Selasa, 14 Juli 2009

hambatan otoda dalam pembangunan daerah

Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang efektif berlaku 1 Januari 2004. Kebijakan tersebut merupakan pelaksanaan dari salah satu tuntutan reformasi yang muncul pada tahun 1998. Kebijakan ini merubah sistem penyelenggaraan pemerintahan dari yang sebelumnya bersifat terpusat menjadi terdesentralisasi meliputi antara lain penyerahan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah (kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, agama, fiskal moneter, dan kewenangan bidang lain) dan perubahan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah maka pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penyediaan pelayanan publik diharapkan akan menjadi lebih sederhana dan cepat karena dapat dilakukan oleh pemerintah daerah terdekat sesuai kewenangan yang ada. Kebijakan ini dibutuhkan untuk menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Sejak dilaksanakannya undang-undang tersebut, masih ditemukan berbagai permasalahan, antara lain: belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, berbedanya persepsi para pelaku pembangunan terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, masih rendahnya kerjasama antar pemerintah daerah, belum terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif dan efisien, masih terbatas dan rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah, masih terbatasnya kapasitas keuangan daerah, dan pembentukan daerah otonom baru (pemekaran wilayah) yang masih belum sesuai dengan tujuannya. Berbagai permasalahan tersebut diperbaiki melalui revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah, yang telah dimulai dengan mengganti kedua undang-undang tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kewenangan daerah masih banyak yang belum didesentralisasikan karena peraturan dan perundangan sektoral yang masih belum disesuaikan dengan undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini mengakibatkan muncul berbagai permasalahan, yaitu antara lain dalam hal kewenangan, pengelolaan APBD, pengelolaan suatu kawasan atau pelayanan tertentu, pengaturan pembagian hasil sumberdaya alam dan pajak, dan lainnya. Selain itu juga menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah, dan antara provinsi dan kabupaten/kota. Hal demikian mengakibatkan berbagai permasalahan dan konflik antar berbagai pihak dalam pelaksanaan suatu peraturan, misalnya tentang pendidikan, tenaga kerja, pekerjaan umum, pertanahan, penanaman modal, serta kehutanan dan pertambangan. 

Belum optimalnya proses desentralisasi dan otonomi daerah yang disebabkan oleh perbedaan persepsi para pelaku pembangunan terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Persepsi yang belum sama antar para pelaku pembangunan baik di jajaran pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para pelaku pembangunan lainnya telah menimbulkan berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini ditandai antara lain dengan lemahnya peran Gubernur dalam koordinasi antar kabupaten/kota di wilayahnya, karena dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa masing-masing daerah berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain. Ini kemudian dipersepsikan bahwa antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota tidak ada hubungan hirarkinya. Seringkali kebijakan, perencanaan, dan hasil-hasil pembangunan maupun penyelenggaraan pemerintahan tidak dikoordinasikan dan dilaporkan kepada Gubernur namun langsung kepada Pemerintah Pusat. Pada sisi lain hubungan hirarki secara langsung antara pemerintah kabupaten/kota dengan Pemerintah Pusat akan memperluas rentang kendali manajemen pemerintahan dan pembangunan. Berbagai hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan pemanfaatan sumber daya. Sehubungan dengan pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, beberapa peraturan perundangan masih belum sejalan antara satu dengan lainnya. Bahkan menimbulkan berbagai penafsiran ketentuan peraturan perundang-undangan dalam mengimplementasikan kewenangan otonomi khusus.

Masih rendahnya kerjasama antar pemerintah daerah. Kerjasama antar pemerintah
daerah masih rendah terutama dalam penyediaan pelayananan masyarakat di wilayah terpencil, perbatasan antar daerah, dan wilayah dengan tingkat urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta pada pengelolaan dan pemanfaatan bersama sungai, sumberdaya air, hutan, tambang dan mineral, serta sumber daya laut yang melintas di beberapa daerah yang berdekatan, dan dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan, pertanian, perkebunan, dan perikanan termasuk pengolahan pasca panen dan distribusi, dan lain-lain.

Belum efektif dan efisiennya penyelenggaraan kelembagaan pemerintah daerah. Struktur organisasi pemerintah daerah umumnya masih besar dan saling tumpang tindih. Selain itu prasarana dan sarana pemerintahan masih minim dan penetapan dan pelaksanaan standar pelayanan minimum belum jelas. Juga dalam hubungan kerja antar lembaga, termasuk antara Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, masyarakat, dan organisasi non pemerintah belum berjalan secara optimal.

Masih terbatasnya dan masih rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah. Hal ini ditunjukkan masih terbatasnya ketersediaan aparatur pemerintah daerah, baik dari segi jumlah dan penempatan, maupun segi profesionalisme, dan terbatasnya kesejahteraan aparat pemerintah daerah, serta tidak proporsionalnya distribusi, menyebabkan tingkat pelayanan publik tidak berjalan optimal, yang ditandai dengan lambatnya kinerja pelayanan, tidak adanya kepastian waktu, tidak berjalannya prinsip transparansi, dan kurang responsif terhadap permasalahan yang berkembang di daerahnya. Selain itu belum terbangunnya sistem dan regulasi yang memadai di dalam perekrutan dan pola karir aparatur pemerintah daerah menyebabkan rendahnya berkualitas SDM aparatur pemerintah daerah. Hal lainnya yang menjadi masalah adalah masih kurangnya etika kepemimpinan di jajaran pemerintahan daerah, baik pada pemerintah provinsi maupun kabupataen/kota.

Masih terbatasnya kapasitas keuangan daerah. Hal ini ditandai dengan terbatasnya penerapan prinsip efektivitas, efisiensi, dan optimalisasi pemanfaatan sumber-sumber penerimaan daerah. Belum efisiennya prioritas alokasi belanja daerah secara proporsional, serta terbatasnya kemampuan pengelolaannya termasuk dalam melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta profesionalisme.

Pembentukan daerah otonom baru (pemekaran wilayah) yang masih belum sesuai dengan tujuannya, yaitu kesejahteraan masyarakat. Ketertinggalan pembangunan suatu wilayah karena rentang kendali pemerintahan yang sangat luas dan kurangnya perhatian pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik, sering menjadi alasan untuk pengusulan pembentukan daerah otonom baru sebagai solusinya. Namun demikian, dalam pelaksanaannya proses pembentukan daerah otonom baru lebih banyak mempertimbangkan aspek politis, kemauan sebagian kecil elite daerah, dan belum mempertimbangkan aspek-aspek lain selain yang disyaratkan melalui peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu, terbentuknya daerah otonom baru setiap tahunnya akan membebani anggaran negara karena meningkatnya belanja daerah untuk keperluan penyusunan kelembagaan dan anggaran rutinnya sehingga pembangunan di daerah otonom lama (induk) dan baru tidak mengalami percepatan pembangunan yang berarti. Pelayanan publik yang semestinya meningkat setelah adanya pembentukan daerah otonom baru (pemekaran wilayah), tidak dirasakan oleh masyarakatnya, bahkan di beberapa daerah kondisinya tetap seperti semula.

1 komentar: