Selasa, 30 Juni 2009

Membaca Trend Politik Terkini*

Hasil pilkada di beberapa wilayah Indonesia menunjukkan trend meningkatnya jumlah yang tidak memilih (golput). Dalam pilkada Jawa Barat di Jawa Barat hanya diikuti 65% rakyat. Ini berarti golput sebesar 35%, mengalahkan pasangan pemenang pilgub Jabar yang 26%. Menurut Lembaga Survei Indonesia, jumlah pemilih golput dalam Pilgub Sumatera Utara sekitar 41% rakyat tidak ikut memilih.Dalam pilgub DKI Jakarta, 39,2% golput. Nilai ini setara dengan 2,25 juta orang pemilih, sementara Fauzi Bowo dipilih 2 juta orang pemilih (35,1%). Untuk pilgub Jawa Tengah angka golput sangat tinggi, mendekati 50%. Sementara tempat lain juga cukup tinggi seperti Kalsel (40%), Sumbar (37 %), Jambi (34 %), Banten 40%, Kepri 46 %..
Tingginya tingkat golput ini sejalan dengan kecendrungan semakin melemahnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada partai politik berdasarkan hasil survey selama ini . Hal ini tercermin dari ketidakpercayaan masyarkat terhadap wakil-wakil partai politik di DPR. Jejak pendapat Kompas (10/3/2008) menggambarkan 68,5 % dari responden menganggap kinerja DPR buruk ; 84% mengatakan DPR tidak serius awasi kerja pemerintah, 52,5 % UU produk DPR tidak memihak kepada rakyat.

Dalam survey terbaru CSIS tentang prilaku pemilih (Juli 2008) tergambar loyalitas pemilih pemilu 2004 untuk memilih kembali partai yang sama pada pemilu 2009 memang cukup beragam. Loyalitas pemilih PKS sangat tinggi. Sebanyak 75,4 persen pemilih yang pada Pemilu 2004 lalu memilih PKS, menyatakan akan kembali memilih PKS pada Pemilu 2009, sedangkan loyalitas pemilih Partai Golkar sebesar 61 persen, diikuti PDIP sebesar 55,1 persen. Sementara loyalitas terhadap PAN, PPP, PD turun secara drastis.

Berkaitan dengan partai Islam, Lembaga Survey Indonesia (oktober 2007) menggambarkan dukungan terhadap dua partai yang dikenal sebagai partai Islam PKS dan PPP cendrung stagnan kalau bukan dikatakan menurun. LSI juga menilai PKS dan PPP justru semakin sekuler.
Namun yang menarik hasil beberapa survey menunjukkan dukungan terhadap syariah Islam meningkat. Survey Roy Morgan Research yang terbaru (Juni 2008) mengatakan : 52 persen rakyat Indonesia menuntut Penerapan Syariah Islam. Hal ini sejalan dengan hasil survey yang dilakukan oleh lembaga lainnya sebelumnya. Hasil survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 dan 2002 (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002). Hasil survei menunjukkan: sebanyak 67% (2002) responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Padahal survei sebelumnya (2001) hanya 57,8% responden yang setuju dengan pendapat demikian. Berarti peningkatannya cukup signifikan, yakni sekitar 10%.

Hal ini juga sejalan dengan dengan hasil Survei www.WorldPublicOpinion.org, yang dilaksanakan di empat negara Islam – Indonesia, Pakistan, Mesir, dan Maroko — Desember 2006 sampai Februari 2007, menunjukkan bahwa mayoritas (2/3 responden) menyetujui penyatuan semua negara Islam ke dalam sebuah pemerintahan Islam (khilafah). Hasil survei itu juga – bekerjasama dengan University of Maryland – memperlihatkan bahwa mayoritas responden (sekitar 3/4) setuju dengan upaya untuk mewajibkan syariat Islam di tengah masyarakat, sekalian mencampakkan nilai-nilai Barat dari seluruh negari Islam Khusus untuk Indonesia, survei menunjukkan mayoritas (53%) responden menyetujui pelaksanaan Syariat Islam.

Kita tentu sah-sah saja tidak setuju 100 persen terhadap hasil survey diatas. Tentu saja ada hasil survey lain yang hasilnya berbeda. Termasuk saja sah saja kita mengatakan mengatakan hasil survey belum tentu menunjukkan sepenuhnya kenyataaan yang ada. Namun yang jelas dari berbagai survey ada kecendrungan yang sulit ditolak bahwa masyarakat semakin apatis terhadap demokrasi dan sebaliknya kecendrungan terhadap untuk mendukung syariah semakin meningkat. Artinya, ini bisa menjadi indicator penting.
Kecendrungan diatas bisa jadi menunjukkan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap system demokrasi semakin menurun. Proses politik seperti pilkada bisa jadi dianggap tidak memberikan kebaikan kepada masyarakat. Disamping biaya demokrasi yang mahal , konflik horizontal akibat kisruh pilkada dianggap mengancam kestabilan di tengah masyarakat seperti yang terjadi di Maluku Utara.

Partai Politik yang menjadi aktor utama demokrasi pun semakin tidak dipercaya. Kesetiaan mereka terhadap beberapa partai juga melemah. Partai Politik juga dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Kecendrungan parpol yang tidak serius membendung kebijakan yang tidak pro rakyat seperti kenaikan BBM, menjadi point penting. Wakil-wakil parpol pun dianggap memiliki andil besar menggolkan UU yang justru menambah derita rakyat.

Sementara kepercayaan terhadap partai politik yang disebut-sebut berasas Islam juga melemah. Hal ini bisa terjadi karena partai yang berasas Islam juga tidak mencerminkan jati dirinya sebagai benar-benar partai Islam. Kecendrungan partai Islam yang pragmatis dan beberapa anggotanya terlibat skandal juga semakin menurunkan kepercayaan terhadap partai politik Islam yang ikut pemilu. Apalagi ada kecendrungan partai –partai yang berlebel Islam justru semakin mengarah kepada sekuler (Hasil survey LSI 2007).

Namun sebaliknya, dukungan terhadap penerapan syariah Islam justru meningkat. Tentu saja ini menarik. Dukungan terhadap parpol melemah, termasuk ke parpol Islam yang selama ini ikut pemilu, disisi lain kesadaran terhadap syariah Islam meningkat. Hal ini sangat mungkin menunjukkan keberhasilan kelompok Islam yang berjuang bukan lewat pemilu tapi bergerak langsung di tengah masyarakat seperti Hizbut Tahrir yang gencar mengkampanyekan penerapan syariah Islam dan Khilafah. Peran kelompok Islam seperti yang dilaporkan ICG (2008) semakin menguat. Kecendrungan yang dianggap mengkhawatirkan oleh kelompok sekuler.

International Crisis Group (ICG) yang berpusat di Brussels dalam laporan terbarunya mengkhawatirkan meningkatnya pengaruh kelompok yang disebutnya sebagai garis keras (hardline Islamic Groups) di Indonesia. Salah satu yang disoroti ICG adalah FUI (Forum Umat Islam) dan Hizbut Tahrir Indonesia. Menurutnya ICG, Hizbut Tahrir telah memperluas koalisinya beraktifitas bersama kelompok Islam lainnya di FUI (Forum Umat Islam) yang dibentuk tahun 2005. Sejumlah demontrasi massa mendukung RUU anti pornografi, menentang aliran sesat, mendukung larangan terhadap Ahmadiyah dan menentang kenaikan harga BBM dilakukan.

Kecendrungan menguatnya syariah Islam ini semakin membuktikan upaya penyadaran terhadap umat yang dilakukan selama ini telah membuahkan hasil. Hal ini sekaligus membantah anggapan segelintir pihak yang mengatakan bahwa dakwah yang dilakukan di luar parlemen adalah sia-sia dan tidak ada artinya. Ada juga yang dengan sinis mengatakan : hanya bicara dan teriak diluar. Mereka mungkin lupa Rosulullah saw dalam dakwahnya belasan tahun di Makkah juga bermodalkan bicara untuk menyadarkan masyarakat. Rosulullah SAW istiqomah tidak mau terlibat dalam setiap system kufur yang bukan hanya bertentangan dengan perintah Allah SWT tapi juga pasti akan mendatangkan kegagalan.

Tentu saja tidak bisa dikatakan telah berhasil secara sempurna. Namun perjuangan yang terus menerus , istiqomah , dengan tetap berpegang teguh pada thoriqoh (metode) Rosulullah saw, insya Allah akan menghantarkan kepada keberhasilan dakwah yang sejati. Yakni tegaknya syariah dan Khilafah yang mensejahterakan rakyat, menjamin keamanan, baik untuk muslim maupun non muslim.

Hal ini bisa terjadi kalau masyarakat yang sadar akan kewajiban syariah Islam bergerak bersama dengan dukungan ahlul quwwah (yang memiliki kekuatan politik riil seperti militer). Seperti masyarakat madinah yang sadar dan rindu akan Islam, didukung oleh ahlul quwwah madinah dari Aus dan Khazraj, menyambut pemimpin baru, kepala negara yang baru Rosulullah dengan system yang baru yakni Daulah Islam yang menerapkan syariah Islam

* dari Hizbut-tahrir.or.id

Parliamentary Threshold ubah Wajah Partai Nasional ke Partai Lokal


Sebanyak sembilan partai politik lolos dari Parliamentary Threshold (PT) atau ambang batas perolehan suara sebanyak 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional.

Pada Pemilu 2009 yang berjumlah sebanyak 104.099.785 suara. Menurut hasil rekapitulasi nasional yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum:

  1. Demokrat dengan 21.703.137 suara atau 20,85 persen,
  2. Golkar dengan 15.037.757 suara atau 14,45 persen,
  3. PDIP dengan 14.600.091 suara atau 14,03 persen.
  4. PKS dengan 8.206.955 suara atau 7,88 persen,
  5. PAN dengan 6.254.580 suara atau 6,01 persen,
  6. PPP dengan 5.533.214 suara atau 5,32 persen
  7. PKB dengan 5.146.122 atau 4,94 persen,
  8. Gerindra dengan 4.646.406 suara atau 4,46 persen,
  9. Hanura dengan 3.922.870 suara atau 3,77 persen[1].

Sementara disatu sisi Parliamentary Threshold tidak tegasnya desain ini. Di satu sisi, PT bermakna adanya disinsentif terhadap partai-partai peserta pemilu. Jika tidak lolos PT, peserta pemilu tidak akan mendapat satu kursi pun di DPR. Di sisi lain, peserta pemilu masih diberikan insentif, yakni kesempatan menempatkan wakil di DPRD. Hal ini terjadi karena PT hanya berlaku untuk DPR, bukan DPRD.

Desain PT juga memunculkan ”partai-partai lokal” dalam wajah yang lain. Di antara partai-partai yang tidak lolos PT itu, ada yang memiliki basis dukungan lokal yang lumayan.

Di Jawa Timur, misalnya, ada PKNU yang meraih kursi lumayan di DPRD provinsi dan di sejumlah DPRD kabupaten/ kota. Di daerah dan kota yang memiliki umat Kristiani besar, ada PDS yang memiliki kursi lumayan. Partai-partai lain juga ada yang memiliki basis dukungan lokal yang cukup kuat[2].

Realitas ini secara tidak langsung telah memenuhi harapan banyak aktivis demokrasi bahwa di daerah seharusnya diperbolehkan berdiri partai-partai lokal, sebagaimana terjadi di Aceh.

Partai-partai lokal itu diharapkan memiliki koneksitas lebih baik dengan pemilih karena kedekatannya dengan konstituen, berikut penguasaan isu-isu lokal. Partai-partai lokal diyakini memiliki keunggulan dalam memperjuangkan aneka kepentingan masyarakat lokal.

Meski belum ada aturan yang memungkinkan partai lokal berdiri di luar Aceh, setelah Pemilu 2009 akan muncul ”partai- partai lokal” yang langsung menempatkan wakilnya di DPRD, yakni partai-partai yang tidak lolos PT tetapi memiliki suara lumayan di tingkat lokal.

Hanya saja, partai-partai nasional yang berbaju ”partai lokal” itu mau tidak mau harus mengubah orientasinya, paling tidak untuk sementara. Jika sebelumnya mereka lebih banyak mengangkat dan terlibat dalam isu-isu nasional, setelah itu harus berfokus pada isu-isu lokal.

Hanya saja, dilemanya adalah pada pemilu berikut ”partai-partai lokal” itu akan bermetamorfosis kembali menjadi partai nasional. Perubahan ini dimungkinkan karena mereka masih memiliki ambisi duduk di DPR. Selain itu, untuk menjadi ”partai lokal” pun, mereka harus berkompetisi di tingkat nasional. Hal ini tidak lepas dari fakta, secara kelembagaan, mereka sesungguhnya bukan partai lokal.


[1] Hasil rekapitulasi KPU sabtu, 9 mei 2009

[2] Anonim. Wajah Lain Partai Lokal. Kompas.online Selasa, 21 April 2009

Representasi Masyarakat Daerah Lewat Partai Lokal (Partai Lokal sebagai alternatif pendewasaan politik)



Belajar dari pengalaman yang di Nangro Aceh Darusallam (NAD), yakni diberikan keistemewaan luar biasa, dengan adanya partai lokal, Partai politik lokal yang didirikan di didaerah tersebut, ini diasumsikan untuk menampung aspirasi politik eks GAM maupun dari elit politik lainnya yang menganggap bahwa partai politik yang ada tidak cukup mampu menampung aspirasi politiknya terutama aspirasi politik masyarakat daerah.

Harus dipahami bahwa keberadaan partai politik lokal merupakan satu terobosan yang signifikan bagi upaya memperkuat partisipasi dan demokrasi daerah. Keberadaan partai lokal menjadi jembatan politik antara masyarakat daerah dengan elit politik, yang selama ini dapat dikatakan senjang. Keberadaan partai lokal pun bukan sesuatu yang baru di Indonesia, setidaknya pada Pemilu tahun 1955 tercatat sedikitnya ada enam partai politik lokal yang berpartisipasi, yakni: Partai Rakyat Desa (PRD), Partai Rakyat Indonesia Merdeka (PRIM), Partai Tani Indonesia, Gerakan Banteng, dan Partai Persatuan Daya. Menariknya, ada dari partai politik lokal tersebut mendapatkan kursi di parlemen nasional, yakni Partai Persatuan Daya. Ini artinya bahwa langkah untuk mendorong perkembangan partai politik lokal di banyak daerah merupakan langkah strategis bagi penguatan eksistensi daerah terhadap pusat, yang ujungnya akan makin membangun kaitan tali-temali politik yang berkesinambungan antara kepentingan politik pusat dan daerah[1].

Realitas ini secara tidak langsung telah memenuhi harapan banyak aktivis demokrasi bahwa di daerah seharusnya diperbolehkan berdiri partai-partai lokal, sebagaimana terjadi di Aceh. Partai-partai lokal itu diharapkan memiliki koneksitas lebih baik dengan pemilih karena kedekatannya dengan konstituen, berikut penguasaan isu-isu lokal. Partai-partai lokal diyakini memiliki keunggulan dalam memperjuangkan aneka kepentingan masyarakat lokal.

Namun upaya untuk mengeksperimenkannya ke daerah-daerah lain harus menjadi satu agenda penting. Sebab partai politik lokal dalam konteks Indonesia menjadi salah satu alternatif pemecahan kebuntuan politik perihal pembangunan dan penguatan politik dan potensi lokal. Bahwa secara prinsip pelaksanaan pilkada berlangsung aman dan sukses. Akan tetapi bila ditilik dari tingkat partisipasi politik masyarakat ada penyusutan yang signifikan. Padahal secara teoretis, dalam fase demokrasi transisi, kurangnya partisipasi politik masyarakat hanya akan mengembalikan sirkulasi dan regulasi politik ke lingkaran segelintir elit politik saja.

Ada enam keuntungan politik apabila partai politik lokal dibiarkan tumbuh subur dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertama, partisipasi politik masyarakat akan tersalurkan dalam wadah dan partai politik yang memiliki warna yang sesuai dengan karakter dan lokalitas daerah dan wilayahnya. Partisipasi politik semacam ini akan makin mendekatkan pemimpin dengan masyarakatnya, sehingga terbangun jembatan politik yang mampu mewujudkan tata kelola kebijakan yang berbasis pada aspirasi politik masyarakat.

Kedua, keberadaan partai politik lokal secara subtansi memagari keinginan untuk menuntut kemerdekaan dan pemerintahan sendiri. Hal ini dikarenakan masyarakat secara terbuka dan aktif terlibat dalam proses pemilihan pemimpinnya, tanpa campur tangan pemerintah pusat. Karakteristik kepemimpinan politik yang dihasilkan akan mengikuti selera politik masyarakatnya, sehingga peran pemerintah pusat hanya menjadi penegas dari hasil tersebut.

Ketiga, rekruitmen politik lebih jelas dan berbasis dari masyarakat sendiri. Rekruitmen tersebut menjadi isu yang signifikan karena kerap kali calon-calon dalam pilkada tidak berbasis di daerah dan wilayahnya, sehingga dapat dilihat sebagai langkah mundur dalam penguatan politik lokal. Rekruitmen politik untuk mengisi posisi-posisi strategis di daerah, akan makin kuat legitimasinya apabila diperoleh dari seleksi yang dilakukan di sejumlah partai politik lokal, dan hasil dari kontestasi pilkada. Dengan berbasis pada dukungan partai politik lokal, seleksi kepemimpinan di wilayah yang bersangkutan akan lebih selektif dan efektif. Hal ini dikarenakan partai politik lokal yang akan menyeleksi calon-calon diasumsikan lebih tahu karakteristik dan potensi daerahnya. Sehingga dengan adanya partai politik lokal, saringan terhadap potensi kepemimpinan daerah yang bersangkutan akan lebih baik lagi.

Keempat, partai politik lokal secara prinsip menambah pilihan politik bagi masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya. Beragamnya pilihan calon yang diusung dengan berbagai kendaraan politik secara inheren melakukan pendidikan politik masyarakat. Sehingga yang terbangun tidak hanya sekedar sentimen daerah atau lokal saja yang terbangun, tapi juga pembangunan kesadaran dan pendidikan politik bagi masyarakat perihal calon-calon yang ada kepada masyarakat. Sebab, harus diakui salah satu peluang yang harus diminimalisir dalam pembangunan partai politik lokal adalah terbangunnya sentimen kedaerahan yang membabi buta. Yang pada akhirnya menghilangkan semangat dan tujuan positif dari adanya partai politik lokal.

Kelima, tereksploitasinya segenap potensi daerah untuk bersama-sama membangun daerah dan wilayahnya secara konstruktif. Keberadaan potensi daerah yang tidak muncul saat menggunakan sistem kepartaian nasional, karena adanya campur tangan pusat, maupun dewan pimpinan pusat partai bersangkutan dalam pencalonan dan seleksi kandidat akan tereduksi dengan diperbolehkannya partai politik lokal. Hal ini menjadi salah satu peluang bagi potensi lokal yang selama ini tidak terakomodasi untuk membuktikan kapasitasnya lewat kendaraan politik partai politik lokal.

Keenam, dengan adanya partai politik lokal diasumsikan akan memberikan garansi regenerasi kepemimpinan politik di daerah yang berkesinambungan. Regenerasi kepemimpinan politik di daerah tidak lagi terinterupsi oleh kepentingan pemerintah pusat atau pengurus partai di tingkat pusat yang hanya akan memaksakan calon-calon dropping dari dewan pimpinan partai atau rekayasa pemerintah pusat. Regenerasi kepemimpinan politik yang berkesinambungan memberikan harapan bagi masyarakat untuk secara bersungguh-sungguh memberikan aspirasi politiknya agar daerahnya lebih maju, dengan tetap memperhatikan asas tata kelola pemerintahan yang baik.

Dari enam keuntungan politik perihal sebaran partai politik lokal di daerah-daerah, yang mengeksploitasi keberadaan partai politik lokal sebagai salah satu kontestan yang menjadi kendaraan politik. Sehingga dibutuhkan dua syarat bagi penguatan demokrasi lokal, dengan salah satunya melakukan eksperementasi politik partai politik local ke daerah lain dengan tetap dalam bingkai NKRI.

[1] Muradi. Partai Politik Lokal: Demokrasi atau Disintegrasi?. Muradi chark.woordpress.com

Kedudukan DPRD Sebagai Lembaga Politik Rakyat Daerah Dihadapkan Sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah


Pemerintahan daerah yang baik dan bersih (good local governance and clean local governance) merupakan issue yang paling mengemuka dewasa ini. Tuntutan gagasan yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat di samping adanya globalisasi pergeseran paradigma pemerintahan dari “rulling government” yang terus bergerak menuju “good governance” dipahami sebagai suatu fenomena berdemokrasi secara adil. Untuk itu perlu memperkuat peran dan fungsi DPRD agar eksekutif dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan proporsional.

Untuk menghindari adanya kooptasi politik antara kepala Daerah dengan DPRD maupun sebaliknya perlu dijalankan melalui prinsip “Check and Balances” artinya adanya keseimbangan, serta dengan adanya pengawasan terus menerus terhadap kewenangan yang diberikannya. Dengan demikian anggota DPRD dapat dikatakan memiliki akuntabilitas, manakala memiliki “rasa tanggung jawab” dan “kemampuan” yang profesional dalam menjalankan peran dan fungsinya tersebut. Sehingga penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi dinamis.

Sebagai lembaga politik dalam kerangka inilah DPRD mestinya diletakkan. DPRD sebagai lembaga politik melahirkan dua konsekuensi. Pertama, wewenang dan tugas serta implikasi dari wewenang DPRD akan selalu terkait dengan konteks ‘kompetisi’ politik dengan cabang-cabang kekuasaan lainnya. Kerangkanya adalah kompetisi yang menghasilkan pembatasan kekuasaan dan keseimbangan relatif relasi politik. Karena itu, kerjanya tidak bisa dinilai secara hitam-putih, secara biasa dalam ukuran kuantitas ataupun kualitas. Akan selalu ada konteks politik di atas di baliknya atau sebagai implikasinya. Kedua, dimensi politik lainnya dari DPRD adalah dalam hal perannya yang disebut diawal tadi, yaitu sebagai lembaga yang dianggap mewakili masyarakat melalui prosedur pemilihan umum. Dalam bahasa yang berbeda, Daniel Dhakidae menamakan fungsi parlemen sebagai “kuasa wicara” rakyat. Dalam fungsi ini, ada tiga faktor yang seharusnya dijadikan tolok ukur ketika melihat bagaimana peran ini dilakukan, yaitu: kepekaan politik mereka sebagai “wakil rakyat”, kemahiran teknis mereka dalam mengolah dan mengelola aspirasi rakyat yang didapatnya sebagai wakil rakyat, dan batasan-batasan perilaku yang tertuang dalam etika[1].

Konsekuensi pertama DPRD sebagi lembaga politik, yakni mereka secara kolektif harus mampu mengarahkan DPRD pada kapasitas dan kualitas politiknya sebagai lembaga politik yang merefresentasikan rakyat daerah dan tidak hanya cermin dari partai yang mengusung. Sedangkan konsekuensi kedua menciptakan implikasi bahwa lembaga DPRD harus berorientasi pada pelayanan publik.

DPRD sebagai lembaga legislatif yang kedudukannya sebagai wakil rakyat tidak mungkin melepaskan dirinya dari kehidupan rakyat yang diwakilinya. Oleh karena itu secara material mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada rakyat atau publik yang diwakilinya. DPRD sebagai wakil rakyat dalam tindakan dan perbuatan harus menyesuaikan dengan norma-norma yang dianut dan berlaku dalam kebudayaan rakyat yang diwakilinya. Dengan demikian DPRD tidak akan melakukan perbuatan yang tidak terpuji, menguntungkan pribadi dan membebani anggaran rakyat untuk kepentingannya. Dengan memahami etika pemerintahan diharapkan dapat mengurangi tindakan-tindakan yang tercela, tidak terpuji dan merugikan masyarakat. Untuk itu perlu kiranya dibuatkan “kode etik” untuk para anggota DPRD yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan peran dan fungsinya, sehingga kewenangan yang besar juga disertai dengan tanggung jawab yang besar pula. Sosok ideal DPRD yang bermoral, aspiratif dengan kepentingan rakyat, dan selalu memperjuangkan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Kuncinya baik eksekutif maupun legislatif harus terjalin komunikasi timbal balik dan adanya keterbukaan diantara para pihak dalam penyelesaian segala permasalahan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya[2].

Optimalisasi peran DPRD merupakan kebutuhan yang harus segera diupayakan jalan keluarnya, agar dapat melaksanakan tugas, wewenang, dan hak-haknya secara efektif sebagai lembaga legislatif daerah. Optimalisasi peran ini sangat tergantung dari tingkat kemampuan anggota DPRD politik dan menguasai pengetahuan yang cukup tentang teknis penyelenggaraan pemerintahan, teknis pengawasan, penyusunan anggaran, maka salah satu upaya yang dilakukan dapat diidentikkan dengan upaya peningkatan kualitas anggota DPRD. Buah dari peningkatan kualitas dapat diukur dari seberapa besar peran DPRD dari sisi kemitra sejajaran dengan lembaga eksekutif dalam menyusun anggaran, menyusun dan menetapkan berbagai Peraturan Daerah, serta dari sisi kontrol adalah sejauhmana DPRD melakukan pengawasan secara efektif terhadap Kepala Daerah dalam pelaksanaan APBD atau kebijakan publik yang telah ditetapkan[3]



[1] Bivitri Susanti et all. Op cit.

[2] H.A. Kartiwa. Implementasi Peran dan Fungsi DPRD dalam Rangka Mewujudkan “good governance”. Unpad. Hal 1

[3] H.A. Kartiwa Op cit. hal 20-21

demokrasi di daerah nyata atau utopis!!!

Isu kedaulatan rakyat, pemikir yang seringkali dirujuk adalah JJ Rousseau. Dalam bukunya Contract, Sodale (1763), ia berpendapat bahwa manusia dengan moralitas yang tidak dibuat-buat justru waktu manusia berada dalam keluguan. Sayangnya, keluguan ini hilang ketika membentuk masyarakat dengan lembaga-lembaganya. Pada saat itu, manusia beralih menjadi harus taat pada peraturan yang dibuat oleh penguasa yang mengisi kelembagaan dalam masyarakat. Peraturan itu menjadi membatasi dan tidak bermoralitas asli karena dibuat oleh penguasa. Dengan demikian, manusia menjadi tidak memiliki dirinya sendiri. Bagaimana cara mengembalikan manusia kepada keluguan dengan moralitas alamiah dan bermartabat? Menurut Rousseau hanya ada satu jalan: kekuasaan para raja dan kaum bangsawan yang mengatur masyarakat barus ditumbangkan dan kedaulatan rakyat harus ditegakkan. Kedaulatan rakyat berarti bahwa yang berdaulat terhadap rakyat hanyalah rakyat sendiri. Tak ada orang atau kelompok yang berhak untuk meletakan hukumnya pada rakyat. Hukum hanya sah bila ditetapkan oleh kehendak rakyat[1].

Faham kedaulatan rakyat adalah faham penolakan terhadap hak raja atau golongan atas untuk memerintah rakyat. Juga, penolakan terhadap anggapan bahwa ada golongan-golongan sosial yang secara khusus berwenang untuk mengatur rakyat. Rakyat adalah satu dan memimpin dirinya sendiri[2].

Akan tetapi Keadaan bahwa setiap rakyat menjadi pemimpin adalah sesuatu yang Utopis (khayalan), karena sangat bertolak belakang dengan konsep kekuasaan, yang mana dalam konsep kekuasaan harus ada dua unsur pokok yakni ada yang berkuasa dan ada yang dibawah kekuasaan, dan tidak mungkin setiap rakyat menjadi pemimpin. Oleh karena itu agar kedaulatan rakyat dapat terealisasikan maka dalam implementasi pelaksanaan kedaulatan rakyat harus terjadi penafsiran tentang demokrasi itu sendiri. Sementara dinamika masyarakat selalu berkembang termasuk masyarakat daerah.

Dalam semarak penafsiran kedaulatan rakyat, keadaan rakyat daerah yang pada zaman orde baru seakan terlupakan dan terkungkung, menjadi sangat hangat diperbincangkan, sebab rakyat daerah perlu mendapatkan “kedaulatannya” dengan otonomi.

Otonomi daerah ialah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahn dan kepentingan rakyat setempat/daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan[3]. Dalam rangka menjalankan otonomi daerah, setiap daerah memiliki kewenangan dalam berbagai bidang kecuali yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, yakni politik luar negeri, pertanahan, keamanan, politik luar negeri, moneter dan fiskal, Agama[4]

Menurut Hoogerwarf, desentralisasi merupakan pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan-badan publik yang lebih tinggi kepada badan-badan publik yang lebih rendah kedudukannya untuk secara mandiri dan berdasarkan kepentingan sendiri mengambil keputusan di bidang pengaturan (regelendaad) dan di bidang pemerintahan (bestuursdaad). Sementara itu, menurut Dennis A. Rondinelli, John R. Nellis, dan G. Shabbir Cheema mengatakan:

Decentralization is the transfer of planning, decision making, or administrative authority from the central government to its field organizations, local government, or non-gevernmental organizations.

Menurut ketiga sarjana ini, desentralisasi merupakan pembentukan atau penguatan unit-unit pemerintahan “sub-nasional” yang kegiatannya secara substansial berada di luar jangkauan kendali pemerintahan pusat[5]. Di samping itu, dengan kebijakan desentralisasi dan dekonsentrasi juga diharapkan dapat terwujud fungsi fungsi kekuasaan negara yang efektif dan efisien, serta terjaminnya manfaat-manfaat lain yang tidak dapat diharapkan dari sistim pemerintahan yang terlalu terkonsentrasi dan bersifat sentralistis[6].

