Rabu, 14 Oktober 2009

KEKUASAAN KEHAKIMAN MASA ORDE BARU

Kekuasaan kehakiman merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaan negara modern. Dalam bahasa Indonesia, fungsi kekuasaan yang ketiga ini seringkali disebut cabang kekuasaan “yudikatif”, dari istilah Belanda judicatief. Dalam bahasa Inggris, dipakai istilah judicial, judiciary, ataupun judicature.
Dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri. Oleh karena itu, dikatakan oleh John Alder, “The principle of separation of powers is particuarly important for the judiciary”. Bahkan, boleh jadi, karena Montesquieu sendiri adalah seorang hakim (Perancis), maka dalam bukunya, “L’Esprit des Lois”, ia mengimpikan pentingnya pemisahan kekuasaan yang ekstrim antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan terutama kekuasaan yudisial .
Pemisahan kekuasaan juga terkait erat dengan independensi peradilan. Prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu menghendaki bahwa para hakim dapat bekerja secara independen dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Bahkan, dalam memahami dan menafsirkan undang-undang dasar dan undang-undang, hakim harus independen dari pendapat dan bahkan dari kehendak politik para perumus undang-undang dasar dan undang-undang itu sendiri ketika perumusan dilakukan. Meskipun anggota Parlemen dan Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat mencerminkan kedaulatan rakyat dalam menentukan kebijakan kenegaraan, tetapi kata akhir dalam memahami maksudnya tetap berada di tangan para hakim.
Oleh sebab itu, salah satu ciri yang dianggap penting dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independent dan tidak berpihak (independent and impartial). Apapun sistem hukum yang dipakai dan sistem pemerintahan yang dianut, pelaksanaan the principles of independence and impartiality of the judiciary haruslah benar-benar dijamin di setiap negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy) .
Penerapan hukum pada hakekatnya merupakan penyelenggaraan pengaturan hubungan hukum setiap kesatuan hukum dalam masyarakat hukum. Pengaturan ini meliputi aspek pencegahan pelanggaran hukum dan penyelesaian sengketa hukum termasuk pemulihan kondisi atas kerugian akibat pelanggaran (berarti juga kejahatan). Dan mengingat Indonesia sebagai negara hukum maka setiap pelanggaran tersebut harus diproses melalui jalur hukum. Jalur hukum yang ditempuh yaitu melalui lembaga peradilan.
Sebagai masyarakat hukum, lembaga peradilan diharapkan dapat memberikan jaminan terhadap hak-hak masyarakat sehingga rasa keadilan dan kebenaran hukum berpihak pada yang benar. Dan harapan yang muncul dari masyarakat terhadap lembaga peradilan yang berpihak pada kebenaran, maka mendorong beberapa pihak untuk membuat aturan tentang lembaga peradilan
Indonesia yang memiliki perjalan panjang dalam penegakan hukum setidaknya bisa menengok kebelakang perjalan dan dinamika kekuasaan kehakiman. Terutama pada zaman orde baru dibawah tampuk kepemimpinan seorang presiden kedua Bapak H. M. Soeharto, yang pada zamannya juga Kemudian lahirlah UU No 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang memberi warna dinamika kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Proses terbentuknya UU No 14 Tahun 1970 inipun, diawali dengan perdebatan yang berarti dan berkepanjangan. Persoalan pokoknya bagi beberapa kelompok adalah penegakan hukum di negara Indonesia. Titik tolak perdebatan itu meluas dengan tuntutan agar UU No 19 tahun 1964 dicabut. UU No 19 Tahun 1964 merupakan penyempurnaan patrimonialisme formal. Demokrasi terpimpin membungkam para hakim, advokat dan para intelektual dengan ketentuan pasal 19, bahwa :
“ Presiden boleh campur tangan dengan leluasa dalam tiap tahap proses peradilan demi kelangsungan revolusi atau kepentingan nasional ”.
Hal inilah yang membuat persoalan badan peradilan diawal Orde Baru mendapat perhatian lebih besar daripada masa sebelumnya terutama adanya perubahan pandangan terhadap Negara Hukum, pandangan yang sangat menekankan pentingnya pemberian jaminan atas hak-hak perseorangan dan pembatasan atas kekuasaan politik, serta pandangan yang menganggap pengadilan tidak dapat dikaitkan dengan lembaga lain.
Setelah melalui berbagai perdebatan, tahun 1968 Menteri Kehakiman Umar Seno Adji menyerahkan rancangan yang dibuat oleh kementeriannya sendiri ke Parlemen, bersama dengan rancangan UU lainnya (mengenai Mahkamah Agung dan pengadilan sipil yang lebih rendah). Dua tahun kemudian setelah diadakannya perundingan secara luas, UU No 14 Tahun 1970 pada akhirnya diundangkan. Perdebatan tentang kemandirian lembaga peradilan hanya berlangsung baik pada awal Orde Baru mungkin sebelum Pemilu tahun 1971, tatkala kondisi politik masih tampak cair untuk timbulnya persoalan yang menyangkut sistem itu kemudian wacana kemandirian badan peradilan hanya wacana kaum akademisi saja.
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun me¬lalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian seng¬keta lainnya (alternative desputes or conflicts resolu¬tion). Bah¬kan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiat¬an pe¬ne¬gakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang di¬mak¬sudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah norma¬tif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam se¬gala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-be¬nar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mesti¬nya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu me¬nyang¬kut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau pe¬nyimpangan terhadap peraturan perundang-undang¬an, khu¬susnya -yang lebih sempit lagi- melalui proses per¬adil¬an pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, ke¬jak¬saan, advokat atau pengacara, dan badan-badan per¬adilan .
Secara konseptual, maka inti dan arti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyelaraskan hubungan nilai-nilai yang terjabar di dalam kaidah-kaidah yang mantap untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup .
Karena penegakan hukum adalah proses pembuatan keputusan berdasarkan kidah hukum maka dari itu secara tersirat, penegakan hukum dilaksanakan organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan
Secara khusus Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandement menyebutkan jelas berkenaan organ pelaksana kekuasaan kehakiman yakni pada pasal 24 :
(1) Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Dan agar pelaksanaan kekuasaan kehakiman itu merdeka, mandiri, dan bebas dari tekanan maka Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal mutlak adanya.
Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
Disamping itu karena Indonesia memproklamirkan diri sebagai Negara hukum (sebagaimana diletakan pada penjelasan UUD 1945 yang akhirnya penjelasan dihapus kemudian dimaksukan pada pasal 1 ayat (3)). Sehingga harus adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary).
Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat .

1. LAHIRNYA UU NO. 14 TAHUN 1970 TENTANG POKOK-POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pada masa awal Orde Baru, bahwa badan kehakiman diidealkan menjadi hakim yang bebas serta pembagian kekuasaan dalam pemerintahan adalah harapan sebagai badan yang mandiri dan kreatif untuk merintis pembaharuan hukum lewat mengartikulasian hukum dan moral rakyat. Dimana kekuasaan kehakiman pada masa Demokrasi terpimpin dipandang membungkam para hakim, advokat dan para intelektual dengan ketentuan pasal 19, bahwa :
“ Presiden boleh campur tangan dengan leluasa dalam tiap tahap proses peradilan demi kelangsungan revolusi atau kepentingan nasional ”.
Lahirnya Undang-Undang No 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang pada konsiderannya jelas menyebutkan bahwa Undang-Undang No 19 Tahun 1964 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Karena dipandang kekuasaan kehakiman yang seharusnya dijalankan secara mandiri, independent tidak teraplikasikan oleh undang-undang no. 14 tahun 1964 dan bahkan dipandang mencederai negara hukum dengan masuknya kekuasaan presiden di dalam ranah yudisial (peradilan) melalui pasal 19 UU No. 16 tahun 1964 tersebut.
Selain bertentangan dengan UUD 1945, UU 16 Tahun 1964 dianggap mengabaikan Semangat trias politica yang dianut Indonesia. Lemahnya posisi pengadilan semakin nyata apabila dalam pelaksanaan tugasnya berhadapan dengan kepentingan pemerintah. Pengadilan dikondisikan untuk memberikan justifikasi terhadap tindakan dan kebijakan pemerintah .
Dengan dicabutnya Undang-undang No 19 Tahun 1964 tersebut maka kewenangan Presiden untuk melakukan intervensi terhadap proses pemeriksaan perkara, tidak lagi memiliki payung hukum. Kemandirian pengadilan mulai memiliki ruang tersendiri.
UU No. 14 tahun 1970 yang pada pasal 1 menyebutkan bahwa kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Selanjutnya pada Pasal 10 undang-undang No 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman menyebutkan bahwa :
(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan;
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
(2) Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.
(3) Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh Pengadilan- pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung.
(4) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Undang-undang.
Semangat dari UU No 14 Tahun 1970 memang yang patut di apresiasi, dengan Empat lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang masing-masing memiliki kopentensi dibidangnya, yakni lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, telah diakui eksistensinya oleh hukum dasar yakni konstitusi negara Republik Indonesia.
Sementara itu Mahkamah Agung menjadi lembaga tinggi negara (lembaga negara) diranah yudisial, yang mana MA tidak hanya sebagai pemegang puncak kekuasaan kehakiman tetapi juga menjadi lembaga yang diberi wewenang oleh undang-undang pokok kekuasaan kehakiman untuk mengawasi perbuatan peradilan yang lain (pasal 10 ayat (4)).
Mahkamah Agung sebagai salah satu badan yang melakukan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945, didefinisikan sebagai “... Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.”

2. KEDUDUKAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP LEMBAGA EKSEKUTIF ZAMAN ORDE BARU
Undang-undang pokok kehakiman No 14 tahun 1970 tidak hanya membawa spirit perubahan yang mendasar pada kekuasaan kehakiman tetapi juga meninggalkan sejumlah masalah, dan boleh dikatakan masalah yang terjadi pada zaman orde lama terulang kembali dijaman orde baru, tetapi dengan sistem yang lebih sistemik.
Hukum besi kekuasaan kembali terulang dizaman orde baru, apa lagi kekuasaan itu telah menjadi kuat dan mengakar dengan lamanya kepemimpinan eksekutif ditangan oleh satu orang selama 32 tahun. Setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.
Yang menjadi sorotan besar ketika departemen-departemen yang notabene bagian dari kekuasaan eksekutif ikut dan berandil dalam penyelenggaraan peradilan meski hanya dalam ranah administrasi, finansial keuangan, dan perekrutan hakim, Pasal 11 UU 14 tahun 1970 berbunyi :
1. Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 (1) organisatoris, administratif dan finansial ada dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan.
2. Mahkamah Agung mempunyai organisasi, adminstrasi dan keuangan tersendiri.
Sementinya Fungsi organisatoris, administratif dan finansial dalam satu atap tetap diperlukan sebuah lembaga yang independen untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja lembaga peradilan sampai sistem dan mental para Hakim sudah baik.
Departemen Kehakiman tercatat dalam skenario sejarah penegakan hukum di Indonesia telah memerankan fungsinya sebagai penguasa atas separoh sosok pribadi hakim. Separoh bagian yang lainnya dikuasai oleh Mahkamah Agung sebagai salah satu badan penyelenggara kekuasaan kehakiman. Buktinya, golongan, pangkat, serta penghasilan dan sistem penggajiannya selama itu berada di bawah kendali Departemen Kehakiman (eksekutif). Sementara itu, urusan yang menyangkut benar atau tidaknya, baik atau buruknya dalam memberikan pertimbangan putusan, Mahkamah Agung-lah (yudikatif) yang berkompeten untuk menilai hakim bawahan pada pengadilan rendahan .
Perekrutan hakim, karier, serta administrasi, dan keuangan lembaga peradilan di bawah kendali pemerintah, yaitu Departemen Kehakiman. Di sisi lain, terdapat badan peradilan yang berada di bawah institusi pemerintah, yaitu pengadilan agama di bawah Departemen Agama dan pengadilan militer di bawah ABRI. Kedudukan dan ketergantungan tersebut mengakibatkan terganggunya independensi lembaga-lembaga peradilan tersebut dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara .
Pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktek-praktek negatif pada proses peradilan. Penegakan hukum belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah .
Peradilan yang baik adalah peradilan yang diselenggarakan oleh sistem yang kekuasaan kehakiman yang independen dan impartial serta merdeka demi tegaknya negara hukum, oleh karena itu menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial harus berada dibawah satu atap dibawah kekuasaan Mahkamah Agung .
Pentingnya menegaskan kekuasaan kehakiman yang merdeka, perlunya menjamin penegakan hukum dengan mengatur badan-badan yang terkait dengan itu, perlunya pengawasan terhadap hakim, dan perlunya penerapan judicial review. Penegasan kekuasaan kehakiman yang merdeka menjadi perhatian utama karena kondisi masa lalu yang menempatkannya di bawah kendali kekuasaan eksekutif.
Untuk menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman, pengelolaan kekuasaan kehakiman baik dari sisi sumber daya, administrasi, maupun keuangan harus diselenggarakan oleh kekuasaan kehakiman sendiri. Selain itu, semua lingkungan peradilan yang ada berada di bawah lembaga pelaku kekuasaan kehakiman, tidak ada yang berada di bawah instansi pemerintah. Jaminan tersebut diwujudkan dalam rumusan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan demi menegakkan hukum dan keadilan.

DAFTAR BACAAN
Anonim. Mahkamah Agung Dalam Masa Transisi. Konsosium Reformasi Hukum Nasional
A. Husnaini.. Reposisi Peradilan Versi Amandemenr Ketiga UUD 1945.
Asshiddiqie, Jimly. 2005. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2. Jakarta: Konstitusi Pers
----------------------. 2005. Konstitusi dan konstitusionalisme. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Pers.
----------------------. Pembangaunan Hukum Dan Penegakan Hukum Di Indonesia (Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 17 Februari 2006) Hlm 14.
Gaffar, Janedjri M.. Konstitusi Indonesia Kekuasaan Kehakiman. www.unisosdem.org
Huda, Hi’matul. 2006 Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo persada.
Sokanto, Soerjono. 2007.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suparman, Erman. Menuju Kekuasaan Kehakima Yang Merdeka. Bandung Universitas Padjajaran.

Sabtu, 10 Oktober 2009

KEKUASAAN KEHAKIMAN DI MASA DEPAN*

TANTANGAN YANG DIHADAPI
Mahkamah Agung (MA) merupakan puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan Kehakiman itu seperti ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Banyak yang menafsirkan bahwa dalam perkataan merdeka dan terlepas dari ‘pengaruh’ kekuasaan pemerintah itu, terkandung pengertian yang bersifat fungsional dan sekaligus institusional. Tetapi, ada yang hanya membatasi pengertian perkataan itu secara fungsional saja, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah itu tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat atau yang patut dapat diduga akan mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian perkara yang dihadapi oleh hakim. Karena itu penjelasan kedua pasal itu mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung, langsung dikaitkan dengan jaminan mengenai kedudukan para hakim. Maksudnya ialah agar para hakim dapat bekerja profesional dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah, kedudukannya haruslah dijamin dalam undang-undang.
Karena itu, kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu haruslah dipahami dalam konteks kemerdekaan para hakim dalam menjalankan tugasnya. Karena itu, menurut pandangan ini, kedudukan para hakim yang merdeka itu tidak mutlak harus diwujudkan dalam bentuk pelembagaan yang tersendiri. Jalan pikiran demikian inilah yang berlaku selama ini, sehingga tidak pernah terbayangkan bahwa kekuasaan Mahkamah Agung dapat dikembangkan dalam satu atap kekuasaan kehakiman yang mandiri secara institusional. Celakanya, praktek yang terjadi sejak Indonesia merdeka sampai berakhirnya era Orde Baru cenderung menunjukkan bahwa proses peradilan di lingkungan lembaga-lembaga pengadilan di seluruh tanah air juga seringkali justru dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah. Akibatnya, kekuasaan kehakiman kita bukan saja tidak merdeka secara institusional administratif, tetapi juga secara fungsional-prosesual dalam proses penyelesaian perkara keadilan.
Bersamaan dengan itu, selama lebih dari 30 tahun kekuasaan Orde Baru berhasil dengan sangat kuat memusatkan kekuasaan di tangan Pemerintah. Sentralisasi dan konsentrasi kekuasaan bahkan terus meningkat dan memusat ke arah satu tokoh sentral, yaitu Presiden. Ketika perkembangan kompleksitas permasalahan yang timbul dalam masyarakat makin meningkat bersamaan dengan kemajuan pembangunan di segala bidang, organisasi negara justru berkembang makin birokratis dan memusat ke puncak kekuasaan Presiden. Sistem kekuasaan terpusat itu, lama kelamaan mendorong tumbuh suburnya manipulasi dan penyalahgunaan wewenang dimana-mana, sehingga pada akhirnya membentuk suatu karakter kolektif yang kemudian dikenal luas sebagai praktek KKN.
Kultur birokrasi dan organisasi negara yang penuh KKN itu berpengaruh dalam semua sektor kelembagaan negara kita, tak terkecuali di lingkungan organisasi kekuasaan kehakiman kita. Kita semua tidak perlu malu mengakui kenyataan ini dalam rangka membangun kesadaran baru mengenai pentingnya memperbaiki diri dalam rangka memberbaiki keseluruhan keadaan nasional yang sedang kita hadapi sebagai bangsa. Celakanya lagi, kultur masyarakat yang kita warisi dari masa lalu, juga cenderung memberikan pembenaran terhadap kecenderungan terjadinya sentralisasi dan konsentrasi kekuasaan itu. Sebagian terbesar warga masyarakat kita masih hidup dalam bayang-bayang sikap yang sangat paternalistik. Hubungan kebudayaan masih sangat dipengaruhi oleh sistem keteladanan pemimpin.
Semua ini ditambah pula oleh kenyataan bahwa sebagian terbesar warga masyarakat kita masih berada dalam tingkat kesejahteraan yang serba kekurangan. Karena itu, kultur paternalisme, sistem kekuasaan yang terpusat, dan tingkat kesejahteraan yang masih rendah, telah menyebabkan vitalitas dan energi kolektif masyarakat kita dikungkung oleh kejumudan yang makin meratakan kultur perilaku yang tidak sehat, baik untuk agenda demokrasi maupun untuk penegakan hukum dan supremasi hukum. Inilah warisan masalah hukum yang harus dihadapi oleh sistem kekuasaan kehakiman kita yang merdeka di masa depan. Inilah pula persoalan-persoalan pokok yang harus dihadapi oleh cita-cita menegakkan prinsip negara hukum yang demokratis ataupun negara demokrasi modern yang berdasar atas hukum di negeri kita.
Karena itu, penting bagi kita melakukan reformasi yang mendasar terhadap sistem peradilan, tidak saja menyangkut penataan kelembagaannya (institutional reform) ataupun menyangkut mekanisme aturan yang bersifat instrumental (intrumental atau procedural reform), tetapi juga menyangkut personalitas dan budaya kerja aparat peradilan serta perilaku hukum masyarakat kita sebagai keseluruhan (ethical dan bahkan cultural reform). Dalam pengertian kita tentang sistem peradilan itu sendiri juga tercakup peranan dan fungsi kepolisian, kejaksaan, kepenasehatan, kehakiman, kepaniteraan, dan bahkan lembaga pemasyarakatan dalam satu kesatuan jaringan sistemik. Idealnya, kita tidak dapat memperbaiki sistem peradilan hanya dengan tambal sulam dan per sektor, tetapi haruslah menyeluruh menyangkut semua aspek dan unsur sistem peradilan itu.
Namun, agar supaya fokus perhatian dapat dipusatkan satu per satu, maka dalam telaah kali ini kita mengkhususkan perhatian pada pembahasan tentang sistem kekuasaan kehakiman dalam rangka materi rancangan undang-undang tentang Mahkamah Agung yang akan datang. Beberapa masalah strategis yang biasa diperdebatkan dalam hubungan ini antara lain adalah: (a) persyaratan hakim agung, terutama berkenaan dengan ide pengangkatan hakim agung melalui sistem karir dan non-karir; (b) soal ‘judicial review’ dan tata cara pengujian, serta kewenangan-kewenangan lainnya seperti memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden, membuat aturan hukum formil untuk kelancaran pelaksanaan peradilan dalam bentuk Peraturan MA, dan pengawasan terhadap pengacara; dan © soal pembentukan Komisi Yudisial, komposisi, tugas, fungsi dan kewenangannya, serta masalah pertanggung-jawaban Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga tinggi negara dan kontrol masyarakat terhadap kekuasaan kehakiman.
PRINSIP PEMISAHAN DAN KESEIMBANGAN KEKUASAAN
1. Pemisahan Tiga Cabang Kekuasaan:
Pada waktu disusun, para perumusnya bersepakat bahwa UUD 1945 memang tidak didasarkan atas teori ‘trias politica’ yang memisahkan secara tegas antar tiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif. Khusus mengenai cabang kekuasaan judikatif memang ditentukan harus mandiri atau bebas dari pengaruh cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Namun, pemisahan yang tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif tidak dijadikan landasan berpikir dalam merumuskan fungsi MPR, DPR, dan Presiden. Karena kekuasaan membentuk UU menurut rumusan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum diadakan amandemen dengan Perubahan Pertama, ditentukan berada di tangan Presiden. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR. Artinya, dalam kaitannya dengan fungsi legislatif itu, memang terdapat hubungan yang tumpang tindih antara DPR dan Presiden.
Logika yang dibangun dalam hubungan ini adalah bahwa UUD 1945 memang tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal, melainkan teori pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal. Maksudnya ialah bahwa sistem kekuasaan atau kedaulatan rakyat yang dianut bangsa Indonesia pertama-tama diwujudkan secara penuh dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Dari Majelis yang terhormat inilah kekuasaan rakyat itu dibagi-bagikan ke dalam fungsi-fungsi lembaga Presiden (Pemerintah) yang merupakan pihak eksekutif dan lembaga DPR sebagai pengendali atau pengawasnya. Sedangkan fungsi legislatif dibagikan secara seimbang antara Presiden dan DPR.
Namun demikian, dalam Perubahan Pertama UUD 1945 yang telah disahkan dalam Sidang Umum MPR akhir tahun lalu, bunyi Pasal 5 ayat (1) itu diganti menjadi: “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Sedangkan dalam Pasal 20 ayat (1) dinyatakan: “Presiden berhak mengajukan Rancangan UU untuk mendapatkan persetujuan DPR”. Di samping itu, ada pula ketentuan baru dalam Pasal 20 yang menyatakan: “Presiden mengesahkan RUU menjadi UU”. Dengan adanya ketentuan baru ini maka kekuasaan legislatif dapat dikatakan telah bergeser dari Presiden ke DPR, meskipun dalam pelaksanaan dapat saja terjadi bahwa Presiden tidak bersedia mengesahkan RUU yang telah ditetapkan oleh DPR itu. Boleh jadi, kewenangan Presiden untuk mengesahkan atau tidak mengesahkan RUU tersebut dapat dipahami dalam pengertian hak veto Presiden terhadap kekuasaan lembaga legislatif.
Tetapi, jika demikian, sudah seharusnya hak veto itu dibatasi dengan lebih jelas sehingga tidak dimanfaatkan oleh Presiden untuk berbuat semena-mena. Misalnya, jika suatu RUU telah mendapat persetujuan lebih dari 2/3 suara anggota DPR, maka pengesahan oleh Presiden bersifat wajib. Atau dapat pula ditentukan agar DPR dapat membahas ulang RUU tersebut dan kemudian apabila diperoleh putusan dengan dukungan yang lebih banyak anggota dibandingkan dengan keputusan sebelumnya, maka RUU tersebut wajib disahkan oleh Presiden. Namun, terlepas dari ada tidaknya pengaturan pembatasan mengenai hak veto ini, yang jelas ketentuan dalam Perubahan Pertama UUD 1945 secara tegas berusaha memisahkan fungsi legislatif dari fungsi eksekutif. Dengan demikian, UUD kita dewasa ini secara resmi telah menganut sistem pemisahan kekuasaan yang tegas antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judikatif.
Akibat lebih lanjut dari hal itu ialah bahwa sudah semestinya kita konsisten dan konsekwen mengenai pemisahan kekuasaan tersebut. Salah satunya akibatnya ialah bahwa kita tidak dapat lagi mempertahankan teori pembagian kekuasaan secara vertikal dari MPR ke lembaga-lembaga tinggi negara. Tetapi, jika keberadaan MPR masih tetap ada, logika semacam itu jelas belum dapat sepenuhnya dijadikan dasar pemikiran mengenai sistem ketatanegaraan kita yang baru. Mungkin itu, sebabnya banyak ahli hukum tatanegara yang berpendapat bahwa agenda perubahan konstitusi kita masih bersifat tambal sulam.
2. Mekanisme ‘Check and balance’ antar Cabang Kekuasaan Yang Terpisah-Pisah:
Sebagai konsekwensi terjadinya pemisahan kekuasaan antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan judikatif, maka mekanisme hubungan di antara cabang-cabang kekuasaan yang terpisah-pisahkan itu perlu diatur menurut prinsip ‘check and balance’, sehingga hubungan antara satu lembaga dengan lembaga lain dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan.
Kekuasaan Presiden:
a. Di bidang legislatif, Presiden diberi hak untuk mengambil inisiatif mengajukan RUU kepada DPR, menetapkan peraturan-peraturan pelaksanaan sebagai ‘policy rules’ (beleidregels), hak veto untuk tidak mengesahkan suatu RUU yang telah disetujui oleh DPR, hak hukum untuk sementara waktu dalam keadaan kegentingan yang memaksa menetapkan peraturan yang seharusnya berbentuk UU.
b. Di bidang judikatif, Presiden diberi hak, dengan pertimbangan Mahkamah Agung, untuk menetapkan pemberian grasi, abolisi, dan amnesti, mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung untuk menguji suatu UU yang telah disahkan oleh DPR tetapi Presiden sendiri tidak bersedia mengesahkannya ataupun tidak menyetujui isi suatu UU tetapi DPR tidak bersedia mengubahnya.
Kekuasaan Legislatif DPR:
a. Kekuasaan membentuk UU berada di DPR, tetapi Presiden juga diberi hak untuk mengajukan RUU kepada DPR.
b. Presiden diberi hak veto untuk mengesahkan atau tidak mengesahkan suatu RUU yang telah disetujui oleh DPR. RUU yang tidak disahkan oleh Presiden ini tidak dapat lagi dimajukan kepada Presiden pada periode berikutnya. Sebaliknya, setiap RUU yang diajukan oleh Presiden yang tidak mendapat persetujuan DPR, juga tidak boleh lagi dimajukan kepada DPR pada periode berikutnya.
c. Ketentuan hak veto Presiden ataupun hak untuk tidak menyetujui RUU yang diajukan pihak lain itu, masih perlu dibatasi sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan. Karena itu, Mahkamah Agung dapat dipertimbangkan untuk diberikan hak untuk menerima permohonan dari pihak DPR ataupun Presiden untuk menguji materi RUU tersebut terhadap UUD. Dengan demikian, kita dapat memperluas pengertian tentang ‘judicial review’ yang juga diterapkan terhadap suatu RUU.
d. Seperti tersebut di atas, Mahkamah Agung harus diberi hak untuk menguji materi setiap UU terhadap UUD. Ketika UUD 1945 dirumuskan, usul Muhammad Yamin mengenai soal ini ditolak oleh Seopomo dengan alasan UUD tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan. Tetapi, sekarang UUD 1945 telah dengan tegas menganut prinsip pemisahan kekuasaan itu, maka hak Mahkamah Agung di bidang ini tidak dapat lagi dihindari sebagai salah satu mekanisme yang efektif untuk menjaga ‘checks and balances’ di antara sesama lembaga tinggi negara.
Fungsi Kekuasaan Mahkamah Agung:
a. Kekuasaan kehakiman, baik dari segi substansinya maupun administrasinya, telah ditetapkan bersifat mandiri dan terpadu di bawah pembinaan Mahkamah Agung, tetapi pada saat yang bersamaan peran DPR untuk mengontrol kekuasaan Mahkamah Agung ditingkatkan melalui penentuan pengangkatan dan pemberhentian hakim agung, dan dengan pembentukan Komisi Judisial untuk mengawai segi-segi administrasi kekuasaan kehakiman.
b. Dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, Presiden diberi hak untuk memberikan grasi, abolisi dan amnesti.
Dari rincian fungsi masing-masing lembaga tersebut diatas dapat tergambar bahwa hubungan di antara Presiden, DPR dan Mahkamah Agung dapat dikembangkan secara seimbang. Melalui mekanisme ‘checks and balances’ tersebut, ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif yang tercermin di ketiga lembaga tersebut dapat saling mengendalikan dan saling mengimbangi, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan di antara satu sama lain.
3. Persoalan MPR dan MA, antara Demokrasi dan Nomokrasi:
Yang menjadi masalah kita kemudian adalah mengenai keberadaan lembaga MPR yang selama ini diakui sebagai wadah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang berdaulat atau pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara Republik Indonesia, sesuai prinsip demokrasi ataupun ajaran kedaulatan rakyat. Selama ini diakui bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin Montesquieu tentang ‘trias politica’ ataupun prinsip ‘separation of power’. Dari uraian-uraian Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI, kita medapat keyakinan mengenai soal ini. Karena itu, doktrin yang dianggap berlaku dalam sistematika UUD 1945 adalah pembagian kekuasaan secara vertikal dari MPR yang merupakan penjelamaan seluruh rakyat kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah MPR yang meliputi Presiden, DPR, MA, BPK, dan DPA.
Namun, jika sekarang setelah diadakan Perubahan Pertama UUD 1945, kita mencantumkan secara tegas pasal-pasal yang mengatur terjadinya pemisahan kekuasaan secara tegas antara fungsi-fungsi eksekutif, legislatif dan judikatif yang dilengkapi pula oleh mekanisme ‘check and balance’ yang benar-benar seimbang antara satu sama lain, dapat timbul persoalan mengenai eksistensi MPR itu sendiri. Jika misalnya sistem parlemen kita telah direstrukturisasikan menjadi bikameral, teridiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Utusan Daerah, sudah tentu tidak ada masalah dengan penghapusan lembaga MPR. Kalau MPR masih akan dipertahankan, keberadaannya cukup sebagai ‘forum’ saja, bukan lagi institusi yang tersendiri. Tetapi, jika keberadaannya sebagai lembaga masih akan diteruskan, ataupun misalnya, ide restrukturisasi parlemen menjadi bikameral tidak segera mendapat persetujuan, maka kita terpaksa harus merumuskan dasar-dasar teoritis dan konseptual yang kokoh, sehingga keberadaan lembaga MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat itu dapat berjalan seiring dengan upaya kita melakukan reformasi terhadap sistem kekuasaan kehakiman.
Selama keberadaan lembaga MPR masih dipertahankan, kita tidak mungkin mengaitkan konsep pertanggungjawaban Mahkamah Agung, misalnya, kepada DPR. Kita juga tidak dapat memberikan wewenang kepada DPR untuk menentukan pengangkatan para hakim agung, karena bukanlah lebih masuk akal jika wewenang menentukan pengangkatan hakim agung itu diberikan kepada lembaga MPR, bukan DPR. Kalaupun pengangkatan hakim agung ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, maka kedudukan Presiden disini haruslah dilihat sebagai Kepala Negara, bukan sebagai Kepala Pemerintahan.
Sebenarnya, lembaga MPR itu merupakan puncak dari sistem kedaulatan rakyat, sedangkan Mahkamah Agung dapat dilihat sebagai puncak pencerminan sistem kedaulatan hukum. Ajaran kedaulatan rakyat mencerminkan prinsip demokrasi (Demos Cratos atau Cratien), sedangkan ajaran kedaulatan hukum berkaitan dengan prinsip nomokrasi (Nomos Cratos atau Cratien) yang istilah yang lebih populer dihubungkan dengan doktrin ‘the Rule of Law’ dan prinsip ‘Rechtsstaat’ (Negara Hukum). Perdebatan teoritis dan filosofis mengenai mana yang lebih utama dari kedua prinsip ajaran kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat ini dalam sejarah terus berlangsung sejak zaman Yunani kuno. Di zaman modern sekarang ini, orang usaha untuk merumuskan jalan tengahnya juga terus terjadi. Misalnya dikatakan bahwa kedua prinsip itu tak ubahnya merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Keduanya menyatu dalam konsepsi negara hukum yang demokratis ataupun konsepsi negara demokrasi yang berdasar atas hukum.
Namun demikian, dalam praktek, tidaklah mudah untuk mengkompromikan prinsip kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat itu dalam skema kelembagaan yang benar-benar seimbang. Dalam sistem UUD 1945 selama ini, lembaga tertinggi negara justru diwujudkan dalam lembaga MPR yang lebih berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, dapat dipertimbangkan bahwa dalam rangka reformasi kekuasaan kehakiman di masa depan, lembaga Mahkamah Agung itu ditempatkan dalam kedudukan yang sederajat dengan MPR, atau justru lembaga tertinggi MPRnya yang direstrukturisasi menjadi parlemen bikameral seperti yang sudah banyak diusulkan.
KEANGGOTAAN MAHKAMAH AGUNG
1. Hakim Karir, Non-Karir, dan Jumlah serta Komposisinya:
Untuk mengatasi agar dunia hakim agung kita dapat berkembang dinamis dengan memperoleh darah segar dari luar lingkungan peradilan, maka sebaiknya RUU yang baru memungkinkan penerapan sistem terbuka untuk pengangkatan hakim dari mereka yang bukan berasal dari hakim karir. Bersamaan dengan itu, memang harus pula diatur agar sistem karir dalam dunia hakim kita juga dapat terjamin dengan sebaik-baiknya, sehingga tidak mengganggu ‘reward system’ di lingkungan para hakim. Karena itu, dapat ditentukan secara bertahap bahwa apabila keadaan sudah kembali norma nantinya, proporsi hakim agung non-karir, dijatahkan sebanyak 70 persen, sedangkan hakim non-karir tidak boleh lebih dari 30 persen. Akan tetapi, dalam rangka menjamin efektifnya proses reformasi yang sedang berlangsung sekarang ini, maka untuk pengangkatan pertama ini, hakim non-karir itu sebaiknya berjumlah tidak kurang dari 50 persen, sehingga dapat diharapkan tumbuhnya suasana yang benar-benar mencerminkan semangat reformasi dan perbaikan.
Jumlah hakim agung sebaiknya juga tidak terlalu banyak, tetapi cukup untuk menampung kebutuhan pelaksanaan tugas yang kompleks dalam sistem yang dipakai di Indonesia. Kalau sekarang karena adanya kebutuhan untuk menyelesaikan begitu banyak tunggakan perkara, ditetapkan jumlahnya 60 orang, maka hal itu sebaiknya dianggap sebanyak jumlah sementara sampai keadaan menjadi normal, jumlah normatifnya cukup dibatasi sebanyak 45 orang, terdiri atas 14 hakim non-karir, dan sisanya hakim karir. Komposisi hakim agung itu sebaiknya ditentukan menurut bidang-bidang hukum perdata, agama, adat, pidana. Tata usaha negara, ekonomi, hak asasi manusia, pengujian peraturan, ditambah dengan bidang hukum tata negara dalam rangka mengantisipasi sengketa penafsiran konstitusi antar daerah otonomi dan antar lembaga tinggi negara, bidang hukum militer dalam hubungan dengan fungsi pengadilan militer, dan bidang hukum internasional yang makin banyak menuntut keahlian para hakim Indonesia di era globalisasi dewasa ini.
2. Syarat menjadi Hakim Agung dan Batas Usia Maksimum-Minumum:
Sesuai dengan sebutannya sebagai ‘Hakim Agung’, maka persyaratan keanggotaan Mahkamah Agung hendaknya benar-benar memenuhi syarat yang ideal tentang kualifikasi hakim yang benar-benar dapat diagungkan. Masa kerja hakim, biasanya ditentukan menurut batasan usia atau menurut sistem periodesasi. Selama ini, karena status hakim adalah pegawai negeri, maka sistem yang dianut adalah berdasarkan batas usia. Untuk menjamin kemandirian hakim, status pegawai negeri dihapuskan, diganti dengan status hakim sebagai pejabat negara menurut sistem periodesasi. Sebetulnya, sebagai pilihan masa kerja hakim itu dapat saja ditentukan untuk seumur hidup. Untuk menghindarkan jangan sampai faktor usia ini bersifat mutlak dengan kemungkinan adanya hakim yang uzur atau pikun dan sebagainya, maka dapat diatur mekanisme pemberhentian hakim agung karena alasan uzur atau tidak sehat ataupun karena diduga melakukan kejahatan yang diancam dengan pidana yang berat.
Di samping itu, semua syarat yang selama ini untuk menjadi hakim agung dapat terus diberlakukan dan bahkan lebih ditingkatkan lagi kualitasnya.Untuk menjamin kemandirian hakim, saya menyetujui bahwa hakim karir diangkat untuk seumur hidup, bukan sampai berusia 60 seperti PNS eselon 1 ataupun 65 tahun dan dapat diperpanjang menjadi 70 tahun seperti PNS Guru Besar di Perguruan Tinggi. Tetapi untuk hakim non-karir, yang diangkat dengan maksud untuk memungkinkan adanya penyegaran terus menerus, saya usulkan misalnya, dibatasi menurut sistem periodesasi, yaitu untuk waktu 2 kali 5 tahun. Dengan demikian, kita menerapkan sistem campuran antara sistem periodesasi dan sistem batas usia dengan variasai usia seumur hidup bagi hakim karir.
Di samping menyetujui ditiadakannya pembatasan usia maksimum seperti Amerika Serikat, persyaratan kualitatif untuk pengangkatan hakim perlu ditingkatkan dengan diimbangi pengaturan melalui mekanisme ‘impeachment’ hakim. Misalnya, perlu diatur dalam hal seorang hakim agung yang sudah uzur karena dimakan usia, maka yang bersangkutan dapat diberhentikan dari jabatannya sebagai hakim agung Demikian pula apabila terbukti seorang hakim agung melakukan tindak pidana tertentu yang diancam dengan pidana minimum tertentu, harus dimungkinkan pula untuk diberhentikan. Akan tetapi, batas usia itu sebaiknya dihilangkan dari ketentuan mengenai jabatan hakim agung. Dengan demikian, cara kerja hakim tidak akan dibatasi oleh irrasionalitas psikologi pegawai negeri yang menghadapi Masa Persiapan Pensiun (MPP) sebagaimana sering menghinggapi banyak pegawai negeri.
Mengenai batas usia minimum, sekarang ditentukan 50 tahun. Batas minimum 50 tahun ini memang dapat diterima mengingat sistem rekruitmennya bersifat tertutup. Akan tetapi dalam sistem yang terbuka yang banya diusulkan, saya setuju agar pembatasan usia minimum 50 tahun itu sebaiknya dikurangi menjadi 45 tahun. Namun, batas usia minimum 45 tahun ini sebaiknya tidak diterapkan untuk hakim karir, melainkan untuk hakim non-karir. Batas maksimum usia seumur hidup, juga tidak digunakan untuk hakim non-karir. Dengan demikian, untuk hakim karir dapat ditentukan persyaratan usia minimum 50 tahun dan diangkat untuk seumur hidup. Sedangkan untuk hakim non-karir, dapat ditentukan minimum 45 tahun dan diangkat paling lama untuk 10 tahun, sehingga dinamika pergantian dan penyegaran dalam tubuh MA dapat terus dipelihara dari waktu ke waktu.
3. Pemilihan dan Pengangkatan Hakim Agung:
Bagaimanakah Hakim Agung dan begitu pula pimpinan Mahkamah Agung sebaiknya dicalonkan, dipilih, diangkat dan diberhentikan. Menurut pendapat saya, pencalonan hakim agung sebaiknya tidak diatur seperti sekarang, yaitu diajukan pencalonannya hanya oleh Presiden sebagai Kepala Negara. Karena Mahkamah Agung itu mencerminkan prinsip kedaulatan hukum, pencalonan keanggotaannya jangan diserahkan secara eksklusif hanya kepada satu lembaga, karena hal itu dapat mempengaruhi kemandirian kekuasaan kehakiman. Sebaiknya, pencalonan hakim agung itu dapat diajukan, baik oleh Presiden sebagai Kepala Negara ataupun oleh DPR. Nantinya, apabila Dewan Utusan Daerah telah terbentuk dalam rangka sistem parlemen bikameral, maka lembaga DUD ini juga dapat diberikan hak untuk mengajukan calon anggota Mahkamah Agung. Jika calonnya diajukan oleh Presiden, maka yang menyetujui haruslah DPR atau DUD. Jika yang mengusulkan adalah DUD dan kemudian disetujui pula oleh DPR, maka Presiden tidak berhak untuk tidak mengangkat calon yang sudah disetujui. Dengan demikian, prinsip ‘check and balance’ sehubungan dengan pengangkatan hakim agung itu dapat dipelihara, dan tidak didominasi oleh kekuasaan Presiden.
Jumlah calon yang diajukan tersebut sedikitnya harus berjumlah 2 kali lipat dari jumlah yang dibutuhkan untuk pengangkatan hakim agung itu, dan jumlah yang dipilih harus pula memenuhi jumlah yang dibutuhkan. Ketentuan demikian ini harus ditegaskan sehingga tidak terjadi kekisruhan di kemudian hari karena permainan kekuasaan dari pihak-pihak yang berwenang. Masalahnya kemudian kemana pencalonan itu diajukan dan dimana pemilihan dilakukan. Menurut ketentuan sekarang, pencalonan itu diajukan untuk memperoleh persetujuan DPR. Dalam praktek selama ini, karena jumlah calonnya tidak lebih dari yang dibutuhkan dan kedudukan DPR tidak memilih tetapi hanya mengkonfirmasi saja, maka pengangkatan hakim agung itu praktis hanya tunduk kepada kemauan Presiden saja. Karena itu, dengan mekanisme yang baru di masa yang akan datang, kedudukan DPR tentu akan lebih kuat untuk menentukan pilihan untuk pengangkatan hakim agung itu.
Setelah hakim agung tersebut dipilih, maka pengesahannya dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden yang bersifat penetapan administratif (‘beschikking’) saja. Dengan demikian kedudukan hakim agung itu benar-benar tinggi dan terhormat, sehingga tidak sembarangan orang dapat diangkat menjadi hakim agung. Apabila seseorang sudah diangkat maka untuk hakim karir, ia harus mengabdi seumur hidup, dan untuk hakim non-karir, ia harus mengabdi dengan sebaik-baiknya sedikitnya 10 tahun. Batasan 10 tahun ini juga dapat dinilai cukup adil terhadap hakim karir yang ditetapkan menjadi hakim untuk seumur hidup, karena hakim kairir itu telah meniti jenjang profesi hakim dari bawah selama masa pengabdiannya. Sedangkan hakim non-karir, jenjang profesinya semula bukanlah di bidang profesi hakim, karena itu masa 10 tahun itu sudah dapat dianggap cukup baginya untuk mengabdi sebagai Hakim Agung.
4. Pemberhentian Hakim Agung:
Mengenai pemberhentian hakim agung, pengesahannya dapat dilakukan dengan Keputusan Presiden sebagai Kepala Negara. Oleh karena itu, pemberhentiannya juga sebaiknya disahkan dengan Keputusan Presiden selaku Kepala Negara tanpa harus harus didahului oleh persidangan MPR. Jika terdapat jabatan Hakim Agung yang kosong (lowong) dengan sendiri, proses pencalonan oleh Presiden atau DPR kembali seperti mekansime semula, dan dipilih kembali dalam Sidang MPR untuk menentukan calon yang akan diangkat oleh Presiden.
Hakim Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dengan beberapa alasan:
a. Bagi hakim non-karir, telah menduduki jabatan Hakim Agung selama 10 tahun.
b. Meninggal dunia yang saya tidak lihat adanya keperluan mengkhususkan ketentuan ini dalam ayat tersendiri.
c. Atas permintaan sendiri yang ditujukan kepada Presiden sebagai Kepala Negara dengan tembusan kepada Komisi Judisial.
d. Terbukti tidak cakap menjalankan tugasnya sebagai Hakim Agung.
e. Sakit jasmani dan/atau ruhani terus menerus selama lebih dari 3 bulan dan menurut keterangan dokter tidak dapat diharapkan untuk sembuh dalam waktu selama-lamanya 3 bulan berikutnya.
Hakim Agung juga dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya apabila:
a. dipidana dengan keputusan yang memperoleh kekuatan yang tetap, karena melakukan tindak pidana kejahatan selain tindak pidana politik.
b. melanggar ‘code of conduct’ sebagaimana ditentukan oleh UU dan Kode Etika Profesi Hakim.
c. Terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya.
d. Melanggar sumpah atau janji jabatan.
e. Dengan sengaja melanggar rangkap jabatan.
KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG
1. Tugas dan Wewenang Mahkamah Agung:
Sebagaimana sering diusulkan para ahli, Mahkamah Agung sebaiknya dirumuskan memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus:
a. permohonan kasasi;
b. sengketa kewenangan mengadili;
c. permohonan peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap; dan
d. permohonan pengujian peraturan perundang-undangan.
Di samping itu, dapat pula diatur mengenai kewenangan Mahkamah Agung untuk memberikan pendapat hukum atas permintaan Presiden ataupun lembaga tinggi negara lainnya. Hal ini dianggap perlu, agar Mahkamah Agung benar-benar dapat berfungsi sebagai rumah keadilan bagi siapa saja dan lembaga mana saja yang memerlukan pendapat hukum mengenai sesuatu masalah yang dihadapi.
2. Kewenangan ‘Judicial Review’:
Salah satu kewenangan penting yang perlu dimiliki oleh Mahkamah Agung yang akan datang adalah kewenangan menguji semua bentuk dan tingkatan peraturan perundang-undangan di bawah UUD. Mahkamah Agung berwenang untuk menilai apakah suatu produk peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD sebagai hukum dasar yang tertinggi. Karena UUD 1945 sekarang menganut prinsip pemisahan kekuasaan, meskipun masih juga menganut sistem pembagian kekuasaan karena masih dipertahankannya lembaga MPR, maka alasan untuk menolak kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian UU terhadap UUD tidak ada lagi.
Pengujian peraturan perundang-undangan itu pertama-tama dapat dilakukan oleh kekuasaan peradilan dalam proses persidangan di semua tingkatan. Sesuai asas kebebasan hakim, maka dalam rangka memutuskan suatu perkara, hakim dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan mulai dari UU ke bawah. Namun, di samping itu, kekuasaan kehakiman juga dapat melakukan persidangan yang bersidang khusus untuk menguji suatu peraturan perundang-undangan yang diajukan oleh seseorang ataupun suatu lembaga, baik lembaga masyarakat ataupun lembaga negara/pemerintahan yang merasa dirugikan dengan berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut. Misalnya, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, pengusaha ataupun partai politik dapat mengajukan permohonan pengujian suatu peraturan perundang-undangan kepada Mahkamah Agung ataupun kepada Pengadilan tingkat pertama. Bahkan lembaga-lembaga tinggi negara seperti Presiden, DPR, dan BPK dapat pula mengajukan permohonan kepada MA untuk menguji suatu UU yang telah disahkan oleh DPR, atau suatu UU yang direncanakan untuk dicabut tetapi tidak disetujui oleh DPR atau sebaliknya oleh Presiden.
Dalam rangka menjamin ‘check and balance’ antara Presiden dan DPR, perlu diatur bahwa masing-masing pihak mempunyai hak veto untuk mencegah agar salah satu pihak bertindak sewenang-wenang dalam melaksanakan wewenang legislatif yang dimilikinya. Misalnya, meskipun dalam UUD 1945 Pasal 5 ayat (1) baru dinyatakan bahwa kekuasaan membentuk UU berada pada DPR, tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 20 dinyatakan bahwa setiap UU membutuhkan pengesahan oleh Presiden. Dengan adanya wewenang mengesahkan UU di tangan Presiden ini, maka dapat dikatakan bahwa Presiden memiliki hak veto untuk mengesahkan atau tidak mengesahkan suatu UU yang telah disetujui oleh DPR, misalnya melalui pemungutan suara yang mengalahkan kepentingan pemerintah dan partai pemerintah. Meskipun belum diatur dalam UUD 1945, tetapi adanya hak veto ini, nantinya sebaiknya diatur pembatasannya lebih tegas, sehingga tidak semua UU dapat diveto oleh Presiden.
Misalnya, dapat ditentukan bahwa apabila suatu UU yang telah mendapat persetujuan DPR tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 2 minggu, maka UU tersebut dapat dibahas kembali oleh DPR. Jika dalam pemungutan suara ulangan ternyata suara pendukung UU itu lebih banyak dari persidangan sebelumnya, maka dapat ditentukan bahwa Presiden diwajibkan oleh hukum untuk mengensahkan RUU tersebut menjadi UU. Kemungkinan kedua adalah, jika RUU tersebut misalnya telah mendapatkan persetujuan anggota DPR dengan suara lebih dari 2/3 jumlah anggota DPR, maka RUU yang telah disetujui DPR itu, demi hukum wajib disahkan oleh Presiden, tanpa perlu dibahas ulang oleh DPR seperti dalam kasus pertama di atas. Ketentuan demikian ini, dapat dinilai logis sebagai konsekwensi diberlakukannya sistem pemisahan kekuasaan dimana kekuasaan membentuk UU secara tegas dipindahkan dari tangan Presiden seperti dalam rumusan lama ke lembaga DPR melalui Perubahan Pertama UUD 1945.
Dalam hal terjadi, kasus yang demikian itu, maka Presiden dapat diberi hak untuk mengajukan permohonan pengujian materiel UU tersebut terhadap UUD. Mahkamah Agunglah selanjutnya yang akan memutuskan apakah UU tersebut dapat diberlakukan atau tidak dengan menggunakan kriteria Undang-Undang Dasar. Banyak lagi contoh lain yang dapat dikemukakan sehubungan dengan pengujian materi UU ini. Yang jelas semua pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung ataupun kepada Pengadilan Tingkat Pertama dalam wilayah hukum pemohon untuk menguji produk peraturan perundang-undangan mulai dari tingkat UU sampai ke bawah dengan pertimbangan:
a. Peraturan tersebut bertentangan dengan UUD dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari peraturan yang diuji.
b. Peraturan tersebut dikeluarkan atau ditetapkan oleh institusi atau pejabat yang tidak berwenang untuk menetapkan peraturan yang bersangkutan.
c. Peraturan tersebut ditetapkan dengan cara yang menyimpang dari tatacara pembuatan peraturan yang lazim berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Peraturan tersebut terbukti dibuat atau dikeluarkan untuk maksud-maksud yang bertentangan dengan hukum dan kepatutan, misalnya, sengaja dibuat untuk tujuan penyalahgunaan wewenang atau untuk tujuan korupsi dan korupsi untuk keuntungan pribadi pejabat yang bersangkutan.
PENGAWASAN TERHADAP HAKIM AGUNG
1. Pengawasan Internal dan Eksternal:
Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas para hakim agung, perlu diatur adanya dua jenis pengawasan, yaitu pengawasan internal dilakukan oleh Badan Pengawas pada Mahkamah Agung. Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas ini bersifat internal dan berfungsi sebagai pengawas terhadap pelaksanaan tugas-tugas peradilan di semua tingkatan dan di seluruh wilayah hukum peradilan Republik Indonesia. Sedangkan pengawasan yang bersifat eksternal dilakukan oleh sebuah komisi independen yang dinamakan Komisi Yudisial. Keberadaan lembaga pengawas eksternal ini penting agar proses pengawasan dapat benar-benar bertindak objektif untuk kepentingan pengembangan sistem peradilan yang bersih, efektif dan efisien. Agar Komisi Yudisial ini dapat benar-benar bersifat independen, maka administrasi komisi ini sebaiknya tidak dikaitkan dengan organisasi Mahkamah Agung, tetapi sebaik dengan lembaga DPR. Demikian pula mengenai anggaran Komisi Yudisial sebaiknya tidak dimasukkan dalam satu pos anggaran Mahkamah Agung, tetapi dalam pos anggaran DPR.
Di samping itu, Komisi Yudisial sebaiknya berkedudukan hanya di Jakarta, dan keanggotaannya ditentukan hanya berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas 3 orang mantan hakim agung, 2 orang advokat, 2 orang tokoh masyarakat/tokoh agama, dan 2 orang akademisi. Melihat lingkup wewenangnya, ditambah kompleksitas permasalahan yang dihadapi serta luasnya wilayah Indonesia yang memerlukan pengawasan oleh Komisi ini, perlu dipertimbangkan bahwa Komisi Yudisial ini tidak hanya dibentuk di Jakarta untuk mengawasi para Hakim Agung, tetapi juga dibentuk di daerah-daerah tempat kedudukan Pengadilan Tinggi, sehingga Komisi Yudisial ini benar-benar dapat difungsikan sebagai lembaga pengawas eksternal yang efektif terhadap tugas-tugas peradilan di semua tingkatan. Seperti halnya di tingkat pusat, di daerah-daerah keberadaan Komisi Yudisial ini juga dikaitkan dengan DPRD .
2. Pengawasan oleh Masyarakat:
Dalam masyarakat, berkembang ide pengawasan oleh masyarakat, dapat dikatakan baik. Akan tetapi, pengawasan oleh masyarakat tersebut sebaiknya dikaitkan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan oleh DPR yang sebagian telah pula dilimpahkan menjadi tugas dan fungsi Komisi Yudisial. Oleh karena itu, segala jenis keluhan dan laporan dari masyarakat berkenaan dengan tindakan Hakim Agung ataupun pejabat peradilan kasasi pada umumnya yang merugikan kepentingan masyarakat, sebaiknya diserahkan atau disampaikan kepada DPR atau kepada Komisi Yudisial, bukan kepada pimpinan Mahkamah Agung ataupun kepada Hakim Agung.
Di samping itu, Hakim Agung juga tidak seharusnya dibebani dengan kewajiban untuk memberikan informasi kepada masyarakat, dan untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan langsung oleh masyarakat, karena ditetapkannya jaminan hak bagi masyarakat untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi tentang penyelenggaraan peradilan dan putusan hakim dengan segala sarana yang tersedia. Fungsi pemberian informasi semacam ini sebaiknya cukup ditangani oleh Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung, tanpa perlu melibatkan tanggungjawab Hakim Agung. Demikian pula mengenai hak masyarakat untuk melaporkan mengenai pelanggaran ataupun tindakan-tindakan Hakim Agung ataupun para pejabat di lingkungan Mahkamah Agung yang dianggap merugikan kepentingan masyarakat, tidak perlu dikaitkan dengan Hakim Agung dan Mahkamah Agung, tetapi cukup dikaitkan dengan Komisi Yudisial. Justru dibentuknya Komisi Yudisial itu adalah untuk menangani laporan-laporan dari masyarakat semacam itu.
Oleh karena itu, saya sendiri belum dapat memberikan penilaian, apakah usul mengenai Peranserta Masyarakat memang perlu dicantumkan dalam UU. Lagi pula, prinsip kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman itu sendiri memang sebaiknya dilepaskan dari pengaruh-pengaruh politik dan kekuasaan, baik yang datang dari Pemerintah maupun yang datangnya dari masyarakat sendiri. Kita sendiri dapat menyaksikan betapa kerusuhan-kerusuhan dan unjuk rasa yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat, dapat berfungsi sebagai kekuatan penekan yang efektif. Tidaklah mustahil bahwa kekuatan-kekuatan penekan itu juga dapat mempengaruhi proses peradilan yang seharusnya bebas dan tidak memihak. Jangan sampai diaturnya mengenai peranserta masyarakat itu justru mempengaruhi upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri. Apalagi, sejauh menyangkut proses pengawasan untuk menjamin terjadinya ‘check and balance’ antara kekuasaan eksekutif dan legislatif terhadap kekuasaan judikatif, telah diciptakan mekanismenya dengan memberikan peranan kepada lembaga DPR dan bahkan secara khusus melalui Komisi Yudisial yang saya usulkan dikaitkan dengan lembaga DPR-RI, bukan dengan Mahkamah Agung itu sendiri.
3. Tanggungjawab Pelaporan oleh Mahkamah Agung:
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dapat pula dipersoalkan mengenai perlunya mengatur agar Mahkamah Agung dapat menyampaikan laporan tahunan kepada MPR. Laporan Tahunan ini disampaikan kepada MPR dan dipublikasi secara terbuka kepada masyarakat luas. Dengan kewajiban memberikan laporan resmi tiap-tiap tahun ini, masyarakat luas akan terus mengikuti perkembangan gerak dan kinerja kekuasaan kehakiman kita, sehingga dapat diharapkan adanya umpan balik yang positif terhadap upaya membangun citra kekuasaan kehakiman yang bersih dan profesional. Kecuali jika nanti lembaga MPR sudah direstrukturisasi, maka dengan mekanisme pelaporan kepada MPR seperti ini, kita dapat mempertegas kedudukan MPR sebagai lembaga yang benar-benar tertinggi.
KEKUASAN KEHAKIMAN 1 ATAP DAN STATUS PENGADILAN AGAMA
Sejak lama diimpikan bahwa sistem kekuasaan kehakiman itu dikembangkan menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung. Dengan demikian, pembinaan administrasi badan-badan peradilan yang selama di tangani secara terpisah-pisah di bawah beberapa departemen pemerintahan, dapat direorganisasikan seluruhnya di bawah pembinaan Mahkamah Agung. Akan tetapi, hal ini haruslah dilaksanakan secara bertahap dan berhati-hati. Kita tidak boleh mengeneralisasikan tingkat perkembangan masing-masing cabang peradilan yang tumbuh dan berkembang dalam sejarah peradilan di tanah air kita. Pengadilan Agama sebagai satu satu jenis peradilan yang diakui dalam sistem hukum nasional, termasuk di antara lembaga peradilan yang memerlukan pengkajian yang bersifat khusus. Di dalamnya terkait faktor kesejarahan yang panjang sebagai benteng sistem hukum dan peradilan kaum pribumi Muslim yang secara langsung berhadapan dengan penajajah Belanda yang memaksakan berlakunya sistem hukum barat yang bersifat sekular.
Di samping itu, bidang hukum yang menjadi kompetensi sistem peradilan agama itu juga bersifat sangat khusus, yaitu berkenaan dengan perkara kekeluargaan yang sangat sensitif dan memerlukan pendekatan yang berbeda dari kebanyakan permasalahan hukum yang timbul dalam masyarakat. Masalah hukum kekeluargaan tidak semata-mata menyangkut persoalan teknis dan rasional, melainkan menyangkut pula soal-soal psikologis serta soal-soal kerahasiaan pribadi dan keluarga yang perlu penanganan dan pengelolaan yang bersifat. Lagi pula, keberadaan lembaga-lembaga peradilan agama itu juga sangat akrab dengan kehidupan keseharian masyarakat luas, termasuk dalam hubungan dengan tokoh-tokoh ulama yang dekat dengan masyarakat. Sistem administrasi dan manajemen pengadilan agama ini tidak boleh dibuat kaku dan dibiarkan terasing dari masyarakatnya.
Bahkan setelah Indonesia, sejarah lembaga pengadilan agama itu terkait erat dengan sejarah Departemen Agama. Pilar utama keberadaan Departemen Agama itu adalah Pengadilan Agama. Jika suatu hari nanti, Departemen Agama dianggap tidak lagi diperlukan keberadaannya dalam struktur pemerintahan Republik Indonesia, barulah keberadaan Pengadilan Agama dalam lingkungan pembinaan administratif di lingkungan Departemen Agama dapat dipindahkan ke Mahkamah Agung.
Atas dasar pertimbangan demikian itulah maka saya mengusulkan agar dalam upaya mengembangkan sistem kekuasaan kehakiman yang utuh di bawah Mahkamah Agung, kedudukan Pengadilan Agama untuk sementara waktu tetap dibiarkan dibina di bawah organisasi pemerintah, yaitu di bawah Departemen Agama. Namun, pada saatnya nanti, administrasi pembinaan peradilan agama tidak mungkin terus menerus dipisahkan dari lingkungan kekuasaan kehakiman pada umumnya. Jika pembinaannya terus menerus disendirikan, besar kemungkinan perkembangannya akan mengalami hambatan. Karena itu, memang perlu dilakukan langkah-langkah konkrit, terencana dan sistematis sehingga pada saatnya nanti, administrasi pembinaan peradilan agama juga diintegrasikan ke dalam sistem pembinaan oleh Mahkamah Agung.
Dalam proses persiapan itu, sudah seharusnya, pembinaan profesionalisme dan pengembangan kesejahteraan hakim serta penataan kelembagaan pengadilan agama perlu terus ditingkatkan dan dimantapkan sesuai dengan perkembangan keadaan. Semua hak dan kewajiban hakim dan badan-badan pengadilan agama haruslah dikembangkan sama dengan apa yang dikembangkan dengan lembaga pengadilan lainnya. Dengan demikian, tidak akan ada anak tiri dan anak emas, ataupun badan peradilan agama yang dipandang lebih tinggi ataupun lebih rendah daripada lembaga pengadilan lainnya.

oleh: Jimly Asshiddiqie