Jumat, 27 Februari 2009

golput

Fenomena golongan putih (golput) pada Pemilu 2009 diperkirakan akan meningkat secara tajam. Fenomena ini sangat dimungkinkan terjadi sebagai akibat dari tidak adanya penyempurnaan sistem politik dan perbaikan perilaku atau kultur para politisi, baik yang berada di parlemen maupun di di luar parlemen.

“Jika tidak ada upaya perbaikan terhadap sistem dan perilaku politisi, tidak tertutup kemungkinan angka golput berada pada level 40 hingga 60 persen. Ini sebuah tamparan yang cukup kuat sekaligus kritikan keras terhadap para elit parpol,” kata pengamat politik dari Universitas Paramadina, Bima Arya Sugiarto, di Jakarta, Rabu (25/2).

Kondisi ini, lanjutnya, merupakan cerminan kondisi masyarakat yang apatis terhadap hasil pemilu yang menurut persepsi mereka tak mampu membawa perubahan, sekaligus menunjukkan semakin rendahnya legitimasi wakil rakyat maupun pemimpin yang terpilih.

Dijelaskan Bima, dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, jumlah golput terus menunjukkan peningkatan. Data Pemilu 1999 misalnya, menunjukkan para pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya sebanyak 7,88 juta orang atau 6,7 persen dari jumlah orang yang terdaftar sebagai pemilih. Pemilu 2004 naik menjadi 23,53 juta orang atau 15,9 persen dari jumlah orang yang berhak memilih.

Bima lantas mengutip hasil survei awal 2009 dari Indo Barometer tentang pengetahuan dan harapan masyarakat terhadap Pemilu 2009 dengan 1.200 responden di 33 provinsi, yang menunjukkan sebanyak 18,3 persen responden merasa tidak terdaftar dan 14,5 persen lainnya tidak menjawab atau menjawab tidak tahu. Hanya 67,2 persen responden yang menjawab ya, saat ditanya apakah mereka sudah merasa terdaftar sebagai pemilih pada Pemilu 2009.

“Jika jumlah pemilih pada Pemilu 2009 diproyeksikan mencapai 172 juta orang, maka hasil survei Indo Barometer itu menunjukkan bahwa mereka yang merasa terdaftar hanya sebanyak 115,58 juta orang, yang tidak merasa terdaftar 31,48 juta orang, dan yang tidak tahu atau tidak menjawab 24,94 juta orang,” ujarnya.

Pengamat politik itu juga menjelaskan tiga alasan masyarakat memilih golput. Pertama, alasan administratif atau kekacauan dalam pencatatan data pemilih sehingga nama mereka tidak tercatat. Kedua, alasan pragmatis, yakni berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara (TPS), antara lain karena sakit atau lebih memilih melakukan hal lain seperti mencari nafkah.

Yang ketiga adalah alasan ideologis, yakni tidak percaya lagi bahwa pemilu akan membawa pengaruh perubahan dan perbaikan. Pada umumnya, mereka sudah bersikap apatis dan tidak percaya lagi terhadap parpol maupun kadernya yang menjadi calon anggota legislatif (caleg).

“Golput dengan alasan ideologis inilah yang sangat sulit dibenahi, karena bukan saja dilakukan oleh kalangan tak berpendidikan, tetapi juga oleh orang terpelajar dan anak muda,”

1 komentar:

  1. Assalamua'laikum

    Blog bagus nih

    ada mau comment sdikit...

    1. Golput bukan solusi untuk kemajuan bangsa

    2. orang yang golput selagi masih ada calon yang baik adalah orang yang tidak peduli nasib bangsa paling tidak selama 5 tahunke depan

    BalasHapus