Konsep otonomi luas merujuk pada prinsip pembagian kekuasaan, bukan lagi pemisahan kekuasaan yang identik dengan federalisme. Dalam otonomi luas, kekuasaan dibagi bersama antara pusat dan daerah sekalipun lebih banyak diserahkan kepada daerah. Kewenangan yang dibagi itu tidak harus bersifat menerus[7].

Dengan adanya konsep otononi daerah maka Peranan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mutlak diperlukan sebagai mitra sejajar dengan pemerintah daerah yang mempunyai fungsi dan kedudukan seperti telah diatur dalam UU. Fungsi DPRD adalah fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan kebijakan pemerintah daerah yang tertuang diantaranya dalam bentuk peraturan daerah (perda) yang merupakan rambu-rambu dan pedoman yang harus dipatuhi oleh seluruh komponen masyarakat[8].

Kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya. Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam sendiri[9].

Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di daerah-daerah sesuai tuntutan alam demokrasi maka praktek-praktek kekuasaan yang menindas seperti yang dialami dalam sistem lama yang tersentralisasi, akan tetap muncul dalam hubungan antara pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya. Maka dengan adanya DPRD diharapkan akan mampu menjalankan ketiga fungsi seperti yang diuraikan diatas, sehingga terjalin jaringan asmara antara masyarakat dengan DPRD yang notabene refresentatif masyarakat daerah.




[1] M. Kurniawan Ginting dan Diding Sakri. Telaah Konstitusi Tentang Kedaulatan Rakyat diIndonesia. Disampaikan pada Forum Diskusi Interseksi, “Civil Rights dan Demokratisasi: Pengalaman Indonesia II”, (27-29 Januari 2003, Kuningan, Jawa Barat

[2] Ibid.

[3] Rifqinizamy K. Kebangkitan nasional dari lokal. Disampaikan pada seminar yang bertajuk “kebangkitan nasional dalam presfektif kepemudaan. Banjarmasin 35 mei 2009. hal 4

[4] Pasal 10 UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah.

[5] Jimly Asshiddiqie, 2006. Pengantar Hukum Tata Negara Jilid 2. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Cetakan Pertama, hal 26-27

[6] Ibid. hal 30

[7] Anonim. Rublik hukum dan politik (Otonomi Luas Paling Pantas). Kompas online. 2006

[8] Mohammad Wartaka. Pelaksanaan Fungsi DPRD dalam Mengevaluasi Kinerja Organisasi Publik dalam Kerangka Balanced Scorecard

[9] Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitualisme. Jakarta: konstitusi press. Hal 219

Kamis, 11 Juni 2009

Aktivitas Politik Dalam mekanisme Koalisi Permanent

Mekanisme koalisi permanent yang mengikat koalisi bersama. yakni kontrak politik untuk membangun koalisi permanen selama lima tahun yang kontrak politik ini disaksikan oleh notaris. Yang bertujuan agar partai politik tidak begitu mudah berubah sikap dan dukungan dalam menghadapi perbedaan pandangan dan kepentingan.

Latar belakang dari dibentuknya isu koalisi permanent ini apabila sang presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, namun tidak mendapatkan dukungan signifikan di DPR, siap-siap saja pemerintahannya tak akan berjalan efektif. Jika ini yang terjadi, yang rugi bukan hanya partai politik. Tetapi, masyarakat pun akan mengalami dampaknya. Kesadaran untuk melakukan komunikasi, sinergi, aliansi, maupun koalisi politik diharapkan bukan hanya di bibir atau di atas kertas saja. Mengingat pembicaraan koalisi masih sangat dini dan sangat rentan dengan fragmentasi. Belum lagi benturan kepentingan-kepentingan politik yang sangat pragmatis[1].

Dan tentu saja untuk mendapatkan dukungan politik yang kuat dari DPR sangatlah sulit dalam masa demokrasi terbuka ini. Membentuk koalisi juga tidaklah mudah. Namun, pesannya jelas semakin kuat dukungan politik baik itu didapatkan dari mayoritas suara di DPR maupun koalisi politik sangatlah penting bagi efektivitas kebijakan[2]

Sehingga perlu suatu nota kesepatakan koalisi yang memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga hal-hal yang ditakutkan suatu koalisi yang telah menang dan berhasil menduduki eksikutuf, pada nantinya akan pecah sehingga seorag presiden akan sangat mudah di impechment.

Koalisi politik yang dibangun ini tetap dirancang dan dibangun dengan dasar yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meski koalisi politik yang diangun tidak bisa lepas dari perhitungan target kemenangan. Tetapi, harus juga mengedepankan agenda strategis sebagai prioritas utama bangunan koalisi dan lebih perhatian pada kelesatarian koalisi[3].

Koalisi permanen ini juga tidak bisa dibentuk dengan sembarangan. Mengacu pada teori Arend Lijphart, setidaknya terdapat empat teori koalisi yang bisa diterapkan di Indonesia. Pertama, minimal winning coalition dimana prinsip dasarnya adalah maksimalisasi kekuasaan. Dengan cara sebanyak mungkin memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu untuk diajak berkoalisi. Kedua, minimum size coalition, dimana partai dengan suara terbanyak akan mencari partai yang lebih kecil untuk sekadar mencapai suara mayoritas. Ketiga, bargaining proposition, yakni koalisi dengan jumlah partai paling sedikit untuk memudahkan proses negosiasi. Keempat, minimal range coalition, dimana dasar dari koalisi ini adalah kedekatan pada kecenderungan ideologis untuk memudahkan partai-partai dalam berkoalisi dan membentuk kabinet[4].

Dengan adanya mekanisme koalisi permanent ini memang akan mengurangi hal-hal yang berkenaan dengan perpecahan koalisi dan lebih menjaga kestabilan pemerintahan. Namun dengan adanya ini juga fungsi kontrol dari legislatif agak sedikit dihambat, karena setiap pihak harus terikat pada pada kontrak koalisi tersebut. Ruang politik para legislator yang ia dibawah partai politik yang terikat kontrak politik permanent akan sangat terbatasi.

Yang menjadi masalah pada nantinya, apabila pemerintah melakukan suatu kebijak yang kebijakan itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka para elit politikus diparlemen yang dinanungi oleh partai politik yang tergabung dalam koalisi permanent tersebut, mereka akan sulit melakukan suatu tindakan, karena sisi pertama mereka harus menjalankan koalisi mereka sampai berakhirnya koalisi tersebut dengan kosekuensi tidak menjalankan fungsi controlnya, menghianati kepentingan rakyat yang telah diatribusikan undang-undang kepada mereka.

Dilain sisi, apabila elit politik tersebut tidak menghiraukan kesepahaman kontrak koalisi, dan mereka berujar memenuhi kepentingan rakyat yang telah diatribusi kepadanya. Maka pemerintahan yang terbentuk dari koalisi tersebut akan menjadi tidak stabil karena ditekan legislator dengan fungsi kontrolnya serta dipemerintahan sendiri akan terjadi pengkubuan. Pada akhirnya ketidak stabilan pemerinthan secara luas ini akan memberikan dampak akan merugikan rakyat juga.

Maka politik koalisi dan koalisi politik yang matanglah pada nantinya akan menentukan siapa pemenang peburuan pemilihan presiden dan wakil presiden, sehingga para tim partai politik pasti sangat berhitung agar tidak kalah dan rugi dalam perburuan kursi nomor satu di dalam bangsa ini


[1] Anonim. Koalisi Politik. Thursday, 25 September 2008

[2] Umar juoro. Koalisi Politik Baik bagi Ekonomi Jumat, 29 Agustus 2008

[3] Anonim. Koalisi politik yang ideal. Loc cit

[4] Benni Inayatullah. Koalisi untuk Pemerintahan yang Kuat. Harian Jurnal Nasional. Kamis, 11 September 2008

Refleksi Koalisi Partai Politik Dalam Menapak Kursi Presiden Dan Wakil Presiden

Partai politik adalah sebuah organisasi yang terartikulasi secara lokal, yang berinteraksi dan berusaha untuk mencari dukungan pemilih kebanyakan, yang memainkan peran langsung dan subsantif didalam rekrutmen politik, serta mempunyai komitmen yang kuat untuk mendapatkan kekuasaan atau menjaga kekuasaan, baik secara sendiri atau dengan jalan berkoalisi. Partai politik mempunyai tugas utama untuk mengagregasikan berbagai macam kepentingan yang terdapat didalam masyarakat untuk selanjutnya dikomunikasikan kepada pemerintah dan disosialisasikan dalam bentuk berbagai macam kebijakan pemerintah demi terciptanya tatanan kehidupan yang lebih baik didalam masyarakat yang modern dan demokratis. Selain itu partai politik juga mempunyai peranan yang sangat besar didalam proses rekrutment politik demi berjalannya proses politik didalam masyarakat[1].

Indonesia adalah sebuah contoh masyarakat yang sangat heterogen sehingga memberikan pengaruhnya yang sangat besar terhadap proses politik.. Indonesia yang mempunyai berbagai macam suku, bahasa, agama, tradisi serta kebudayaan yang berbeda-beda merupakan contoh sempurna dari masyarakat heterogen..

Sehingga tidak adanya satu kekuatanpun yang mampu mendominasi jalannya proses politik yang demokratis di Indonesia tanpa harus melakukan koalisi dengan kelompok lain, sehingga indikasi kecenderungan kehidupan politik koalisi didalam proses politik Indonesia untuk beberapa waktu yang akan datang sangat dimungkinkan.

Koalisi yang baik bisa tercipta apabila setiap elite politik yang memperjuangkannya harus benar-benar memperjuangkan dan membangun koalisi yang paling tidak memiliki satu ideologi dan pandangan yang sama, namun koalisi ideal ini bisa dikatakan sangat sulit karena dalam melakukan setiap hubungan politik pasti kepentingan politik juga ikut bermain.

Yang menjadi pertanyaan besar adalah partai politik yang seharusnya merefleksikan dan merupakan miniyatur dari rakyat yang sangat rentan dan sensitive terhadap perbedaan ideologi, namun elit politik seakan melihat perbedaan ini biasa saja.

Contohnya saja Demokrat dengan PKS boleh dikatakan ideologi yang dianut sangat berbeda yang mana PKS yang berideologi islam (walau sekarang mengatakan dirinya sebagai partai terbuka) berkoalisi dengan demokrat yang berideologi kapitalis dan sekuler. Yang pada pahan ideologi saling bertolak belakang.

Realitas koalisi politik dan berbagai peluang koalisi baru, nampaknya tidak banyak mengalami hambatan dan tantangan, termasuk perbedaan ideologi. Tidak heran jika Golkar mengakui diri seperti ”gadis cantik” yang siap berkoalisi dengan kelompok mana saja[2].

Di negara kampiun demokrasi seperti Amerika Serikat (AS) saja yang menganut paham liberalisme, ada dua pendekatan yang berbeda, yakni antara konservatisme yang dianut Partai Republik dan liberalisme altruistik yang dianut Partai Demokrat[3],

Sehingga sangat menarik sekali melihat realitas para elit partai politik kemana koalisi-koalisi nantinya akan dibawanya. Namun sebelum pengumuman hasil perolehan suara akhir segala sesuatu bisa saja terjadi dan bisa saja berubah sampai ditutupnya pendaftran presiden dan wakil presiden.



[1] Anonim. Koalisi Politik: Refleksi Politik Masyarakat Heterogen

[2] Anonim. Koalisi politik yang ideal. Monday, 2 March 2009

[3] Ikrar Nusa Bhakti. Koalisi Politik Tanpa Ideologi

Kedudukan Bank Indonesia Dalam Susunan Ketatanegaraan


Pengalaman dimasa lalu menunjukkan bahwa bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya telah sering kali mendapat intervensi, terbenani dan tergangu efektifitasnya oleh kepentingan pemerintahan pada waktu itu, sehingga tidak sedikit orang memandang bahwa UU no13 tahun 1968 memang didesign untuk menciptakan bank sentral yang tidak independen[1].

Racmadi usman dalam artikel yang berjudul kedudukan bank Indonesia dalam susunan ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, menyatakan :

“Di era reformasi, bank Indonesia menemukan momentum penegakan independensinya, yakni pada saat sebelum pengumunan jajaran kabinetnya Presiden BJ. Habibie menyatakan Indonesia harus memiliki bank sentral (bank Indonesia) yang benar-benar mandiri, dan dalam kabinatnya presiden habibie tidak memasukkan gubernur bank Indonesia dalam kabinetnya. Hal ini juga mengacu pada salah satu butir Letter of Intent (LoI) antara IMF dengan pemerintah Indonesia pada tahun 1997 yang menyebutkan bahwa perlunya bank Indonesia diposisikan sebagi institusi Negara yang benar-benar independent[2].

Sebelumnya sebagai tindak lanjut dari tindak lanjut dari LoI Presiden Soeharto mengelurkan kepres no 23 tahun 1998 tentang pemberian wewenang kepada Bank Indonesia dibidang pengendalian moneter, yang mana wewenang bank Indonesia diberikan penuh otoriter dalam menentukan kebijakkan moneter. Dalam penentukan kebijakkan moneter Bank Indonesia mesti memperhatikan perkiraan laju inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah.

Selain kepres no 23 tahun 1998 tindak lanjut dari LoI juga dituangkan dalam UU no 10 tahun 1998 perubahan atas UU no. 7 tahun 1992 tentang perbankan. UU no 10 tahun 1998 menegaskan kemandirian dalam pembinaan dan pengawasan perbankan termasuk juga pengaturan tentang perbankan dan penerapan sanksi dengan mengalihkan kewenangan seluruh perizinan dibidang perbankan dan membuka semua rahasia bank Indonesia yang dari semula berada ditangan departemen keuangan (Menteri keuangan) kepada bank Indonesia (pimpinan bank Indonesia)[3].

Status dan kedudukan hukum bank Indonesia sebagai lembaga negara yang mempunyai otonomi dan mandiri disebutkan secara tegas pada pasal 4 ayat (2) UU no 23 tahun 1999 jo UU 4 tahun 2004 tentang bank indonesia yakni “ bank indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, bebas dari campur tangan dari pemerintah dan / atau pihak-pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur oleh undang-undang ini”

Sebagai suatu lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga. Untuk lebih menjamin independensi tersebut, undang-undang ini telah memberikan kedudukan khusus kepada Bank Indonesia dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia. Sebagai Lembaga negara yang independen kedudukan Bank Indonesia tidak sejajar dengan Lembaga Tinggi Negara. Disamping itu, kedudukan Bank Indonesia juga tidak sama dengan Departemen, karena kedudukan Bank Indonesia berada diluar Pemerintah. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien[4].

Dilhat dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, kedudukan BI sebagai lembaga negara yang independen tidak sejajar dengan lembaga tinggi negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung. Kedudukan BI juga tidak sama dengan Departemen karena kedudukan BI berada di luar pemerintahan. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar BI dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai Otoritas Moneter secara lebih efektif dan efisien. Meskipun BI berkedudukan sebagai lembaga negara independen, dalam melaksanakan tugasnya, BI harus membina hubungan kerja dan koordinasi yang baik dengan DPR, BPK, Pemerintah dan pihak lainnya[5].

Bank Indonesia juga berwenang mengeluarkan peraturan bank Indonesia yang materi muatannya mempunyai sifat sebagai peraturan perundang-undangan. Ni’matul Huda dalam bukunya hukum tata Negara Indonesia mengatakan “peraturan-peraturan bank Indonesia yang materi muatannya mempunyai sifat sebagai peraturan perundang-undangan namun kedudukanya masuk dalam fungsi administrasi Negara. Jadi untuk menguji peraturan bank Indonesia tidak menggunakan prinsip tata urutan, tetapi pada ukuran kewenangan. Sepanjang peraturan tersebut dalam wewenang bank Indonesia maka semua peraturan administrasi lainnya harus dikalahkan[6]



[1] Rachmadi Usman. Loc cit hal. 45

[2] Didik J. Rachbini. 2000. Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral. Jakrata :PT. mardi mulyo, hal 14

[3] Rahmadi Usman. Hal 46

[4] Anonim. Status dan kedudukan BI. Bank Indonesia (Bank Sentral Republik Indonesia) diakses 4 maret 09

[5] Anonim. Kedudukan BI sebagai Lembaga Negara. Bank Indonesia (Bank Sentral Republik Indonesia) diakses 4 maret 09

[6] Bagir mana. Teori dan politik konstitusi. Jogjakarta : FH UII. 2004. hal 321.

Dua belas prinsip pokok Negara Hukum

Dua belas prinsip pokok Negara Hukum yang berlaku di zaman sekarang. Kedua-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya.

1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law):

Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.

3. Asas Legalitas (Due Process of Law):

Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ atau ‘policy rules’ yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.

4. Pembatasan Kekuasaan:

Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

5. Organ-Organ Eksekutif Independen:

Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturann kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum, lembaga Ombudsman, Komisi Penyiaran, dan lain sebagainya. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya, fungsi tentara yang memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang aspirasi pro-demokrasi, bank sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol sumber-sumber kekuangan yang dapat dipakai untuk tujuan mempertahankan kekuasaan, dan begitu pula lembaga atau organisasi lainnya dapat digunakan untuk kepentingan kekuasaan. Karena itu, independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.

6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:

Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

7. Peradilan Tata Usaha Negara:

Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and impartial judiciary’ tersebut di atas.

8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):

Di samping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan pembentukan mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Pentingnya mahkamah konstitusi (constitutional courts) ini adalah dalam upaya memperkuat sistem ‘checks and balances’ antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah ini dibweri fungsi untuk melakukan pengujian atas konstitusionalitas undang-undang yang merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan. Keberadaan mahkamah konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini makin dianggap penting dan karena itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya Negara Hukum modern.

9. Perlindungan Hak Asasi Manusia:

Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.

10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):

Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Dengan demikian, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.

11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat):

Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’, melainkan tetap ‘mission driven’, tetapi ‘mission driven’ yang tetap didasarkan atas aturan.

12. Transparansi dan Kontrol Sosial:

Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran.