja. Dalam tataran konsep, otonomisasi terhadap sebelas bidang tersebut dirasa cukup bagus dan dapat memenuhi tuntutan masyarakat, tetapi langkah operasionalisasinya akan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru perlu dipertimbangkan lebih mendalam. Dalam kaitan ini, ada satu bidang yang cukup menarik untuk dikaji adalah otonomi di bidang pendidikan.
Dengan menyimak isi UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang pereimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah, dapat disimpulkan bahwa fokus pelaksanaan otonomi daerah adalah di daerah kabupaten dan daerah kota. Untuk itu sebagaian besar sumber pembiayaan nasional akan dilimpahkan lebih banyak ke daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan perekonomian daerah yang berbeda-beda, sementara kewenangan pemerintah terbatas dengan dukungan sumber pembiayaan yang terbatas pula. Sebagai konsekwensinya, maka berdasarkan pasal 7 ayat (2), Pemerintah, dalam hal ini Departemen pendidikan Nasional, hanya menetapkan kebijakan perencanaan dan pembangunan nasional secara makro, standarisasi, kontrol kualitas di bidang pendidikan termasuk kebudayaan yang bersifat nasional. Dengan demikian, dari segi kewenangan maupun sumber pembiayaan di bidang pendidikan dan kebudayaan, Daerah kabupaten dan daerah kota akan memegang peranan penting terutama dalam pelaksanaannya.
Sebagai dampak otonomisasi di atas, terdapat beberapa permasalahan yang perlu dipertimbangkan lebih mendalam, yaitu yang terkait dengan; kepentingan nasional, mutu pendidikan, efesiensi pengelolaan, pemerataan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas.
Pertama, Dalam skala nasional pemerintah mempunyai beberapa kepentingan antara lain sejalan dengan isu wajib belajar (Wajar) dan sebagai upaya mewujudkan salah satu tujuan nasional "mencerdaskan kehidupan bangsa" (Pembukaan UUD 1945), demikian juga seperti yang tertuanmg dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945 tentang hak mendapatkan pengajaran. Persoalannya, bagaimana melalui otonomi daerah, yang besarnya potensi dan sumber pembiayaan berbeda, dapat menjamin agar tiap-tiap negara memperoleh hak pengajaran. atau bagaimana dengan otonomi daerah tersebut dapat menjamin bahwa Wajib Belajar pendidikan dasar sembilan tahun dapat dituntaskan di semua daerah kabupaten/kota dalam waktu yang relatif sama. Isu lainnya adalah pembentukan "national character building", bahwa otonomi daerah dilaksanakan dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, yang diharapkan warga negara tetap mengetahui hak dan kewajibannya serta memiliki juwa patriotisme, religius, cinta tanah air, dan seterusnya. Persoalannya, bagaimana pendidikan dapat mengamankan program pendidikan dengan memberikan peluang kreatifitas dalam keragaman daerah, tetapi semuanya mengarah secara sentripetal ke kepentingan nasional melalui muatan yang sama dalam upaya ke arah pembentukan "national character building" tersebut.
Kedua, peningkatan mutu. Bahwa salah satu dasar pemikiran yang melandasi lahirnya undang-undang pemerintah daerah 1999 adalah untuk menghadapi tantangan persaingan global. dengan demikian mutu pendidikan diharapkan tidak hanya memenuhi standar nasional tetapi juga perlu memenuhi standar internasional. Persoalannya, bahwa otonomi pendidikan sepenuhnya dilakukan oleh Daerah Kabupaten/Kota yang kualitas sumberdaya, prasarana, dan kemampuan pembiayaannya bisa sangat berbeda, dalam konteks ini pendidikan di satu sisi berhasil meningkatkan aspirasi pendidikan masyarakat, namun di sisi lain mutu pendidikan merosot karena sumber dana untuk mendukungnya terbatas.
Ketiga, efesiensi pengelolaan. bahwa otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efesiensi pengelolaan dan efesiensi dalam pengalokasian anggaran. Hal ini bisa terjadi sebaliknya. pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa dengan otonomi daerah biaya operasional pendidikan justru meningkat, hal ini disebabkan antara lain karena bertambahnya struktur organisasi daerah sehingga memerlukan personil yang lebih besar, terlebih lagi jika ditambah dengan kualitas personil yang tidak profesional. Indonesia yang selama 32 tahun menganut sistem pengelolaan yang sangat sentralistik akan mempunyai problem efesiensi pengelolaan seperti tersebut di atas.
Keempat, pemerataan. Pelaksanaan otonomi pendidikan diharapkan dapat meningkatkan aspirasi masyarakat yang diperkirakan juga akan meningkatnya pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan. tetapi ini akan dibayar mahal dengan semakin tingginya jarak antar daerah dalam pemerataan akan fasilitas pendidikan yang akhirnya akan mendorong meningkatnya kepincangan dalam mutu hasil pendidikan. tanpa intervensi pengelolaan, anggota masyarakat dari daerah kabupaten/kota yang kaya dengan jumlah penduduk sedikit akan dapat menikmati fasilitas pendidikan yang jauh lebih baik dari anggota masyarakat dari daerah yang miskin. Dan apabila kesempatan pendidikan ini juga mempengaruhi kesempatan untuk memperoleh penghasilan, maka dalam jangka panjang akan berpotensi meningkatnya jurang kesenjangan ekonomi antar daerah.
Kelima, peranserta masyarakat. Bahwa salah satru tujuan UU Pemerintah Daerah adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peranserta masyarakat, dan seterusnya. Peranserta masyarakat dalam pendidikan dapat berupa perorangan, kelompok atau lembaga industri. Dalam kerangka otonomi daerah, kecenderungan peranserta tersebut menjadi terbatas pada lingkup daerah kabupaten/kota yang bersangkutan, dengan demikian pada masyarakat yang kaya, penyelenggaraan pendidikan di daerah didukung selain dari peranserta orang tua juga oleh masyarakat sehingga memperoleh sumber dana yang relatif baik, dan sebaliknya untuk daerah yang miskin. sebab itu tanpa intervensi kebijakan nasional yang dapat menerapkan subsidi silang, peranserta masyarakat dalam sistem desentralisasi akan dapat menjurus memperlebar jurang ketimpangan pemerataan fasilitas pendidikan, yang akhirnya juga akan memperlebar jurang kesenjangan ekonomi antar daerah.
Keenam, akuntabilitas. Bahwa melalui otonomi pengambilan keputusan yang menyangkut pelaksanaan layanan jasa pendidikan akan semakin mendekati masyarakat yang dilayaninya (klien) sehingga akuntabilitas layanan tersebut bergeser dari yang lebih berorientasi kepada kepentingan pemerintah pusat kepada akuntabilitas yang lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Ini menuntut lebih besar partisipasi masyarakat dan orang tua dalam pengambilan keputusan tentang pelaksanaan pendidikan di daerah.
Keenam permasalahan tersebut perlu dipertimbangkan lebih mendalam. Paling tidak, sebelum benar-benar otonomisasi itu dijalankan dan sebelas bidang di atas diserahkan sepenuhnya pada daerah, maka perlu dilakukan pengkondisian lebih dulu dengan memperhatikan sumber dana dan sumber daya yang dimiliki masing-masing daerah. Setelah dianggap mampu menjalankan otonomi, maka kebijakan tersebut dapat diberlakukan sepenuhnya.
Bagi lembaga-lembaga pendidikan agama, otonomisasi di atas, tidak memberi imbas yang terlalu jauh, karena kebanyakan dari lembaga-lembaga pendidikan agama tersebut adalah berstatus swasta yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri, sehingga eksistensi lembaga itu tetap akan dapat dipertahankan, bahkan lembaga ini akan cepat berkembang pesat karena potensi yang dimiliki masyarakat akan lebih banyak diarahkan ke lembaga ini. berbeda dengan sekolah-sekolah negeri yang tingkat ketergantungannya sangat tinggi kepada pemerintah sehingga lembaga inilah yang sebenarnya perlu diwaspadai eksistensinya ketika diberlakukan otomisasi tersebut.
Demikianlah, jika otonomisasi ini benar-benar dapat diwujudkan dan tiap-tiap daerah dapat menjalankan kebijakan tersebut, maka akan memberikan arti positif bagi pengembangan lembaga pendidikan, karena dengan diberikannya kewenangan dan tanggung jawab untuk mengurusnya, dimungkinkan akan tumbuh kreatifitas, sikap kompetitif, sikap kemandirian yang tinggi, dan seterusnya. Disampng itu lembaga bersangkutan akan lebih berhati-hati dan profesional dalam penyelenggaraanya karena mereka langsung diawasi oleh masyarakat

1 komentar: